"Tapi mas--"
Braakk!
Mas Haikal justru menggebrak meja, hingga membuat Alina, putri kami berjingkut kaget dan menangis.
"Urus aja tuh anakmu yang rewel itu! Berisik!!"
Andai kamu tahu, aku makin terluka karena tuturmu, hatiku seakan mati rasa. Karena luka yang kau tinggalkan sangat membekas di hati dan semakin terasa sesak di dada.
Netraku memanas, dan tanpa kompromi lagi, butiran bening ini lolos begitu saja. Andai saja aku punya keberanian untuk pulang kampung ke rumah orang tua. Biarpun orang tuaku tak mampu tapi mereka takkan menghina dan merendahkanku seperti ini. Hanya saja, mereka jauh di luar pulau, uangku tak cukup untuk ongkos kami pulang berempat. Aku dan ketiga anakku. Mas Haikal mana mau dia pulang ke rumah orang tuaku. Gubuk reyot dan kumuh.
Sungguh aku sangat rindu pada mereka, sudah enam tahun tak pulang semenjak dipersunting oleh Mas Haikal. Hanya berkabar lewat panggilan telepon. Karena disana bapak hanya punya handphone jadul. Ah mas, andai kau mengerti isi hatiku, menahan rindu itu sangat berat. Sama beratnya seperti memikul kebutuhan hidup ini sendirian.
***
Usai sholat subuh, aku mulai berkutat di dapur. Mencuci pakaianku dan juga anak-anak. Dan seringnya ibu mertuaku datang kesini juga membawa satu keranjang besar cuciannya. Enak sekali mereka memanfaatkanku menjadi babu. Sekarang tidak lagi, aku akan menolaknya dengan tegas. Aku bukan babu gratisan.
Di halaman belakang, kutanami beberapa sayuran seperti kangkung, bayam, daun kelor, tomat, cabe serta bawang merah. Seringkali aku memetiknya untuk lauk makan kami. Tak jauh-jauh dari sayur bening. Tapi itu kulakukan untuk menekan biaya hidup yang makin mencekik.
"Kamu belum masak sarapan, Mil?" tanya Mas Haikal tiba-tiba.
"Udah, baru masak nasi doang."
"Beli lauk dong!"
"Mas sendiri aja yang beli."
"Cih, aku kan harus bersiap-siap berangkat ke kantor!"
"Ya sudah mana uangnya? Kamu mau makan apa?"
"Ayam goreng, sambal terasi."
"Ok."
Mas Haikal memberiku uang satu lembar lima puluh ribuan. Ck, dasar pelit!
Aku berlalu ke depan, beruntung tukang sayur udah ada di tempat biasa. Gegas aku mengambil ayam satu kg, serta bumbu-bumbu dapur yang kemasan kecil.
"Mbak Mila tumben beli ayam," celetuk ibu yang ada di sebelahku. Bu Hanifah, si ratu gosip kompleks perumahan ini.
"Biasanya kan cuma ambil tempe satu potong, atau tahu sebungkus, tumben sekarang ayam. Dah gak ngirit lagi ya, Bu?"
"Ngirit apa pelit? Buat makan aja disayang-sayang padahal suaminya punya pekerjaan bagus, punya mobil," sambung yang lain.
"Iya, iya, padahal ibunya pakaiannya necis, gaul, punya banyak perhiasan. Kok mbak yang sebagai istrinya malah seperti ini sih? Mirip sekali seperti babunya."
Aku hanya tersenyum menanggapi mereka. Biarkan sajalah, mereka tidak tahu apa yang kualami. Mereka pikir aku menikmati uang suamiku. Hmmmm, sungguh salah besar. Aku seorang istri manager, tapi kayaknya lebih pantas disebut sebagai istri seorang kuli. Makan seadaanya, hidup sederhana hingga mereka menganggapku sebelah mata.
"Sudah Mang, totalnya berapa?" tanyaku pada mamang tukang sayur.
"Empat puluh lima ribu mbak."
"Ini mang uangnya. Boleh minta ditulisin gak, Mang?" tanyaku.
"Bisa, neng."
"Heleeeh, timbang belanja gitu doang minta nota. Perhitungan amat sih!" Lagi, Bu Hanifah mencelaku.
"Bukan aku yang perhitungan bu, tapi suamiku, jadi aku harus pake nota ini biar suamiku percaya, kalau aku gak bohong," jawabku.
Mereka melongo mendengarnya.
"Ini neng kembaliannya lima ribu. Total belanjanya 45 ribu, terus ini notanya ya."
"Makasih ya, Mang. Permisi ibu-ibu."
Para ibu mengangguk, mereka memandangku dengan tatapan tak biasa. Iba mungkin atau entahlah.
Masuk ke dalam rumah kembali berkutat di dapur. Sedangkan Daffa-Daffi, ia sudah mandi sendiri. Ya, aku sangat bersyukur memiliki anak-anak penurut dan mau mengerti kondisiku. Ayahnya? Dia tak sekalipun memperhatikan anaknya. Ia selalu berpikir kalau anak-anak adalah tanggung jawab ibunya.
Kulihat Mas Haikal sudah rapi dan wangi, ia memang keren dan ganteng. Tapi sayang sikapnya terlalu perhitungan. Kadang kala kasar dan suka membentak. Ingin sekali berpisah darinya, tapi lagi-lagi terkendala oleh biaya.
