Home / All / Bukan Istri Idaman / 3. Bukan Istri Idaman

Share

3. Bukan Istri Idaman

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2022-01-08 22:03:42

"Tapi mas--"

Braakk!

Mas Haikal justru menggebrak meja, hingga membuat Alina, putri kami berjingkut kaget dan menangis.

"Urus aja tuh anakmu yang rewel itu! Berisik!!"

Andai kamu tahu, aku makin terluka karena tuturmu, hatiku seakan mati rasa. Karena luka yang kau tinggalkan sangat membekas di hati dan semakin terasa sesak di dada.

Netraku memanas, dan tanpa kompromi lagi, butiran bening ini lolos begitu saja. Andai saja aku punya keberanian untuk pulang kampung ke rumah orang tua. Biarpun orang tuaku tak mampu tapi mereka takkan menghina dan merendahkanku seperti ini. Hanya saja, mereka jauh di luar pulau, uangku tak cukup untuk ongkos kami pulang berempat. Aku dan ketiga anakku. Mas Haikal mana mau dia pulang ke rumah orang tuaku. Gubuk reyot dan kumuh.

Sungguh aku sangat rindu pada mereka, sudah enam tahun tak pulang semenjak dipersunting oleh Mas Haikal. Hanya berkabar lewat panggilan telepon. Karena disana bapak hanya punya handphone jadul. Ah mas, andai kau mengerti isi hatiku, menahan rindu itu sangat berat. Sama beratnya seperti memikul kebutuhan hidup ini sendirian.

***

Usai sholat subuh, aku mulai berkutat di dapur. Mencuci pakaianku dan juga anak-anak. Dan seringnya ibu mertuaku datang  kesini juga membawa satu keranjang besar cuciannya. Enak sekali mereka memanfaatkanku menjadi babu. Sekarang tidak lagi, aku akan menolaknya dengan tegas. Aku bukan babu gratisan.

Di halaman belakang, kutanami beberapa sayuran seperti kangkung, bayam, daun kelor, tomat, cabe serta bawang merah. Seringkali aku memetiknya untuk lauk makan kami. Tak jauh-jauh dari sayur bening. Tapi itu kulakukan untuk menekan biaya hidup yang makin mencekik.

"Kamu belum masak sarapan, Mil?" tanya Mas Haikal tiba-tiba.

"Udah, baru masak nasi doang."

"Beli lauk dong!"

"Mas sendiri aja yang beli."

"Cih, aku kan harus bersiap-siap berangkat ke kantor!"

"Ya sudah mana uangnya? Kamu mau makan apa?"

"Ayam goreng, sambal terasi."

"Ok."

Mas Haikal memberiku uang satu lembar lima puluh ribuan. Ck, dasar pelit! 

Aku berlalu ke depan, beruntung tukang sayur udah ada di tempat biasa. Gegas aku mengambil ayam satu kg, serta bumbu-bumbu dapur yang kemasan kecil.

"Mbak Mila tumben beli ayam," celetuk ibu yang ada di sebelahku. Bu Hanifah, si ratu gosip kompleks perumahan ini.

"Biasanya kan cuma ambil tempe satu potong, atau tahu sebungkus, tumben sekarang ayam. Dah gak ngirit lagi ya, Bu?"

"Ngirit apa pelit? Buat makan aja disayang-sayang padahal suaminya punya pekerjaan bagus, punya mobil," sambung yang lain.

"Iya, iya, padahal ibunya pakaiannya necis, gaul, punya banyak perhiasan. Kok mbak yang sebagai istrinya malah seperti ini sih? Mirip sekali seperti babunya."

Aku hanya tersenyum menanggapi mereka. Biarkan sajalah, mereka tidak tahu apa yang kualami. Mereka pikir aku menikmati uang suamiku. Hmmmm, sungguh salah besar. Aku seorang istri manager, tapi kayaknya lebih pantas disebut sebagai istri seorang kuli. Makan seadaanya, hidup sederhana hingga mereka menganggapku sebelah mata.

"Sudah Mang, totalnya berapa?" tanyaku pada mamang tukang sayur.

"Empat puluh lima ribu mbak."

