"Siapa yang menikmati uangmu, Mas? Yang jelas bukan aku ya! Kamu aja hanya memberiku jatah satu juta! Gimana ceritanya menikmati uangmu?!"
Mas Haikal terbungkam. Mungkin dia sadar. Kalau tidak sadar juga berarti dia sudah tak waras.
Ada alasan kenapa aku lakukan hal ini padanya. Setiap hari aku selalu dimaki-maki, entah soal makanan yang terlalu sederhana atau soal anak-anak yang berisik dan ribut. Aku sudah capek. Muak sekali mendengarnya. Hampir menyerah dan ingin pulang saja ke rumah orang tua. Tapi jauh sekali di luar pulau. Harus punya dana yang banyak untuk pulang, sedangkan uang yang kukumpulkan pun lama-lama habis untuk menutupi kebutuhan. Kemarin-kemarin mungkin aku masih bisa ikhlas menjalani ini semua, menambal sulam kebutuhan keluarga dengan uang jualanku. Karena kupikir gaji Mas Haikal memang sedikit. Tapi tidak setelah aku mengetahui kenyataannya.
Beberapa hari yang lalu ...
"Mas, katanya kamu kan diangkat jadi manager, aku mau uang belanjanya ditambah mas, harga kebutuhan pokok semakin hari semakin mahal. Bisa kan, Mas?"
Tak ada sahutan apapun dari mulut Mas Haikal, dia bergeming, pandangannya hanya fokus pada benda berlayar pipih itu.
"Mas, kamu dengar aku?"
Dia menoleh ke arahku dengan tatapan tajam. "Tidak! Uang belanjaanmu seperti biasa. Satu juta per bulan," tukasnya dengan nada garang.
"Tapi--"
"Tidak ada kata tapi-tapi, urus rumah aja yang bener gak usah banyak nuntut. Jadi istri kok gak bersyukur banget. Adikku masih butuh biaya buat kuliah, apalagi sebentar lagi dia akan wisuda. Aku gak bisa menghambur-hamburkan uang untuk keperluan yang tidak penting."
Seketika aku terdiam. Aku hanya pasrah, mendengar ucapannya sudah tentu ia akan berbicara panjang lebar mengenai keluarganya.
Memang, Mas Haikal adalah tulang punggung keluarga. Dia menghidupi ibunya yang janda dan adiknya yang sekarang duduk di bangku kuliah, bahkan kakaknya pun turut jadi tanggungannya padahal dia sudah punya suami. Jujur, aku memang keberatan untuk hal itu. Apalagi dia tidak terbuka tentang apapun terhadapku. Pun mengenai gajinya. Aku hanya ingin ia terbuka dan bersikap adil pada kami.
Ia sempat keceplosan bicara kalau sekarang ia menjabat sebagai seorang manager. Aku tidak tahu seberapa besar gajinya. Mas Haikal hanya menjatahku satu juta per bulan, dan itu harus cukup. Aku harus putar otak bagaimana caranya mengatur keuangan ini, bayar air, listrik, kebersihan lingkungan sudah termasuk didalamnya. Bahkan uang jajan Daffa-Daffi, anak kembar kami yang berusia lima tahun termasuk dalam jatah uang belanjaanku. Beruntung si bungsu ku masih ASI eksklusif, jadi tak perlu memikirkan membeli susu formula.
*
Kuletakkan lipatan baju Mas Haikal di lemari. Tiba-tiba tanpa sengaja sebuah kertas jatuh ke lantai. Aku meraihnya, karena penasaran jadi aku membukanya. Isinya tentang struk gaji seorang manager, disana tertulis angka 10.000.000
Glek! Aku hanya mampu menelan saliva, gaji suamiku sebesar ini tapi dia hanya menjatahku satu juta? Kemana perginya sisa gajinya itu selain diberikan ke keluarganya?
Tanpa terasa air mataku meleleh. Kenapa aku harus mengetahui kenyataan ini kalau ternyata begitu menyakitkan. Kutaruh kembali kertas itu dibawah lipatan bajunya.
