Sebelum perburuan dimulai, aku menyempatkan diri untuk berlatih bersama Bruno sebentar. Kami berkeliling peternakan, menikmati udara bersih dan sesekali bermesra-mesraan untuk mengikat perasaan kami. Dia terlihat sangat menyukaiku. Dia kuda yang ramah, pantas saja banyak yang menyukainya. Sementara itu para remaja itu sedang sibuk juga dengan kuda-kuda mereka. Berlatih di sisi lain peternakan. Beberapa ada juga yang sedang bermain dengan sapi, kambing dan binatang lainnya. Mungkin sedang memilah binatang yang nantinya akan kami buru. Aku penasaran hewan apa yang akan mereka pilih sebagai umpan. Sapi? Terlalu besar. Kambing? Kurang menantang. Atau, kelinci? Ini lebih masuk akal. Hanya saja, perburuan paling menyenangkan biasanya adalah yang dialam liar. Singa tua yang penyakitan, bison yang ganas atau haina? Ketika matahari lebih tinggi, barulah kami dipanggil ke ruang persiapan. Aku berganti pakaian, mengambil busur dan perlengkapan lainnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja Juna masuk ke
Mereka gila! Bagaimana mungkin aku bisa membunuh manusia yang tidak bersalah? Aku tahu bahwa diriku memang bukan orang baik dan berniat menghancurkan hidup orang lain tapi bukan seperti ini! Yang ada, akulah yang bakal menghancurkan hidupku sendiri. Meskipun terobsesi membunuh orang lain tapi aku tak bisa membunuh yang tak ada kaitannya dengan hidupku. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, aku menarik tali pengekang kuda dan mengajak Bruno berjalan ke arah lain. Aku bergegas pergi tapi baru beberapa langkah Bruno berjalan, sebuah panah menancap di tanah, tepat di depan kaki Bruno. Aku menoleh, menatap para remaja itu. “Baron?” Dia sudah gila? Dia mau membunuh kami? “Mau ke mana lo?” Ini terdengar seperti ancaman. Aku membuat Bruno mundur, menghindari anak panah. “Gue mau kembali. Gue nggak mau terlibat pembunuhan.” Namun, mereka malah menertawakanku. Persis seperti pembunuh berdarah dingin di film-film. “Jangan munafik, Tami.” “Bukankah tadi kami sudah memperingatkan lo? Harus
Apakah aku sudah di surga? Bintang berkelip di atas langit, membentuk pemandangan yang sangat menenangkan. Aku terbaring, dan pipiku mendadak hangat. Aku menoleh ke kanan, ada api unggun yang menyala dengan aroma ikan bakar yang manis. Aku tidak pernah tahu kalau di surga juga akan ada yang memasak ikan bakar. Aku lapar, perutku kering. Kukira, di surga semua tersedia tapi kenapa masih harus memasak? Hendak bangun, aku merasa bahuku masih sakit. “Bahkan di surga pun aku masih merasakan sakit!” gumamku. “Sialan!” Ah, bahuku sudah dibungkus menggunakan kain. Mungkinkah malaikat yang melakukannya? Gina! Apa yang harus kukatakan padanya? Dia pasti sangat bersedih karena aku sudah mati. Dengan siapa gadis itu bisa menggantungkan hidup ke depannya? Mbok Yem dan Pak Mus, siapa yang akan membiayai kehidupan mereka? “Jangan banyak gerak dulu!” Seorang pria muncul dari balik semak-semak, membuatku waspada. Tetapi begitu cahaya api menyentuh wajahnya, aku bisa memastikan bahwa aku masih h
“Mau mampir?” kataku saat sampai di depan gerbang rumah. Juna menggeleng. “Salam buat nyokap lo.” “Sebenarnya, gue tinggal di sini sama saudara gue.” “Bu Galuh nggak tinggal di sini?” Aku menggeleng. “Bunda tinggal di panti. Banyak anak yang harus diurus.” “Oh, oke! Tapi, salam ya. Sampaikan salam untuknya.” “Ya.” Kami berpisah di sini. Aku masuk ke rumah dengan masih menahan nyeri, disambut Gina yang segera mengomel perihal kondisiku. Sialan! *_* Gina memaksaku membawa luka ini ke rumah sakit. Demi kebaikanku. Dia juga melarangku keluar kamar apalagi banyak bergerak. Seolah aku benar-benar penyakitan parah. “Gue suapi!” Dia bahkan terdengar seperti perawat di panti jompo. Mau tak mau, aku menurut. Padahal hampir seumur hidup aku tak pernah dia perlakukan begini. “Omong-omong, Ben nggak ke sini lagi?” “Dia sudah dapat duit.” “Lo kasih berapa?” “Lumayan. Cukup buat dia nggak balik seminggu ke depan.” “Sialan!” umpatku. “Omong-omong, Angga ke sini?” Gina mengangguk. “D
