Tami dan Juna memulai pernikahan mereka dengan selembar surat kontrak, akankah keduanya bisa memulai hubungan serius ke depannya? Demi uang pengobatan sang ibu, Tami rela menikah dengan pria kaya yang arogan. Di sisi lain, Arjuna sangat mencintai kekasihnya, Viviane, namun karena sebuah alasan dia terpaksa meninggalkan gadis itu dan menikah dengan orang lain.
Lihat lebih banyakBagian terbaik dari jatuh cinta adalah kita tidak pernah tahu kapan dan kepada siapa hati akan berlabuh, segalanya tampak begitu misterius sampai akhirnya kamu sadar bahwa sedang terjebak di dalam lautan penuh kegelapan, dan tidak ada jalan untuk kembali.
Sejak kecil, Tami tidak mengerti mengapa ibunya yang malang bisa jatuh cinta pada Ruben, ayahnya yang hampir tidak pernah hadir untuk keluarga kecil mereka. Satu-satunya yang Tami tahu, setiap kali Ruben ada di rumah, itu artinya bencana akan datang. Sebab pria paruh baya tersebut seakan-akan tidak bisa membiarkan keluarganya hidup tenang.
Seperti siang itu, Tami sedang bekerja di toko kue saat tiba-tiba saja gawainya berdering, menampilkan nama sang ayah di layar. Tanpa pikir panjang, Tami mengangkatnya dan sesuai dugaan, lagi-lagi kabar buruklah yang dia terima.
“Ibu hilang?” ucap Tami tidak percaya, mengulang pernyataan ayahnya. “Kok bisa sih, Pak?”
Ruben menjawab dengan ketus, “Ya mana gue tahu? Nyokap lo saja kelakuannya nggak benar. Padahal gue sudah bilang supaya dia nggak ke mana-mana eh malah pergi.”
“Ya sudah, Tami pulang sekarang!”
Jika saja sang ibu, Paramita, punya pemikiran yang normal dan bukan penderita gangguan jiwa sudah tentu wanita malang itu tidak akan pergi seperti ini. Lagi pula, menurut Tami, tanggung jawab yang diberikan pada Ruben sangat mudah, dia hanya perlu mengawasi sang ibu selama tidak ada orang di rumah. Pun tidak lama, hanya sampai adik-adik Tami pulang dari sekolah. Selebihnya, terserah Ruben mau jumpalitan seperti apa. Tami tidak peduli.
Tami tidak pernah menuntut apa-apa dari ayahnya. Malah, dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk bekerja, memberi makan dan membayar biaya pendidikan adik-adiknya, tapi kenapa sang ayah seolah-olah malah tidak menghargai itu? Ruben benar-benar tak memberi Tami waktu untuk sekadar bernapas lega.
“Sebentar saja, Mbak,” pinta Tami kepada Mbak Ajeng, pemilik toko kue tempatnya bekerja. “Nyokap gue kabur dari rumah.”
“Lagi?” Wanita berambut cepak itu menatapnya sinis, diiringi helaan napas panjang yang seolah-olah berkata: alasanmu sudah terlalu banyak digunakan, harusnya kau cari alasan baru yang lebih kreatif.
Tami mengangguk, memelas. “Gue mohon, Mbak. Dua jam. Nggak lebih. Begitu nyokap gue ketemu, gue janji akan langsung kembali ke sini. Kalau perlu, gue akan ganti jam yang terpakai di sif berikutnya. Ya? Tolong, Mbak.”
“Bukannya gue nggak mau ngasih, Tam. Masalahnya lo sudah keseringan. Gue nggak enak ke anak-anak lainnya, nanti dikira pilih kasih.”
“Mbak, please.” Tami menempelkan kedua tangannya di dada, tak lupa dia membungkuk, berharap belas kasih. “Gue nggak tahu Nyokap bakal ngelakuin apa di luar sana. Gue harus balik sekarang.”
Ajeng berdecih, tetapi sebagai manusia tentu dia pun masih punya hati. Maka, dengan penuh ketidakrelaan, Ajeng akhirnya mengangguk. “Jangan lama-lama. Dua jam saja.”
“Makasih banyak, Mbak! Makasih!” Tami menyalami tangan keriput wanita kepala empat itu, menempelkannya ke kening sebagai bentuk ucapan syukur.
Ajeng mengangguk, kering. “Ya. Ya. Ya. Sudah! Sana, pergi!” ujarnya seraya menarik tangannya dari tangan Tami. “Dan ingat, lo harus sudah kembali ke sini sebelum jam makan siang berakhir.”
*_*
Paramita menderita gangguan jiwa setelah kematian Anna, adik bungsu Tami sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu juga lah Tami mengambil alih peran sebagai wali untuk ketiga adiknya yang lain. Bukan hanya harus mencari nafkah, dia bahkan terpaksa merelakan kesempatannya mengambil beasiswa selepas SMA. Itulah mengapa dengan ijazah SMA-nya dari sekolah biasa-biasa saja ini, Tami dengan sangat berat mengambil banyak pekerjaan, hanya untuk mencukupi kebutuhan dapur agar tetap ngebul.