"Mil ... Milaaa ... Mana makanannya?!" teriak suara dari luar.
Rupanya Mas Haikal sudah pulang dari kantor. Aku beringsut menemuinya. Hari ini aku memang tidak masak. Aku malu kalau harus berhutang kembali ke warung. Uang konsinyasiku belum turun, baru kuambil seminggu yang lalu. Itupun menipis, padahal akan kugunakan untuk membeli bahan yang kubutuhkan.
Mas Haikal menatapku tajam.
"Maaf mas, aku gak masak. Hanya masak nasi saja. Jatah uang bulanan udah habis."
"Apaa?? Kamu kok boros banget jadi istri! Gajianku masih 3 hari lagi, dan kamu menghabiskannya secepat ini?" omelnya lagi. Dia meletakkan tudung saji itu dengan kasar.
"Uangnya buat bayar SPP Daffa-Daffi mas, udah nunggak dua bulan dan harus dilunasi. Sebelumnya aku udah minta sama mas, tapi--"
"Halaaah! Malu-maluin aja kamu jadi istri!"
Mas Haikal berlalu, menghentakkan kakinya dengan kasar.
Braakk!!
Pintu kamar ditutup kencang, membuat Daffa-Daffi yang sedang bermain di belakang berlari ke arahku. Dan bayi dalam gendonganku menangis karena kaget.
"Makanya, aku tuh gak percaya kalau kamu bisa ngatur uang! Dikasih segitu aja borosnya minta ampun! Beginilah begitulah dan banyak alasan lain!" hardiknya lagi muncul dari balik pintu.
"Mas, tolonglah jangan marah-marah didepan anak-anak."
Dia mendelik ke arahku lalu beralih menatap si kembar yang sedang memeluk kakiku ketakutan mendengar amarah sang ayah.
"Dasar istri tidak berguna!" gerutunya lagi, yang masih terdengar jelas di telinga.
Tanpa sepatah kata apapun lagi, Mas Haikal berlalu pergi meninggalkan rumah.
Rasa sesak kembali memenuhi rongga dada. Sakit. Ia kerap kali menghinaku seperti ini. Ya, aku disini seperti hidup menumpang di rumah suami. Rasanya sudah sangat lelah, gimana cara mengimbangi sikap suamiku dan tetap waras menjaga anak-anak. Dulu mungkin aku yang terlalu cinta padanya, tapi lama-lama rasa cintaku sudah mati, terkikis jauh di dasar hati. Tapi bisakah aku tetap bertahan selamanya seperti ini?
"Bunda, kenapa ayah marah-marah terus?" tanya Daffi dengan polosnya.
Aku mencoba tersenyum, memeluk keduanya dengan hangat. Merekalah yang membuatku masih bertahan.
"Ayah sedang banyak pekerjaan di kantor. Daffa sama Daffi, harus nurut ya. Jangan bikin ayah marah-marah."
"Baik, bunda."
"Oh iya, gimana nak, puasanya masih kuat?"
"Iya Bun, kata bunda harus tahan sampai bedug Maghrib."
"Benar sayang, kalian masih kuat kan?"
Keduanya mengangguk serempak.
"Nanti bunda bikinin nasi goreng ya?"
"Asyiiik, mau Bun. Tapi jangan pedas ya Bun."
"Siaaapp ...!"
Menjelang maghrib aku memasak nasi goreng untuk kami berbuka puasa. Terlebih aku sangat bersyukur, pada kedua anakku, mereka bisa menerima apa adanya, walaupun terkadang mereka juga rewel seperti anak-anak yang lain.
Sampai ba'da isya, Mas Haikal tak juga kembali. Kalau seperti ini dia pasti akan bermalam di tempat ibunya.
*
"San, Mas udah transfer ya uang bonus buat kamu sama ibu. Belikan apa aja yang kalian suka," ucap Mas Haikal berbicara di telepon.
Aku menyimaknya sekilas, berarti uang bonus Mas Haikal udah turun. Tapi kenapa dia tak bilang padaku?
Gegas aku menghampirinya sembari menggendong bayiku.
"Uang bonus udah turun, Mas?" tanyaku. Dengan penuh harap aku ingin agar dia memberiku sedikit.
"Hmmm ..." Ia menoleh sekilas, cuek. Lalu kembali sibuk dengan benda pipih di tangannya.
"Aku juga mau mas, pengin beli gamis. Gamis lamaku sudah pada belel kayak gini. Buat Alina juga Mas, baju bayinya dah pada kekecilan. Terus Daffa-Daffi ..."
"Gak usah neko-neko deh, kalian tuh di rumah aja! Sok-sokan mau baju baru! Pake baju yang ada. Jangan hambur-hamburin uang!"
"Tapi mas--"
Part 32Kuhirup udara kebebasan setelah mendekam dua tahun di balik jeruji besi. Fuh, berulang kali kuembuskan nafas kasar. Kali ini aku benar-benar bebas. Ya, bebas.Penampilan yang sudah tak karuan, rambut gondrong dan tubuh kurus tak menjadi masalah. Rasanya aku sangat rindu. Rindu bertemu dengan anak dan istri lalu ... Alina.Walaupun selama berada di hotel prodeo, Sandrina tak pernah menjengukku sekalipun. Entah kenapa dia. Apa sangat sibuk menjadi seorang model, atau justru kembali pulang ke kampung? Banyak pertanyaan yang berjejalan di otakku.Kulangkahkan kaki, ingin cepat pulang ke kontrakan tapi sepeserpun tak punya uang. Menyedihkan sekali hidupku ini.Suara adzan berkumandang. Hidup di penjara membuatku sadar, aku memang telah banyak meninggalkan ibadah kepada Allah. Aku ingin memperbaiki hidup. Semenjak berada di pesakitan, aku terus belajar sholat dan mengaji. Ternyata ada kedamaian dalam hati kecil ini.Berbe
Season 2 Part 312 tahun kemudian ..."Nak, menikahlah dengan Yudhis, dia laki-laki yang baik. Ayah ingin setelah kepergian ayah, ada yang menjagamu," ucapnya lirih. Pemilik suara itu adalah ayah kandungku, Haikal. Kondisinya saat ini tidak baik-baik saja. Faktor usia yang mulai renta membuatnya sakit-sakitan. Apalagi selama hidup dia mengabdikan dirinya di jalanan, menjadi sopir hingga puluhan tahun.Ya, semenjak aku bercerai dari Mas Tommy, rasanya trauma membuka hati kembali. Meskipun Mas Yudhis dengan gencar selalu mendekatiku, memberikan perhatian lebih. Tapi bayang-bayang trauma masa lalu sering kali hadir. Aku takut kembali disakiti lagi meskipun dia sudah bilang cinta berkali-kali sampai aku bosan mendengarnya."Uhuk ... Uhukk ..." Ayah Haikal kembali terbatuk-batuk. Kini dia tak bisa jauh dari tempat tidurnya karena sakit yang mendera sejak dua bulan terakhir. Kondisi kesehatannya benar-benar drop.Aku menatapnya dengan iba. Padahal selama
Season 2 Part 30"Pasti kamu gak baca semua ya? Kalau aku sedang mencari model untuk majalah dewasa. Tadi aku kan sudah mewanti-wanti untuk membaca semuanya, kau bilang sudah paham. Ingat ya kontrak yang sudah ditandatangani tidak bisa dibatalkan, atau kami akan menuntut denda padamu.""Hah?""Cepat ganti bajumu!""Tapi Miss, ini terlalu terbuka.""Namanya juga model majalah dewasa, nanti kamu juga disuruh pakai bikini doang."Deg! Jantung Sandrina berpacu sangat cepat. Ini memang salahnya, tak membaca kontrak itu dengan seksama. Tapi apa boleh buat, dia sudah menandatangani kontrak itu dan tak mungkin mundur lagi."Ayo ganti, badanmu bagus lho. Pas, sesuai sama kriteria. Habis pemotretan untuk majalah, kamu masih ada job lho.""Job apa?""Ckck! Kamu ini, kenapa gak baca! Usai pemotretan, kamu harus menemani salah tamu di hotel kita, kamar nomor 105, ini kuncinya.""Tunggu, Miss. Jadi ini seperti model plus-plus?"
