Share

3. Reynaldi Saputra

Setelah rekan kerjanya keluar dari ruangan yang pintunya di gantungi oleh sebuah tulisan ‘Manajer’, Indah memasuki ruangan itu sambil berkata, “Permisi.“ dan ketika masuk, dia mencium aroma khas yang berasal dari pengharum ruangan tersebut. Bunga melati adalah aroma yang di sukai oleh manajernya bernama Deni. Indah mendapat senyuman datar yang khas dari pria berumur 40 tahun itu.

“Selamat malam, Pak.”

“Malam Indah. Maaf ya, karena sekretaris saya tidak masuk jadi kamu dan yang lain harus mengambil gajinya ke saya dan harus masuk ke ruangan saya satu persatu.”

“Ga apa-apa, pak. Saya mengerti.”

Deni menganggukkan kepalanya dan mengeluarkan amplop dari laci meja kerjanya dan di sisi kanannya bertuliskan nama Indah. Dia menyimpan amplop di atas meja dan mendorongnya dengan jari telunjuk kanannya.

“Ini gaji kamu bulan ini.”

Indah menggangukkan kepalanya dan menerima amplop tersebut.

“Terima kasih banyak, Pak Deni.”

Lagi, Deni hanya tersenyum datar, "Sama-sama. Lekaslah pulang, sudah larut malam.”

“Baik, pak. Saya pamit dulu.” Indah menundukkan kepalanya lalu berjalan menuju pintu keluar. Deni menopang dagu dan dia tersenyum kecil.

“Semoga kamu sehat selalu, Indah.”

****

Pukul 22.30 malam.

Indah baru saja tiba ke rumahnya. Setelah dia memakirkan motornya di garasi dia langsung masuk kedalam rumah. Dengan perlahan dia membuka pintu dan dia melihat kalau lampu ruang tamu masih menyala. Dia tersenyum miring dan berpikir mungkin ibunya sengaja menyalakan lampunya agar tidak terlalu gelap.

Dia berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air minum. Diteguklah air itu hingga habis. Setelah itu dia berjalan menuju kamar ibunya untuk memastikan apa ibunya sudah tertidur atau belum. Perlahan dia membuka pintu kamar ibunya dan mendapati ibunya sudah tertidur lelap di atas kasurnya. Indah tersenyum kecil dan kembali menutup pintu tersebut.

‘Mimpi indah, ma.’

Indah mematikan seluruh lampu setelah dia selesai membersihkan diri. Dia berjalan menuju kamar tak lupa masih membawa tas sekolahnya. Dia simpan tas itu di atas meja belajarnya dan dia langsung merebahkan diri ke atas kasur. Dia menatap langit kamarnya dengan tatapan kosong dan menghela napas perlahan.

‘Hari yang melelahkan.’

Indah mematikan lampu meja yang berada di sebelah kiri kasurnya dan menutup matanya dan pergi menuju alam mimpinya. Ketika dia sudah memasuki alam mimpinya, dia menitikkan air mata tanpa mengeluarkan suara isakan sama sekali. Air mata itu tak hentinya keluar, meluncur bebas di wajah cantik itu. Gadis itu kembali bermimpi buruk. Tiada hentinya gadis itu mendapat mimpi buruk mengenai kondisi keluarganya. Meskipun sudah beberapa kali dia mengucapkan do’a agar bisa mendapatkan mimpi Indah walau hanya sekali, tetap saja dia mendapat mimpi buruk yang dia benci selama ini.

“Ampun, ampuni aku, kumohon...,”

Indah bergumam, lebih tepatnya memohon pada seseorang untuk mengampuni dirinya. Sang Ibu, Ana, yang sekarang sedang menatap putrinya menangis dalam tidur. Dia menggertakkan giginya untuk menahan jeritannya. Ana menyeka air matanya sambil berjalan masuk kedalam kamar Indah. Perlahan dia mengelus kepala anaknya dengan perlahan untuk membuat dirinya merasa tenang. Dia merasa ada sebuah panah yang menusuk hatinya. Dia merasa bersalah karena tak dapat menjadi seorang ibu yang dapat melindungi putrinya dengan baik.