Pagi hingga siang dia bekerja di toko roti, agak sore hingga malam harinya dia pindah ke tempat laundry dekat rumah.
“Dasar orang gila,” umpat Ruben ketika Tami sampai di rumah. Pria itu menggerutu di atas sofa ruang tamu sembari mengisap rokok di tangan. “Mau diapakan juga tetap gila.”
“Bapak lupa Ibu gila karena siapa? Gara-gara Bapak. Coba saja kalau waktu itu Bapak nggak ambil uang untuk pengobatan Anna, nggak mungkin dia meninggal, dan Ibu sudah pasti nggak akan pernah kayak gini.”
“Kenapa lo jadi nyalahin gue?” Ruben tidak terima, dia berdiri dan menatap tajam ke putri sulungnya itu. “Eh, Tam, dengar ya! Memang lo kira gue tahu kalau adik lo bakalan mati secepat itu? Lagian, gue ini bapaknya. Gue jauh lebih sakit dari pada lo.”
“Kalau Bapak memang merasa bersalah, harusnya Bapak lebih peduli ke Ibu.”
“Kurang peduli apa gue ke nyokap lo?” todong Ruben, ketus. “Makan? Sudah gue suapi. Mandi? Sudah gue mandiin. Memang ibu lo saja yang nggak bersyukur.
“Lagi pula, semua orang pada dasarnya akan mati. Nggak perlu meratap terlalu lama. Yang ada kalau gila nyusahin keluarga.”
Jika ibunya menyusahkan, lalu Ruben kira dia apa? Tami membatin, tetapi detik berikutnya, dia memilih pergi, memulai perjalanan mencari sang ibu di sekitar rumah, juga menanyai para tetangga barangkali ada yang melihat kepergian Paramita.
“Nyokap lo? Tadi gue lihat sih jalan ke depan,” jawab Bu Juwar, pemilik warung kelontong.
“Coba cari ke rumah Mang Ujang.” Pak Kadir, tetangga yang lain memberi saran. “Biasanya kan ibumu di sana.”
“Nggak ada, Pak. Saya ini juga dari sana.”
“Kalau ke jalan besar?” Pak Oris, yang sedang menyiram jalan depan rumah berkata, “Soalnya, tadi saya dengar baru ada orang ditabrak mobil. Siapa tahu itu ibumu.”
Bagai disambar petir, dada Tami meletup tak kaget.
*_*
Entah firasat atau memang telah menduga, Tami langsung tahu bahwa perempuan yang ditabrak mobil hari itu adalah ibunya.
Tami dan Ruben bergegas ke rumah sakit. Untungnya, ketika mereka sampai di UGD, terlihat Paramita sedang duduk di atas tempat tidur dengan sebelah tangan di perban dan memakan sebungkus roti cokelat, yang langsung dia tawarkan kepada anak perempuannya itu tanpa rasa bersalah. Polos.
“Mau? Tami mau roti?”
Antara lega dan sedih, Tami menghampiri sang ibu. Tangannya memeluk tubuh gempal Paramita dengan erat, sementara tangisnya luruh.
“Ibu ke mana saja?” isaknya. “Ibu jangan pergi lagi.”
Paramita tersenyum, lebar. “Tami kenapa? Tami takut ya? Iya?”
Tami mengangguk, menenggelamkan wajahnya di bahu sang bunda. “Iya. Aku khawatir Ibu kenapa-kenapa.”
“Ibu nggak apa-apa,” jelas Paramita sembari mengusap air mata di wajah putrinya. “Di sini banyak orang baik. Ibu suka. Ibu dikasih roti. Kamu mau? Mau ya?”
“Nggak, buat ibu saja.”
“Tangan Ibu sakit.” Dia mengangkat sebelah tangannya, memamerkannya pada Tami yang matanya masih memerah itu. “Ibu ditabrak mobil.”
“Tami tahu. Makanya, Ibu jangan pergi dari rumah tanpa pamit ke Bapak.”
“Ibu sudah bilang,” jawab Paramita. “Tapi bapak kamu tidur. Bapakmu nggak mau nganterin Ibu jalan-jalan. Makanya, Ibu pergi sendiri. Kata bapakmu ..., pergi saja sendiri sana. Aku ngantuk.”
“Bapak bilang begitu?”
Paramita mengangguk, mantap.
Detik berikutnya, Tami menoleh ke luar UGD, lebih tepatnya ke arah sang ayah sedang berdiri bersama seorang pria yang menurut kabar adalah pelaku penabrakan. Yang Tami lihat sedang ngobrol asyik dan memberi Ruben uang. Dan yang Tami yakini, akan dimakan sendiri oleh ayahnya itu.
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen