"Dasar wanita jalang! Berani sekali kamu membangkang ke suami kamu!"
"Wajar saja aku membangkang karena kamu sebagai suami tidak ada gunanya! Kerjaan cuman tidur aja dirumah, ga ada keinginan cari kerja apa?! Yang ada istri yang nafkahi suaminya! Sungguh keterlaluan!"
"Berani kamu ya!"
Suara tamparan itu begitu keras dan membuat sang ibu terkejut. Dia memegang pipi kirinya yang berubah menjadi merah dan terasa panas.
"Kamu kurang ajar mas! Kamu nampar aku!"
"Kamu sendiri mancing-mancing emosi suami!"
"CUKUP! Aku minta cerai!"
"Bagus! Itu lebih baik!"
Dia tak dapat bergerak sedikit pun selain menatap kedua orang tuanya yang saling melontarkan argumen dan dia semakin terkejut ketika ayahnya menampar ibunya. Gadis kecil itu menutup mulutnya karena takut mengeluarkan suara dan hal yang membuat dirinya ketakutan adalah ketika langkah kaki ayahnya mendekat ke arahnya. Tubuh gadis itu gemetar.
"Kamu mau kemana sayang? Kok ngejauhin papa sih?" Tangan sang ayah menyentuh gadis kecil itu dan dirinya hanya terdiam dan tak dapat berkata apa-apa.
"Mau kamu apain anak kita?!" Terdengar suara ibunya yang berteriak menahan sang ayah. Seketika sang ayah mendorong ibunya sampai terjatuh. Tatapan gadis itu nanar ketika melihat kejadian itu. Sang ayah langsung menjambak rambut anaknya.
"Kamu sama saja ga ada gunanya sama kaya ibu kamu!" Sang ayah melayangkan tamparan dan pukulan pada tubuh gadis mungil itu.
Seketika, gadis itu perlahan kehilangan kesadaran, mata gadis itu mengerjap perlahan dan menatap ibunya yang berusaha untuk menghentikan ayahnya hingga mata gadis itu tertutup dan semuanya menjadi gelap.
****
Indah terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Dia langsung merubah posisi nya menjadi posisi duduk. Dia mengelus dadanya yang terasa sesak. Dia menyeka keringat yang membasahi wajahnya sambil menyambar ponselnya yang dia simpan di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.
“Jam 5 pagi,” gumamnya sambil menyimpan ponselnya kembali. Dia mengambil napas panjang lalu membuangnya perlahan. Dia memegang kepalanya yang terasa pening itu.
“Mimpi buruk lagi,”
Indah merasakan tubuhnya kembali bergetar. Dia kembali mengingat masa kecilnya yang baginya sangat menyeramkan. Bagaimana dia mendapat pukulan dan tamparan dari ayahnya dan seperti apa tangisan ibunya yang tak dapat melakukan apapun ketika dirinya mendapat siksaan dari ayahnya. Indah merasa mual dan ingin memuntahkan kembali makan malam kemarin, namun dia menahannya agar tidak membangungkan ibunya yang masih tertidur lelap. Perlahan dia bangun dari tidurnya dan berencana untuk melakukan kewajibannya yaitu sholat subuh lalu bersiap untuk berangkat sekolah.
30 menit kemudian, Indah sudah selesai dan telah mengenakan baju seragam SMA nya. Dia keluar dari kamar dan melihat ibunya yang sudah menyiapkan sarapan untuknya. Ibunya, Ana, tersenyum padanya dan Indah membalasnya dengan senyuman. Dia duduk di kursi meja yang hanya khusus untuk 2 orang. Decitan kursi itu terdengar ketika Indah mendorong kursi itu agar mendekat ke arah meja. Indah sudah bersiap untuk menyantap sarapan itu. Indah mengambil satu suapan nasi goreng itu. Dia merasakan bahwa sarapan miliknya cukup asin.
"Ma, nasi gorengnya asin. Mau kawin lagi ya?" Indah dengan jahilnya memberikan pertanyaan itu pada ibunya.
"Masa?" Ana mengambil sesuap nasi goreng milik Indah, seketika wajahnya berubah menjadi kecut.
"Ya udah, enak-enakin aja," Ucap Ana sambil terkekeh.