“Maafkan mama ya sayang, maaf..,” Ana bergumam sambil memberikan kecupan hangat di puncak kepala putrinya. Setelah memastikan Indah berhenti menangis, Ana keluar dari kamar Indah dan kembali ke kamarnya.

****

"TERAJANAAAAAAAA... TERAJANAAAAA... INI LAGUNYA.. LAGU INDIAAAAAA"

Indah langsung membuka matanya setelah di bangunkan oleh lantunan alarm dari ponselnya. Dia mengambilnya dan mematikan alarm tersebut. Setelah dia mematikan alarmnya, Indah kembali tidur di atas kasurnya. Dia memeluk guling dan bersiap kembali ke alam mimpinya. Namun sayang dia tidak bisa kembali karena mendengar panggilan dari ibunya dari luar kamar.

"INDAH! ADA TEMEN KAMU DATENG KE SINI! CEPET KELUAR!"

"YA, MA."

Indah keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu. Didapati seorang gadis dan dua lelaki yang sedang duduk di ruang tamu.

“Halo, anak-anak micin, ada apa gerangan datang kemari?” sapa Indah dengan wajah datar.

Sofi berdecak ketika melihat sahabatnya yang masih mengenakan piyama.

“Lo mandi gih! Udah itu kita cabut.”

“Apanya yang di cabut? Bulu ketek gue?”

“Maksud gue kita keluar, ngerti ga?”

Indah menganggukkan kepalanya perlahan, dan seketika dia mengingat suatu hal. Dia menepuk keningnya dan kembali menatap ke teman-temannya.

“Oh iya, lupa. Padahal gue yang ngajak. Oke, kasih gue waktu 5 menit.”

Indah langsung kembali menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Sofi menggelengkan kepalanya.

“Tuh bocah, kecapekan kali ya sampai lupa gitu.”

“Kecapekan? Emang dia habis darimana?” tanya Dylan, pacar Sofi.

“Dia ‘kan setiap pulang sekolah langsung kerja sambilan. Masa lupa?” tanya balik Sofi.

“Oh, iya.” Dylan melirik ke arah lelaki yang sedang memainkan ponselnya. Dia menyikut tangan lelaki itu dan hanya mendapat respon tatapan bertanya.

“Diem-diem bae lo, ngapain sih Fal?” tanya Dylan ke lelaki bernama lengkap Naufal.

Kepo ya?”

“Ga juga sih.”

“Ya udah.” kata Naufal sambil menjulurkan lidahnya. Dylan memberikan tatapan sebal.

“Gue udah siap, mau berangkat sekarang?” Indah akhirnya sudah keluar menggunakan kaos putih polos, celana hitam dan sepatu yang dia jinjing di tangan kanannya.

“Oke.”

Setelah berpamitan dengan Ana, mereka berempat pun keluar dari rumah dan mengendarai sepeda mereka masing-masing. Dengan kecepatan yang normal, sepeda itu mereka kendarai sambil menikmati udara segar di pagi hari itu. Hembusan angin dingin yang mereka rasakan dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat mereka merinding sekaligus senang.  Di pertengahan jalan, Indah dan Sofi berpisah dengan Naufal dan Dylan karena mereka ingin sarapan di tukang bubur. Setelah mereka pamit, mereka mengambil jalur lain dan berpisah dengan Indah dan Sofi.

Indah dan Sofi akhirnya sampai di lapangan basket. Mereka memakirkan sepedanya dan duduk di kursi. "Lo mau minum apa? Gue traktir" kata Indah.

"Tumben lo. Hmm dapet bonus ya?" Sofi menyikut lengan Indah.

"Hehe. Lumayan, lo mau apa?"

"Gue mau es jeruk aja deh."

 "Oke! Tunggu sebentar ya bu." Indah bangun dari duduknya dan mendekati penjual minuman.

"Bang, es jeruk dua ya." kata Indah.

"Oke de." kata tukang penjual minuman itu. Sambil menunggu pesanannya di buat dia melihat remaja yang seumuran dengannya sedang bermain basket. Dia mengamati setiap pemain basket.

Dia melihat ketika salah satu cowok sedang mendribble bola yang dihalangi musuhnya. Bola nya di oper ke temannya yang berada di sebelah kanannya, mereka berdua saling mengoper bola hingga musuh nya terkecoh. Ketika musuhnya terkecoh, cowok pertama melemparnya ke temannya yang sudah dekat dengan ring lawan.