Season 2 Part 29"Apa? Jadi kamu korupsi, Mas?" tanya Sandrina penuh selidik."Kamu pasti tahu aku tidak melakukan itu, Sandrina."Sandrina terdiam mendengarnya. Tak lama, Tommy langsung dibawa ke kantor menggunakan mobil polisi.Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan perasaan cemas setengah mati.'Apa yang harus kulakukan?' Sandrina berbicara sendiri. Terdengar suara Bayu menangis. Sandrina menghampirinya dan menggendongnya seraya menyusui."Habis ini kita ke kantor polisi yuk, Nak. Ayahmu dibawa sama Pak Polisi," ucap Sandrina dengan mata berkaca-kaca.Impian untuk hidup bertiga bersama sang suami dan putranya kini pupus sudah.Ia memandikan anaknya, memakaikan baju dan sepatu bayi. Sandrina pun segera mandi dan bebersih diri. Ia tak sempat sarapan biar nanti beli di warung pinggir jalan sekaligus untuk suaminya.Satu jam kemudian, dia melangkahkan kakinya pergi menuju kantor polisi dengan naik ojek. 
Season Part 28"Ya sudah kalau gitu aku yang kerja.""Kerja?" Keningku mengernyit."Ya, terima tawaran jadi model. Boleh kan?"Aku terdiam sejenak. Ragu dengan apa yang dia katakan. Maksudnya model apa? Semudah itukah jadi model? Bukankah seharusnya ada casting atau audisi yang lainnya."Gimana Mas, boleh kan?" tanyanya lagi penuh harap."Kamu serius pekerjaan itu beneran model? Jangan-jangan cuma bohongan, kamu jangan tergiur kayak gini sih. Cari kerja yang lain aja, yang pasti-pasti.""Mas, ini juga pasti lho. Ada kartu namanya. Gak mungkin kalau bohongan. Bahkan aku diminta datang ke gedung kantorn agencynya kalau gak percaya.""Kamu komunikasi sama dia?""Ya iyalah, Mas. Aku kan penasaran. Udah deh, percaya aja sama aku Mas.""Tapi--""Tenang saja, aku tetap mencintaimu walaupun nanti aku menjadi terkenal. Cintaku tetap untukmu."Kuhela nafas dalam-dalam. "Baiklah dicoba aja, terserah kamu. Aku c
Season 2 Part 27Ponselku berdering berkali-kali. Aku menggeliat malas, menggapai ponsel yang tergeletak di samping aku tertidur. Sebuah panggilan dari nomor kantor."Halo, Pak Tommy cepat datang ke kantor. Ada Tim Audit!" tukas sebuah suara dari seberang telepon."Apa? Tim audit?""Iya, Pak. Bos Yudhis juga sudah turun langsung dia kelihatan marah sekali."Deg! Astaga ada apa ini?"Iya, aku segera kesana.""Cepat ya, Pak. Ditunggu."Mengucek mata, menajamkan pandangan, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit."Ya ampun, aku kesiangan!"Melirik ke samping, Sandrina masih memeluk perutku. Aku hanya menggeleng perlahan. Apa dia sangat kelelahan akibat aktivitas semalam? Sampai sekarang malah belum bangun juga. Bukannya bangunin suami, masak, ini malah masih tidur. Duh istriku ini, ck!"Sandrina! Sandrina, bangun!"Menggoyangkan tubuhnya hingga menggeliat malas.