Indah hanya mengganggukkan kepalanya sambil kembali memakan nasi goreng tersebut. Setelah dia menyelesaikan sarapan dan mencuci piring miliknya, dia berpamitan dengan ibunya dan pergi menuju sekolah. Indah menyalakan motornya lalu mengendarainya menuju sekolah.
Beruntungnya, kali ini kondisi jalan raya tidak terlalu padat sehingga membuat dirinya dapat sampai lebih awal 25 menit. Seperti biasa dia memarkirkan motornya di parkiran motor dan langsung berjalan menuju kelas. Ketika sesampainya di sekolah, dirinya sudah mendapat sapaan-lebih tepatnya teriakan memekik-dari Sofi.
"INDAHHHHH!!!!"
Indah menutup kedua telinganya karena dia tak sanggup mendengar suara Sofi yang sangat nyaring. Dia langsung mencubit pipi Sofi dengan gemas.
"Fi, lo tahu kan suara lo tuh kayak gimana? Cempreng luar biasa. Jadi, kalau lo manggil gue kayak gitu yang ada bikin gendang telinga gue pecah, ngerti?" Indah masih mencubuit pipi Sofi menunggu sahabatnya meringis kesakitan.
“Aduduh sakit Ndah, sakit! Ampun-ampun maaak, maaaak!”
Indah melepas cubitan itu yang meninggalkan tanda merah di pipi Sofi.
“Nanti lo bakal kangen sama suara gue yang cetar membahana! Nyesel loh kalau lo ga pernah denger suara cempreng membahana gue,”
“Nyesel pala lo,”
Sofi terkekeh sambil merangkul Indah, “By the way, lo inget ga cogan yang bakal jadi anak bawang di sekolah ini?”
“Ga,”
“Si cogan itu bakal masuk ke kelas kita! Asik ga tuh?”
“Oh. Biasa aja, apa asiknya?”
“Seneng gue dapet moodbooster!"
Indah menggelengkan kepalanya sambil menepuk puncak kepala Sofi berkali-kali, mengingat tinggi mereka hanya beda 3cm.
“Dylan lo mau dikemanain?”
"Oh iya, gue sampai lupa sama pangeran gue," kata Sofi dengan polosnya yang hanya mendapaat respon gelengan kepala dari Indah.
Bel sekolah pun berbunyi. Para siswa sudah masuk kedalam kelas. Mereka sedang menunggu kedatangan sang guru dengan melakukan aktifitas masing-masing. Ada yang sibuk dengan dunia sosial medianya, sibuk dengan game, dan ada pula beberapa siswi sibuk dengan ke gosipan yang sedang mereka ramaikan di kelas itu.
Sementara itu, Indah hanya menatap teman-temannya yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dia pun melihat Sofi yang duduk disampingnya sedang asik selfie di ponselnya. Indah menggelengkan kepala sambil menopang dagu di atas mejanya.
Tak lama kemudian, sang guru pun datang ke kelas. Selain sang guru masuk, ada seorang siswa mengekor sambil membawa tas. Semua pandangan tertuju pada siswa tersebut. Sang guru, Bapak Taufik menyimpan buku pelajaran di atas meja guru beserta dengan tas miliknya di bawah meja.
"Selamat pagi," Sapa Bapak Taufik sambil berjalan mendekati siswa baru tersebut.
"Pagi!" Semua murid membalas sapaannya.
"Hari ini kita ada kedatangan murid baru,"
Mereka menatap teman baru mereka dari atas sampai bawah, khususnya para siswi yang memperhatikan lelaki itu. Seketika terdengar bisikan-bisikan yang membicarakan lelaki itu.
“Ganteng banget OMG!”
“Hm, mayan,”
“Emang dia ganteng? Perasaan b aja,”
“Kayaknya apa kata orang ada benernya juga Ndah,” bisik Sofi ke Indah.
Indah mengangkat alis karena dia terheran-heran mendengar pendapat Sofi dan teman-teman perempuannya. Apa yang ada di mata Indah hanya seorang siswa yang mengenakan baju seragam tidak rapih seperti kancing baju seragamnya di buka dua hingga memperlihatkan baju kaos yang dia kenakan sebagai daleman, kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana yang kemungkinan dia mengenakan gelang di salah satu tangannya, dan tas selempang berwarna biru tua yang dia bawa di bahu kirinya.
Setelah mengobservasi apa yang dikenakan dan dibawa oleh lelaki itu, sekarang Indah menatap wajah lelaki itu. Lelaki itu memiliki ciri khas berkulit putih, mata coklat terang meskipun di dalam ruangan, rambut hitam bergelombang yang tidak rapih dan hidung yang cukup mancung. Selain melihat itu, Indah melihat tatapan datar dari lelaki itu ketika melihat teman kelas barunya dan sama sekali tidak tersenyum.
“Hm, kayaknya dia kurang ramah,” bisik Indah ke Sofi.
“Mungkin karena dia malu jadi dia ga senyum,” kata Sofi.
“Mungkin,” Indah mengangkat bahunya acuh.
"Perkenalkan dirimu, nak," Bapak Taufik mempersilahkan lelaki itu untuk memperkenalkan dirinya. Lelaki itu menghela napas sambil menyebutkan namanya.
"Nama gue Reynaldi Saputro, panggil aja gue Rey. Salam kenal,"
"Hai Reynaldi." sapa beberapa siswi dengan nada genit. Reynaldi memberikan tatapan datar tanpa tersenyum kepada mereka yang memanggil dirinya. Dia mengganggukkan kepalanya sopan.
“Salam kenal juga Reynaldi. Nah, kalian harus berteman baik ya dengan Reynaldi.” kata Bapak Taufik
“Baik, pak,” kata mereka serentak.
"Ya sudah, kalau begitu kamu duduk di sana ya, Reynaldi." Bapak Taufik menunjuk meja kosong yang letaknya berada di barisan ketiga di sisi kiri pojok sementara di sebelah kanan meja kanannya di duduki oleh Sofi dan Indah.
Reynaldi berjalan menuju meja tersebut dan duduk di sana. Setelah dia duduk, Sofi berusaha untuk mengajak bicara Reynaldi.
“Halo Rey, nama gue Sofi. Salam kenal.”
“Oh, iya.” sahut Reynaldi dengan datar.
Sofi yang hanya mendapat respon datar dari Reynaldi seketika menjadi kikuk, “Ng, anu, mau ngasih tahu aja sih nanti lo bakal sebangku sama Naufal, cuman karena dia ga masuk hari ini jadi hari ini lo bakal sendiri dulu.”
Reynaldi hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil entah mengartikan untuk berterima kasih karena sudah memberitahunya atau untuk menghentikan pembicaraan antara dirinya dan Sofi.
Sofi kembali kikuk dan tersenyum singkat dan dia langsung menyikut lengan Indah dan berbisik, “Sombong anjir.”
Indah mengangkat bahunya acuh tidak mempedulikan ucapan Sofi. Sofi menggembungkan pipinya dan langsung menatap kedepan. Indah melihat Reynaldi melalui ekor matanya. Dia melihat kalau lelaki itu seperti bersiap untuk tidur di dalam kelas. Indah mengangkat satu alisnya dengan heran.
‘Bentar lagi Pak Taufik bakal negur nih.’ pikir Indah
"REYNALDI! BANGUN!"
Benar saja apa yang di pikirkan oleh Indah. Bapak Taufik menyadari apa yang dilakukan Reynaldi. Reynaldi yang sudah bersiap untuk tidur seketika kembali duduk tegap dan menatap Bapak Taufik.
"Maju ke depan!"
Setelah mendapat perintah dari sang guru, Reynaldi maju ke depan dengan malas. Dia berhadapan dengan Bapak Taufik dengan ekspresi tanpa bersalah.
"Pantes aja kamu di cap sebagai anak 'paling rajin'. Itu sebabnya kamu keluar dari sekolah kamu yang dulu."
Reynaldi menggertakan giginya dan tidak merespon ucapan Bapak Taufik. Bahkan mengucapkan kata maaf pun tidak dia lontarkan. Semua murid menatap dengan tegang karena mereka tahu persis hukuman apa yang akan didapatkan untuk Reynaldi ketika dia tidur di dalam kelas.
"Push up 20 kali lalu berdiri di depan kelas!"
Reynaldi langsung mengambil posisi push up. Setelah dia selesai dengan push up, dia langsung keluar dari kelas dan berdiri di sana.
“Kalian semua kembali menghadap ke depan dan fokus ke sini!” Bapak Taufik mengetuk papan tulis putih itu dengan spidolnya dan dengan segera para murid kembali menatap kedepan. Indah melirik Reynaldi sekilas dan dia menggelengkan kepalanya.
‘Ada-ada saja.’
30 menit kemudian, bel istirahat telah berbunyi. Ketika teman-temannya keluar dari kelas, Indah masih berdiam diri di dalam kelas. Dia melihat keluar jendela dengan mata sendu. Dia melihat langit biru dan tidak ada hamparan awan putih di sana. Di waktu yang sama dia melihat dua burung yang terbang dengan bebas. Kedua burung itu mengepakkan sayapnya dengan cepat lalu mereka rentangkan sayapnya dan mereka melesat dengan cepat. Seolah-olah mereka sedang mengejar sang langit biru, mereka mulai menjauh hingga hanya terlihat seperti titik hitam.
Dalam hatinya, Indah berpikir andaikan dia dapat terbang seperti burung mungkin dia sudah berkeliling dunia ini dengan kedua sayapnya, atau jika dia dilahirkan menjadi seekor burung bukan seorang manusia, setidaknya apa yang dia hadapi hanyalah ketika dia lahir dia diharuskan belajar cara untuk terbang dan bagaimana caranya agar dapat bertahan hidup di luar sana.
Indah tertawa pelan karena dia menertawai dirinya sendiri yang mengharapkan hal yang mustahil di benaknya. Dia menggelengkan kepalanya dan menampar kedua pipinya, bermaksud membangunkan dirinya dari khayalan itu. Dia kembali menatap keluar jendela dan kembali memikirkan permasalahan yang dia hadapi sekarang. Satu hal yang sedang dia pikirkan adalah bagaimana caranya agar ayahnya tidak selalu meminta uang padanya.
Sebenarnya Indah sudah muak karena harus memberikan sebagian uang hasil kerja sambilannya kepada ayahnya. Tapi, jika dia tidak memberikan uangnya, ayahnya akan meminta ke ibunya dan jika ibunya sedang tidak memiliki uang simpanan, ayahnya akan menggunakan segala cara agar dirinya mendapat uang yang dia butuhkan. Karena dia tidak ingin ibunya kembali terluka seperti masa itu, Indah harus memberikan uang itu untuk melindungi ibunya. Dia tidak ingin masa lalu yang mereka hadapi kembali terulang.
Indah menatap kedua tangannya secara bergantian dan mengepalkannya bersamaan. Dia mengambil napas panjang dan dia bergumam pada dirinya sendiri, “Semangat Indah, semangat!”
Indah memutar tubuhnya dan dia terkejut melihat Reynaldi yang diam di ambang pintu. Keduanya saling bertatapan tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Sedetik kemudian Reynaldi mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju bangku. Indah memegang lehernya karena kikuk. Indah pun sama berjalan menuju bangkunya.
Indah melirik ke Reynaldi dan dia melihat Reynaldi sudah membenamkan wajahnya di antara kedua tangannya di atas meja. Kesunyian pun menemani keduanya sejenak karena sudah ada beberapa dari teman-teman mereka datang menuju kelas.