Dilempar lah bola itu ke atas dan tim tersebut berhasil memasukan bola ke atas ring. Indah tersenyum tipis melihat mereka semua.

"Nih pesenan ade." kata tukang minumannya. Indah mengambil kedua pesanannya dan membayar minuman itu.

"Makasih bang."

Indah berjalan mendekati Sofi yang sedang selfie, "Selfie mulu lo! Nih, minumannya." Indah menyodorkannya di wajah Sofi.

"Yeee makasih Ndah. Tumben-tumbenan lo mau traktir gue." Sofi menerima es jeruknya.

"Iya, iya."

"Gue juga mau dong di traktir." kata Naufal yang sudah ada di belakang mereka. Dylan hanya mengangguk setuju.

"Bayar sendiri. Lo berdua ga ngemodal banget jadi cowok." ledek Indah dan Sofi hanya tertawa kecil.

"Huu dasar pelit! Pelit! Pelit!" kata Naufal.

"Bodo amat." kata Indah sambil meminum es jeruknya.

Naufal memperhatikan anak-anak yang sedang bermain basket hingga dia memperhatikan salah satu cowok yang dia kenal.

"Lo lagi liat siapa? Serius amat." kata Dylan menghalangi pandangan Naufal dengan tangannya.

"Kayaknya gue kenal sama tuh cowok." Naufal menunjuk orang yang di maksud.

"Siapa?" Dylan melihat orang tersebut, "Kayaknya gue juga pernah liat dia deh. Tapi siapa ya?" tanya balik Dylan. Naufal hanya mengangkat bahunya.

"Lo berdua ngomongin siapa sih?" Indah melihat orang yang sedang dilihat oleh Dylan dan Naufal. Indah hanya ber-oh ria karena dia tau siapa cowok itu.

"Oh. itu sih  Reynaldi, masa kalian gatau?" tanya Indah.

"Oh, iya, ya. Gue lupa. Padahal dia duduk sebangku sama gue." celetuk Naufal.

"Dasar pelupa." kata Indah. Naufal hanya tersenyum kecil.

"Reynaldi? Anak bawang?" tanya Dylan sambil duduk di sebelah Sofi.

"Iya. Baru masuk kemarin." kata Indah yang hanya mendapat respon 'oh' dari Dylan.

Indah terus memperhatikan Reynaldi. Merasa ada yang memperhatikan, Reynaldi menoleh ke orang yang sedang menatap dirinya dan Reynaldi mengerutkan dahinya ketika mengetahui siapa yang ada disana. Tiga orang yang satu kelas dengannya sementara satu nya lagi dia tidak tahu siapa. Dia menatap mereka persatu-satu hingga ketika melihat Indah, dia terus menatapnya. Indah pun sama menatap Reynaldi lekat-lekat. Ketiga temannya memperhatikan Indah.

"Ehem! Pandangan pertama nih." Sofi berpura-pura batuk. Indah kaget dari lamunannnya dan langsung mengalihkan pandangannya dari Reynaldi.

"Apaan sih." kata Indah.

Reynaldi terus menatap Indah dan langsung mengalihkan pandangannya. Indah hanya meminum es jeruknya dengan malas.

"Gue mau pulang. Lo bertiga kapan balik?"

"Lo mau kemana? Buru-buru banget." kata Naufal.

"Gue mau balik. Gue pengen beresin rumah gue, kasian mama."

"Oh, kita masih agak lama di sini. Gapapa lo pulang sendiri?” tanya Naufal

"Tenang aja. Gue bukan anak kecil lagi." Indah  berjalan mengambil sepeda nya yang dipakirkan tadi.

"Gue pulang duluan ya. Bye!" Indah melambaikan tangannya. Sofi, Dylan dan Naufal membalas lambaian tangannya.

"Makasih udah nraktir gue."

"Hati-hati Ndah."

"Bye pelit!"

Indah pun mengendarai sepedanya dengan perlahan. Dia menikmati udara di pagi hari. Indah mengendarai sepedanya dengan santai. Tanpa dia sadari ada sepeda motor melewatinya dengan cepat. Indah terkejut dan hampir jatuh dari sepedanya.