"Ini mang uangnya. Boleh minta ditulisin gak, Mang?" tanyaku.

"Bisa, neng."

"Heleeeh, timbang belanja gitu doang minta nota. Perhitungan amat sih!" Lagi, Bu Hanifah mencelaku.

"Bukan aku yang perhitungan bu, tapi suamiku, jadi aku harus pake nota ini biar suamiku percaya, kalau aku gak bohong," jawabku.

Mereka melongo mendengarnya.

"Ini neng kembaliannya lima ribu. Total belanjanya 45 ribu, terus ini notanya ya."

"Makasih ya, Mang. Permisi ibu-ibu."

Para ibu mengangguk, mereka memandangku dengan tatapan tak biasa. Iba mungkin atau entahlah.

Masuk ke dalam rumah kembali berkutat di dapur. Sedangkan Daffa-Daffi, ia sudah mandi sendiri. Ya, aku sangat bersyukur memiliki anak-anak penurut dan mau mengerti kondisiku. Ayahnya? Dia tak sekalipun memperhatikan anaknya. Ia selalu berpikir kalau anak-anak adalah tanggung jawab ibunya.

Kulihat Mas Haikal sudah rapi dan wangi, ia memang keren dan ganteng. Tapi sayang sikapnya terlalu perhitungan. Kadang kala kasar dan suka membentak. Ingin sekali berpisah darinya, tapi lagi-lagi terkendala oleh biaya.

Disini, tinggal di dekat keluarga suami aku selalu mendapat ceramah agar menjadi istri yang baik. Nurut sama suami dan lain sebagainya. Mereka pikir selama ini aku apa? Apakah aku jahat? Ya sudah, akan kubuat jahat sekalian!

"Mana kembaliannya?" tegur Mas Haikal.

Tanpa banyak bertanya kuambilkan uang lima ribu itu lalu kertas nota padanya.

"Hah, semahal ini?"

"Mau makan enak kan mas? Ya memang segitu harganya."

"Cih, bisa tekor terus-menerus kalau kayak gini."

"Ya sudah kalau masih gak percaya besok belanja aja sendiri."

"Udah mateng belum?" tanya Mas Haikal.

"Tunggu sebentar lagi."

Memangnya gampang apa masak ayam langsung matang, kan butuh proses lebih dulu.

Selesai masak justru Mas Haikal kembali mengomel.

"Lelet kamu jadi istri. Keburu siang makanan gak ada yang matang. Bisa telat ke kantor aku! Dah lah aku langsung berangkat saja," ujarnya kemudian langsung ngeloyor pergi gitu aja.

Hah! Kuhela nafas dalam-dalam. Menyadari memang wataknya seperti itu. Aku harus tahan sampai aku mengumpulkan uang agar bisa pulang ke rumah orang tuaku.

"Bun, lapeeer."

Aku tersenyum, anakku akan selalu menerimaku apa adanya.

"Ayo makan sayang, bunda dah masakin makanan enak buat kalian."

"Wah asyiiiik."

Keduanya makan dengan lahapnya. Ya, makanan seperti ini sangat mewah bagi kami. Padahal menu seperti ini sudah terbiasa ada di rumah ibu mertua, makanya dia selalu menjelek-jelekkanku karena tak becus mengatur keuangan. Sungguh miris.

"Daffa sama Daffi seperti biasa ya, ibu cuma mengantar sekolah saja, nanti pulangnya sendiri ya. Tapi hati-hati ya Nak, kalau ada orang asing yang mau mengajak Daffi pulang jangan mau ya. Langsung saja lapor ke Bu Guru."

"Iya, Bunda."

"Anak baik, semoga belajarnya lancar dan ilmunya bermanfaat ya, Nak. Maafkan bunda belum bisa maksimal perhatian sama kalian."

"Baik, Bunda."

Sekolah TK anakku, tidak jauh dari rumah, masih dalam satu kompleks perumahan. Jadi aku tak perlu khawatir, ibu gurunya pun kenal denganku.

Di tengah perjalanan mengantarkan anakku sekolah, aku bertemu dengan perempuan bermulut cerewet, siapa lagi kalau bukan ibu mertuaku.