“Gue nggak bisa datang,” ujar Tami sambil sesenggukan sambil memilah pakaian untuk dikenakan ke acara pesta. Yah, mau tidak mau dia harus merombak ulang rencana yang telah dia susun sejak semalam. Air matanya mengalir membasahi pipi kemerahannya. “Tolong bilang ke Ruben ..., gue minta maaf karena belum bisa bertemu sama dia.”“Ya ampun, Tam!” Di layar ponsel tersebut, terlihat jelas kemarahan Gina. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala tegas, seolah hendak memakan hidup-hidup pria yang sudah membuat sahabatnya menderita. “Memang ya, cowok itu keterlaluan banget. Bisa-bisanya dia berbuat kayak gini ke lo. Nggak punya empati itu orang. Bukan manusia deh kayaknya.”Tami menyeka air matanya menggunakan kaos. “Gue juga bingung, Gin.”“Memangnya nggak bisa kalau misalnya kita laporin dia ke polisi?”“Kalau saja bisa, Gin, sudah pasti sejak awal gue akan lapor polisi.” Tami mendudukkan dirinya di meja, mengambil bedak dan memoles wajahnya tipis. Dia tent
Mobil yang dikendarai oleh Juna melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Jakarta. Baik dirinya maupun Tami, tak ada satupun yang berniat membuka pembicaraan. Dan sejujurnya, Juna jauh lebih suka seperti ini. Sebab baginya, interaksi dengan Tami hanya akan membuat hubungan keduanya lebih dekat. Berteman tampaknya bukan cara yang bagus, sebab Juna bisa saja menjadi berwelas asih kepadanya nanti.Sementara itu, Tami memilih diam dan menatap lurus ke jalanan beraspal yang mereka lalui. Tampaknya, kesibukan pagi akan membuat keduanya agak terlambat. “Iya, Ma.” Juna sengaja membesarkan volume teleponnya, membiarkan sang ibu mengomel di seberang telepon. Lebih tepatnya, agar dia tak sendirian sakit telinga. “Jalanannya macet banget. Kami masih dalam perjalanan ke sana.”“Ya ampun, Juna!” Nyonya Anggara terdengar kecewa. “Tapi, kamu datang kan? Tami juga bisa datang kan?”Juna menoleh ke arah Tami, memberinya kode untuk bicara. Mau tidak mau, Tami pun akhirnya mendekatkan dirinya
Tuan Anggara telah meninggal cukup lama dan sudah seharusnya mereka tidak merayakaan hari-hari konyol semacam ini, setidaknya begitulah Arjuna menganggapnya. Meskipun kesal dengan apa yang dilakukan oleh ibunya, akan tetapi dia sama-sekali tidak keberatan. Yah, bagaimanapun juga dia hanya ingin sang mama bahagia. Sebab dia paham betapa besar cinta yang disimpan oleh Nyonya Anggara kepada mendiang suaminya. Berbeda dengan sang kakak, Anjamara memiliki pemikiran yang sama dengan ibu keduanya. Yah, meskipun kematian telah merenggut dan memisahkan keluarga ini, tetapi tidak seharusnya mereka membiarkan kenangannya hilang begitu saja. Bagaimanapun juga ayah mereka tetaplah bagian dari keluarga. “Anak kita akan menikah, Mas!” ujar Nyonya Anggara dengan lembut seolah suaminya ada di depan matanya. “Kau tahu, kekasih Juna sangat cantik. Persis seperti yang selalu kita bayangkan dahulu.”Bukannya Juna bersikap egois –seperti bagaimana yang dikatakan oleh Tami –dengan membuat cerita palsu kar
Duduk bersama dengan keluarga besar Anggara, nyatanya justru menjadi sesuatu yang sangat asing bagi Tami. Keluarga, yah, keluarga. Sebuah kenyataan yang barangkali sudah hilang darinya sejak puluhan belasan tahun lamanya. Terakhir kali dia memiliki kehangatan seperti ini, tidak lain dan tidak bukan adalah saat di mana mendiang ayahnya masih ada, sebelum pada akhirnya mati dalam timbunan sampah. Sebuah ironi dan bukan sekadar retorika semata. “Tami, mau makan ini?” Nyonya Anggara membuyarkan lamunan Tami, beliau mengambilkan lauk untuk calon menantunya tersebut. Yah, Tami bahkan belum mengisi apapun di piringnya sejak tadi. “Kamu sedang diet kah, Tami?”“Eh, tidak kok!” jawabnya kikuk. “Kok dari tadi malah bengong?” sahut Tante Sesil yang sejak tadi diam menyahut. “Atau jangan-jangan kamu tidak suka dengan makanannya ya?” Buru-buru Tami menggeleng. “Saya suka sekali, Tan.”“Terus, kenapa tidak ambil?”“Eh.”“Sudahlah, Sil!” Nyonya Anggara menyela pembicaraan adiknya dan menoleh kemb