"Heh bangsat lo! Ngebut di jalanan. Jatuh tau rasa lo!" teriak Indah kesal.

Si pengendara motor hanya menengok kebelakang hingga tanpa disadari oleh pengendaranya dia menabrak gerobak baso tahu. Posisi pengendara itu jatuh ke arah kiri. Indah langsung melotot dan berusaha menahan tawa. Namun, dia tidak dapat menahan tawanya.

"Hahaha! Rasain lo!" Indah menghampiri pengendara motor itu. Di balik helmnya dia menatap Indah dengan tatapan sebal.

"Aduh dagangan saya! Saya minta ganti rugi!" kata penjual baso tahu.

Si pengendara itu bangun dengan perlahan. Dia langsung berdiri di hadapan Indah yang masih diam di sana dengan sepedanya, "Gara-gara lo juga! Kalo lo ga sumpah serapah ke gue, gue ga bakalan nabrak nih tukang baso tahu!" kata si pengendara motor.

Indah mengangkat alisnya, "Heh, yang ada juga salah lo kali. Suruh siapa lo ngebut-ngebut di jalanan? Gara-gara lo juga gue hampir jatoh dari sepeda gue, kampret! Seenaknya lo ngomong!"

Cowok itu menggertakkan giginya.

"Apa? Lo ga bisa ngelawan lagi? Lo takut? Bego lo!" Indah menunjuk helm cowok itu.

"Sorry ya, gue bukan pengecut ga kayak lo banyak ngomongnya." cowok itu tertawa meledek.

"Yang ada juga lo yang pengecut! Ga buka helm lo buat natap mata gue langsung. Lo bukan pengecut kan? Buka tuh helm!"

Cowok itu pun akhirnya membuka helmnya perlahan. Indah pun langsung kembali mengangkat alisnya, "Loh?! Reynaldi?!"

"Iya, kenapa?" tanya Reynaldi dengan tatapan sinis.

"Gue kira siapa. Ya sudah." kata Indah berniat mengayuh kembali sepeda nya.

"Wow, wow, wow. Tunggu, tuan putri." kata Reynaldi menarik stang sepeda Indah.

"Apaan sih?" tanya Indah menepis tangan Reynaldi dari sepedanya..

"Pertama, lo udah sumpah serapah gue. Kedua, lo udah marah-marah dan nantang gue buka helm dan ketiga, setelah tau kalau ini gue lo langsung ninggalin gue gitu? "

"Ya terus gue harus apa?"

"Bego! Bantuin temen lo sendiri napa kecelakaan!"

"Emang kita temenan?" tanya Indah.

Reynaldi menahan emosinya. Dia pun sekarang berhadapan dengan tukang baso tahu, "Bang, saya harus ganti rugi berapa ya?" tanya Reynaldi sambil menahan stang sepeda Indah.

"Ade harus ganti rugi gerobak saya sama modal saya buat jualan saya. Saya minta 1 juta aja de." kata tukang baso tahu itu.

"Yakin bang cukup?"

"Yakin."

Reynaldi berpikir sejenak, "Aduh bang sebelumnya maaf ya bang saya ga sengaja, tapi saya ga bawa uang. Gimana nanti sore abang datang ke rumah saya aja? Nih saya kasih alamat rumah saya." Reynaldi mengeluarkan kertas dan pulpen dari saku jaketnya.

"Lo jangan kemana-mana." ancam Reynaldi ke Indah.

"Iye, iye."

Reynaldi menulis alamat rumahnya dan di berikan ke tukang baso tahu.

"Ini bener ga alamatnya?" tanya abang nya karena tidak percaya takut di kasih alamat palsu.

"Bener bang, sumpah. Nanti sekitar jam 3 sore aja. Saya udah ada di rumah."

Abang itu hanya mengangguk sambil membaca alamat yang di tulis di kertas tersebut dan kembali mengurus gerobaknya yang jatuh di bantu dengan Reynaldi, Indah dan warga yang berada di sekitar tempat tersebut.

Setelah itu Reynaldi mengangkat sepeda motor bebeknya, "Lo tau bengkel terdekat ga?" tanya Reynaldi ke Indah.

"Tuh di belokan sana ada." kata Indah.