"Mil, mau kemana kamu? Tadi pagi Haikal berangkat tanpa sarapan dulu. Kamu gimana sih, malas banget jadi istri!"

Aku tak ingin berlarut-larut jadi bahan omelannya. Berlalu begitu saja sembari menggandeng kedua anakku.

"Gak sopan! Orang tua lagi ngomong ditinggal pergi gitu aja! Dasar menantu durhaka! Bener ya kata Haikal, kamu itu bukan istri idaman!"

Terpaksa kuhentikan langkah. "Harusnya ibu juga bilang sama Mas Haikal, apakah dia sudah jadi suami idaman bagi istrinya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Yhe Lo
nyata bener kisah ini.. ......
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
ya ampun..dpt suami pelit begini..amit2...
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
bagus banget ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Istri Idaman   104. Menyesal (End)

    Part 32Kuhirup udara kebebasan setelah mendekam dua tahun di balik jeruji besi. Fuh, berulang kali kuembuskan nafas kasar. Kali ini aku benar-benar bebas. Ya, bebas.Penampilan yang sudah tak karuan, rambut gondrong dan tubuh kurus tak menjadi masalah. Rasanya aku sangat rindu. Rindu bertemu dengan anak dan istri lalu ... Alina.Walaupun selama berada di hotel prodeo, Sandrina tak pernah menjengukku sekalipun. Entah kenapa dia. Apa sangat sibuk menjadi seorang model, atau justru kembali pulang ke kampung? Banyak pertanyaan yang berjejalan di otakku.Kulangkahkan kaki, ingin cepat pulang ke kontrakan tapi sepeserpun tak punya uang. Menyedihkan sekali hidupku ini.Suara adzan berkumandang. Hidup di penjara membuatku sadar, aku memang telah banyak meninggalkan ibadah kepada Allah. Aku ingin memperbaiki hidup. Semenjak berada di pesakitan, aku terus belajar sholat dan mengaji. Ternyata ada kedamaian dalam hati kecil ini.Berbe

  • Bukan Istri Idaman   103. Hari Bahagia Dirundung Duka

    Season 2 Part 312 tahun kemudian ..."Nak, menikahlah dengan Yudhis, dia laki-laki yang baik. Ayah ingin setelah kepergian ayah, ada yang menjagamu," ucapnya lirih. Pemilik suara itu adalah ayah kandungku, Haikal. Kondisinya saat ini tidak baik-baik saja. Faktor usia yang mulai renta membuatnya sakit-sakitan. Apalagi selama hidup dia mengabdikan dirinya di jalanan, menjadi sopir hingga puluhan tahun.Ya, semenjak aku bercerai dari Mas Tommy, rasanya trauma membuka hati kembali. Meskipun Mas Yudhis dengan gencar selalu mendekatiku, memberikan perhatian lebih. Tapi bayang-bayang trauma masa lalu sering kali hadir. Aku takut kembali disakiti lagi meskipun dia sudah bilang cinta berkali-kali sampai aku bosan mendengarnya."Uhuk ... Uhukk ..." Ayah Haikal kembali terbatuk-batuk. Kini dia tak bisa jauh dari tempat tidurnya karena sakit yang mendera sejak dua bulan terakhir. Kondisi kesehatannya benar-benar drop.Aku menatapnya dengan iba. Padahal selama

  • Bukan Istri Idaman   102. Vonis Hukuman

    Season 2 Part 30"Pasti kamu gak baca semua ya? Kalau aku sedang mencari model untuk majalah dewasa. Tadi aku kan sudah mewanti-wanti untuk membaca semuanya, kau bilang sudah paham. Ingat ya kontrak yang sudah ditandatangani tidak bisa dibatalkan, atau kami akan menuntut denda padamu.""Hah?""Cepat ganti bajumu!""Tapi Miss, ini terlalu terbuka.""Namanya juga model majalah dewasa, nanti kamu juga disuruh pakai bikini doang."Deg! Jantung Sandrina berpacu sangat cepat. Ini memang salahnya, tak membaca kontrak itu dengan seksama. Tapi apa boleh buat, dia sudah menandatangani kontrak itu dan tak mungkin mundur lagi."Ayo ganti, badanmu bagus lho. Pas, sesuai sama kriteria. Habis pemotretan untuk majalah, kamu masih ada job lho.""Job apa?""Ckck! Kamu ini, kenapa gak baca! Usai pemotretan, kamu harus menemani salah tamu di hotel kita, kamar nomor 105, ini kuncinya.""Tunggu, Miss. Jadi ini seperti model plus-plus?"