Setelah rekan kerjanya keluar dari ruangan yang pintunya di gantungi oleh sebuah tulisan ‘Manajer’, Indah memasuki ruangan itu sambil berkata, “Permisi.“ dan ketika masuk, dia mencium aroma khas yang berasal dari pengharum ruangan tersebut. Bunga melati adalah aroma yang di sukai oleh manajernya bernama Deni. Indah mendapat senyuman datar yang khas dari pria berumur 40 tahun itu.“Selamat malam, Pak.”“Malam Indah. Maaf ya, karena sekretaris saya tidak masuk jadi kamu dan yang lain harus mengambil gajinya ke saya dan harus masuk ke ruangan saya satu persatu.”“Ga apa-apa, pak. Saya mengerti.”Deni menganggukkan kepalanya dan mengeluarkan amplop dari laci meja kerjanya dan di sisi kanannya bertuliskan nama Indah. Dia menyimpan amplop di atas meja dan mendorongnya dengan jari telunjuk kanannya.“Ini gaji kamu bulan ini.”Indah menggangukkan kepalanya dan menerima amplop te
Reynaldi terdiam setelah Indah menjelaskan mengenai dia akan menjadi tutor pribadi untuknya. Indah yang melihat Reynaldi membeku langsung menjentikkan jarinya. Suara jentikan jari Indah cukup keras mengingat kondisi kelas yang sepi dan hanya mereka berdua yang masih betah di dalam sana.“Bangun, Rey,”Reynaldi mengedipkan matanya berkali-kali dan mengusap kepalanya, “Eh, maaf,”“Lo tuh kenapa? Kaget karena gue bakal jadi tutor lo atau karena lo lagi ngelamun?“Gue denger yang lo bilang dan cukup kaget juga,”Indah mengangkat alisnya bingung sambil memegang botol minuman miliknya, “Alasan lo kaget?”“Lo jadi tutor gue,”“Oh, oke,” Indah membuka botol minumnya lalu meneguk air minumnya. Dia masih tidak mengerti maksud dari ucapan Reynaldi. Reynaldi menggaruk kepalanya karena dia bingung kenapa dia memberi jawaban alasan dia kaget. Dia berusaha untuk mencairkan
Esok pagi, ketika Sofi menyadari bahwa Indah belum masuk sekolah, dia berpikir bahwa sesuatu terjadi padanya. Ketika dia mengirimkan pesan pada Indah menanyakan apa dia akan masuk atau tidak, gadis itu tidak membalasnya. Sofi berpikir mungkin dia akan menunggu hingga bel masuk berbunyi. Namun, ketika bel masuk berbunyi, Indah tidak muncul dan orang yang terakhir masuk ke dalam kelas hanya Reynaldi. Sofi mulai gelisah karena Indah sama sekali tidak ada kabar. Sofi mengambil ponselnya lalu mengirim pesan lagi ke Indah. Ketika dia mengirim pesan ke Indah, seorang guru masuk ke dalam kelas dan mereka memulai pelajaran pertama.Ketika jam pelajaran pertama selesai, Sofi memeriksa ponsel nya untuk memeriksa apa Indah sudah membalas pesannya atau tidak. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Gadis itu keluar kelas dan berdiri di sebelah pintu masuk kelas bermaksud untuk menelpon Indah. Dia mendekatkan ponselnya ke arah telinga kanannya dan dia mendengar suara dari ponsel tersebut.
Setelah dia selesai mengurusi barang-barang di kamarnya, Indah duduk di pinggiran kasur sambil menatap kamar barunya. Matanya sedang mengenali kondisi kamarnya mulai dari ukuran kamar yang tidak sama dengan ukuran kamarnya dulu, letak dimana dia menyimpan barang-barangnya di kamar seperti lemari, meja belajar, dan warna cat kamar yang berwarna kuning. Tak lupa posisi jendela kamar yang menghadap timur memperlihatkan kondisi langit yang perlahan berubah menjadi jingga hingga letak pintu kamar yang berada di sebelah kiri pojok kamarnya. Dia mengehela napas sambil bangun dari duduknya. Indah perlahan sambil berjalan menuju jendela kamarnya lalu berdiam di sana menatap kondisi di luar rumahnya. Dia melihat kondisi rumahnya yang cukup tenang di sore itu. Bagi Indah hal ini tidak familiar baginya mengingat bahwa lingkungan sekitar di rumahnya dulu para tetangga akan berdiam di luar dan menikmati udara di sore hari. Biasanya Indah selalu melihat tetangganya, Bapak Didi di depan rum