Reynaldi langsung mendorong sepeda motor nya dengan kedua tangannya yang sakit sementara Indah menaiki sepedanya dan mengayuh nya perlahan menyesuaikan langkah Reynaldi sekarang. Tidak ada yang bicara, keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing – masing. Indah melihat Reynaldi yang menahan sakit, terlihat dari raut mukanya yang meringis.

"Bagian mana yang sakit?" Indah membuka pembicaraan.

"Hati gue sakit, seperti tersayat oleh silet." Reynaldi menjawab asal.

"Lebay lo! Gue serius nanyanya,"

"Nanti aja kalo udah di simpen ni motor ke bengkel, baru ngurusin luka gue,"

"Yang ada juga ngurusin luka dulu baru ngurusin motor,"

"Terus motor gue simpen dimana dengan motor gue dengan keadaan naas?"

"Lo bisa telepon mobil derek kan?"

"Terus gimana ngurus luka gue? Emang lo bawa P3K?"

 "Engga, tapi kan gue bisa bawa lo kerumah gue. Rumah gue ‘kan ga jauh dari sini,"

Reynaldi menghentikan langkahnya sambil memegang sepeda motornya dan menatap Indah yang sedang mengayuh sepedanya perlahan. Spontan gadis itu berhenti dan menatap Reynaldi yang tidak melanjutkan langkahnya.

"Terserah lo," kata Reynaldi kalah. Indah hanya tertawa kecil.

"Dasar bego,"

Reynaldi mendengus sebal. Mereka pun sampai di tukang bengkel.

"Bang, tolong service ya. Tadi saya jatuh kayaknya ada yang rusak tapi gatau apanya yang rusak." kata Reynaldi.

"Ok siap de." kata abang tukang bengkel.

"Saya tinggal ya, nanti siang saya balik lagi" kata Reynaldi yang hanya mendapatkan anggukan dari abang tukang bengkel.

Reynaldi menghampiri Indah, "Bonceng gue." kata Reynaldi duduk di boncengan sepeda Indah. Indah hanya mendengus sebal dan langsung mengayuh sepedanya

"Woy gue belom siap!" Kata Reynaldi.

Tanpa mempedulikan ucapan Reynaldi, Indah mengayuh sepedanya dan tidak mengajak bicara Reynaldi karena sudah terlanjur kesal. Bahkan sesampainya di rumahnya ketika Indah membantu Reynaldi dalam mengobati lukanya, mereka sama sekali tidak bicara sepatah sedikit pun. Namun, setelah selesai mengobati luka Reynaldi, dia pamit dan berterimakasih pada Indah. Setelah berpamitan, Indah menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya ke kasur.

“Cowok bego.” gumamnya sambil melihat langit-langit kamarnya. Dia mengusap keningnya dan kembali bangun dari tidurnya, “Beres-beres rumah dulu deh, keburu mama pulang dari pasar.”

Indah pun memulai merapihkan rumahnya hingga Ana kembali ke rumah.

****

"Indah, bapak minta tolong sama kamu. Tolong bantu Reynaldi ya dalam hal belajar. Orang tuanya minta tolong ke sekolah kita biar Reynaldi bisa lulus di sekolah ini," ucap Bapak Taufik kepada Indah. 

Setelah mendengar dari sang wali kelas di pagi hari, Indah merasakan tubuhnya seperti tersambar oleh sebuah petir. Dia tersenyum miring sambil berkata, “Kenapa harus saya, pak?”

“Kamu yang bapak percaya dibandingkan orang lain buat dampingin Reynaldi belajar, ditambah dengan prestasi kamu di kelas. Jadi, tolong ya,"

“Ya, pak.”

Indah keluar dari ruang guru dengan malas. Dia melihat jam tangan yang dia kenakan di tangan kirinya dan mendapati bahwa sebentar lagi bel sekolah akan berbunyi 5 menit lagi. Dengan bergegas dia pergi menuju kelasnya dan ketika sudah berada di pintu masuk kelas dia mendapati Reynaldi yang sedang tidur di dalam kelas. Indah menggelengkan kepalanya perlahan dan sejenak berpikir cara untuk membuat Reynaldi bekerja sama dengannya.

‘Beri aku kemudahan menghadapi si anak bawang ini.’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status