  • Bukan Istri Idaman   101. Otw Jadi Model

    Season 2 Part 29"Apa? Jadi kamu korupsi, Mas?" tanya Sandrina penuh selidik."Kamu pasti tahu aku tidak melakukan itu, Sandrina."Sandrina terdiam mendengarnya. Tak lama, Tommy langsung dibawa ke kantor menggunakan mobil polisi.Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan perasaan cemas setengah mati.'Apa yang harus kulakukan?' Sandrina berbicara sendiri. Terdengar suara Bayu menangis. Sandrina menghampirinya dan menggendongnya seraya menyusui."Habis ini kita ke kantor polisi yuk, Nak. Ayahmu dibawa sama Pak Polisi," ucap Sandrina dengan mata berkaca-kaca.Impian untuk hidup bertiga bersama sang suami dan putranya kini pupus sudah.Ia memandikan anaknya, memakaikan baju dan sepatu bayi. Sandrina pun segera mandi dan bebersih diri. Ia tak sempat sarapan biar nanti beli di warung pinggir jalan sekaligus untuk suaminya.Satu jam kemudian, dia melangkahkan kakinya pergi menuju kantor polisi dengan naik ojek. 

  • Bukan Istri Idaman   100. Fitnah

    Season Part 28"Ya sudah kalau gitu aku yang kerja.""Kerja?" Keningku mengernyit."Ya, terima tawaran jadi model. Boleh kan?"Aku terdiam sejenak. Ragu dengan apa yang dia katakan. Maksudnya model apa? Semudah itukah jadi model? Bukankah seharusnya ada casting atau audisi yang lainnya."Gimana Mas, boleh kan?" tanyanya lagi penuh harap."Kamu serius pekerjaan itu beneran model? Jangan-jangan cuma bohongan, kamu jangan tergiur kayak gini sih. Cari kerja yang lain aja, yang pasti-pasti.""Mas, ini juga pasti lho. Ada kartu namanya. Gak mungkin kalau bohongan. Bahkan aku diminta datang ke gedung kantorn agencynya kalau gak percaya.""Kamu komunikasi sama dia?""Ya iyalah, Mas. Aku kan penasaran. Udah deh, percaya aja sama aku Mas.""Tapi--""Tenang saja, aku tetap mencintaimu walaupun nanti aku menjadi terkenal. Cintaku tetap untukmu."Kuhela nafas dalam-dalam. "Baiklah dicoba aja, terserah kamu. Aku c

  • Bukan Istri Idaman   99. Dua Kejutan Buruk

    Season 2 Part 27Ponselku berdering berkali-kali. Aku menggeliat malas, menggapai ponsel yang tergeletak di samping aku tertidur. Sebuah panggilan dari nomor kantor."Halo, Pak Tommy cepat datang ke kantor. Ada Tim Audit!" tukas sebuah suara dari seberang telepon."Apa? Tim audit?""Iya, Pak. Bos Yudhis juga sudah turun langsung dia kelihatan marah sekali."Deg! Astaga ada apa ini?"Iya, aku segera kesana.""Cepat ya, Pak. Ditunggu."Mengucek mata, menajamkan pandangan, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit."Ya ampun, aku kesiangan!"Melirik ke samping, Sandrina masih memeluk perutku. Aku hanya menggeleng perlahan. Apa dia sangat kelelahan akibat aktivitas semalam? Sampai sekarang malah belum bangun juga. Bukannya bangunin suami, masak, ini malah masih tidur. Duh istriku ini, ck!"Sandrina! Sandrina, bangun!"Menggoyangkan tubuhnya hingga menggeliat malas.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status