Indah mengacungkan jari tengah ke Reynaldi membuat dirinya bingung. Reynaldi mengangkat alisnya sambil memegang pensil di tangan kanannya. Indah menutup buku Reynaldi sambil menyimpannya di atas meja.“Bisa lo jelasin kenapa lo memberikan eskpresi itu ke gue?” tanya Reynaldi dan melihat Indah tersenyum mengerikan.“Ternyata bener ya, realita selalu mengalahkan ekspektasi. Ya, jujur aja sih gue ga nyangka aja ternyata lo pinter,” kata Indah sambil menunjuk buku tulis milik Reynaldi.“Ga juga sih, gue bodoh di pelajaran Matematika. Rumusnya sangat sulit seperti rumus kehidupan,”Indah sedikit tertawa mendengar ungkapan Reynaldi, “Tapi lo pintar dari bahasa dan sejarah. Curiga gue lo bakal jadi orang sastra pas lulus sekolah,”“Mungkin,”Indah berhenti sejenak ketika melihat Reynaldi yang merespon ucapannya dengan acuh. Entah kenapa Indah ingin mempertanyakan hal yang sudah lama dia in
Setelah saling membuka sebuah kisah diantara mereka berdua seminggu yang lalu, hubungan mereka menjadi lebih dekat. Baik Indah maupun Reynaldi, keduanya berteman dengan baik. Banyak dari teman-teman kelas mereka berpendapat bahwa Reynaldi menjadi berubah setelah dekat dengan Indah baik dalam kehadiran di kelas dan nilai pelajaran pun meningkat. Dan setelah melihat hal tersebut selama seminggu, mereka saling melempar gosip di dalam kelas.“Mereka pacaran?”“Oh ya? masa sih?”“Anjir gue dilangkahi,”“Pft, ga mungkin lah mereka pacaran. Orang Reynaldi juga ga suka sama cewek kayak Indah.”“PD lo. Emang dia bakal suka sama lo?”Perbicaraan itu terjadi di antara siswi-siswi di kelas. Mereka tiada hentinya mengosipkan hal tersebut. Bahkan mereka tidak sadar bahwa seseorang sedang mendengar mereka di kursi belakang yaitu Naufal. Dia mendengar obrolan para gadis yang masih membicarakan Reyn
Naufal berjalan meninggalkan Reynaldi dan Indah di kantin dengan rasa malu karena Reynaldi yang mengetahui perasaannya. Dan selama seminggu, dia menahan rasa cemburu dan berpikir buruk ke Reynaldi. Dia berpikir alasan mengapa Reynaldi dekat dengan Indah karena dia menyukai Indah. Dia termakan dengan gosipan dari Anggun dan teman-temannya. Naufal berjalan semakin cepat berusaha untuk bersembunyi di ruang OSIS.‘Anjir. Malu gue.’ pikir Naufal.Ketika dia akan memasuki ruang OSIS, Bagas berdiam diri di depan pintu ruang OSIS. Naufal bingung melihat Bagas yang hanya menghalangi pintu dan tidak masuk ke dalam sambil menatap dirinya sedang berjalan.Naufal menghampiri Bagas lalu bertanya padanya, “Anak-anak udah beres kerjain tugasnya?”“Gue serahin ke Anggun. Lama-lama gue bosen juga nunggu yang lain beres.” kata Bagas.“Sudah gue duga lo pasti ga akan mau lama-lama di kelas.” kata Naufal sambil m
“DASAR ROBOT PEKERJA!” Sofi teriak di hadapan Indah yang membuat dirinya menutup telinga.Sofi berusaha untuk membuka kedua telinga Indah dengan secara paksa namun dia kalah kekuatan dengan Indah. Indah masih menutup telinganya sambil memberikan ekspresi datar ke Sofi. Sofi berusaha untuk menenangkan diri karena kesal pada temannya. Dia mengambil napas lalu dia keluarkan secara perlahan. Dia sudah siap untuk mengomeli Indah.“Oke. Gue ga akan teriak. Asal lo denger ucapan gue. Bisa ‘kan?” tanya Sofi yang langsung mendapat balasan anggukkan dari Indah. Indah membuka telinganya.“Denger ya, Ndah. Kemarin, lo pingsan. Kalau gue jadi lo, lebih baik ga masuk aja dulu 2 hari buat istirahat. Masalah absen tinggal titip surat sakit ke temen kelas. Gue pasti bakal istirahatin tubuh gue dibandingkan harus memaksakan diri sampai pingsan kek lo. Ngerti ga maksud gue?” kata Sofi.Indah melihat Sofi tanpa memperlihatkan e