Disini, tinggal di dekat keluarga suami aku selalu mendapat ceramah agar menjadi istri yang baik. Nurut sama suami dan lain sebagainya. Mereka pikir selama ini aku apa? Apakah aku jahat? Ya sudah, akan kubuat jahat sekalian!
"Mana kembaliannya?" tegur Mas Haikal.
Tanpa banyak bertanya kuambilkan uang lima ribu itu lalu kertas nota padanya.
"Hah, semahal ini?"
"Mau makan enak kan mas? Ya memang segitu harganya."
"Cih, bisa tekor terus-menerus kalau kayak gini."
"Ya sudah kalau masih gak percaya besok belanja aja sendiri."
"Udah mateng belum?" tanya Mas Haikal.
"Tunggu sebentar lagi."
Memangnya gampang apa masak ayam langsung matang, kan butuh proses lebih dulu.
Selesai masak justru Mas Haikal kembali mengomel.
"Lelet kamu jadi istri. Keburu siang makanan gak ada yang matang. Bisa telat ke kantor aku! Dah lah aku langsung berangkat saja," ujarnya kemudian langsung ngeloyor pergi gitu aja.
Hah! Kuhela nafas dalam-dalam. Menyadari memang wataknya seperti itu. Aku harus tahan sampai aku mengumpulkan uang agar bisa pulang ke rumah orang tuaku.
"Bun, lapeeer."
Aku tersenyum, anakku akan selalu menerimaku apa adanya.
"Ayo makan sayang, bunda dah masakin makanan enak buat kalian."
"Wah asyiiiik."
Keduanya makan dengan lahapnya. Ya, makanan seperti ini sangat mewah bagi kami. Padahal menu seperti ini sudah terbiasa ada di rumah ibu mertua, makanya dia selalu menjelek-jelekkanku karena tak becus mengatur keuangan. Sungguh miris.
"Daffa sama Daffi seperti biasa ya, ibu cuma mengantar sekolah saja, nanti pulangnya sendiri ya. Tapi hati-hati ya Nak, kalau ada orang asing yang mau mengajak Daffi pulang jangan mau ya. Langsung saja lapor ke Bu Guru."
"Iya, Bunda."
"Anak baik, semoga belajarnya lancar dan ilmunya bermanfaat ya, Nak. Maafkan bunda belum bisa maksimal perhatian sama kalian."
"Baik, Bunda."
Sekolah TK anakku, tidak jauh dari rumah, masih dalam satu kompleks perumahan. Jadi aku tak perlu khawatir, ibu gurunya pun kenal denganku.
Di tengah perjalanan mengantarkan anakku sekolah, aku bertemu dengan perempuan bermulut cerewet, siapa lagi kalau bukan ibu mertuaku.
"Mil, mau kemana kamu? Tadi pagi Haikal berangkat tanpa sarapan dulu. Kamu gimana sih, malas banget jadi istri!"
Aku tak ingin berlarut-larut jadi bahan omelannya. Berlalu begitu saja sembari menggandeng kedua anakku.
"Gak sopan! Orang tua lagi ngomong ditinggal pergi gitu aja! Dasar menantu durhaka! Bener ya kata Haikal, kamu itu bukan istri idaman!"
Terpaksa kuhentikan langkah. "Harusnya ibu juga bilang sama Mas Haikal, apakah dia sudah jadi suami idaman bagi istrinya?"
"Sekarang kamu sudah berani menjawab ya!""Maaf ya, Bu. Saya permisi."Kutinggalkan ibu mertuaku yang masih mengomel sendiri. Kacau sekali. Berkali-kali dihina dan dicaci membuatku ingin melawan saja. Memangnya aku ini sampah? Selalu dipandang sebelah mata hanya karena aku tidak bekerja.Usai mengantarkan Daffa dan Daffi, aku kembali pulang. Banyak hal yang harus kulakukan dari pada merutuki nasibku sendiri. Aku kuat, aku pasti bisa keluar dari zona ini."Mbak, mbak Mila! Teriak sebuah suara."Bu Wandi berjalan tergopoh-gopoh sembari membawa tentengan kresek di tangannya."Iya Bu, ada apa?""Tadi pagi saya lihat statusnya Mbak Mila, ternyata Mbak Mila bisa bikin aksesoris ya?""Oh iya Bu, saya coba-coba pengen jualan online untuk karya handmade saya.""Alhamdulillah, kebetulan banget mbak. Mbak bisa bikin bros kan?"
"Ck! Dasar istri gak becus, bisanya nyusahin aja!"Ia mengambil dompet dan mengeluarkan uang enam ratus ribu dari lalu diserahkan padaku."Kenapa gak bayar sendiri ke minimarket?""Halah, aku capek. Kamu aja yang bayarin, yang penting ada struknya."Dasar pelit!"Tadi sore Pak RT juga kesini, meminta uang kebersihan 100 ribu.""Bayarin kamu dulu lah katanya kamu jualan.""Dih, kamu yang bilang sendiri kan kalau jualanku itu cuma recehan. Kok malah minta ke aku. Gak malu apa, Mas?""Iya, iya, pusing aku dengar kecerewetanmu! Nih uangnya."Sabar, sabar. Sampai kapan penghinaan ini terjadi, aku harus bisa melaluinya.***Drama pagi-pagi pun masih sama seperti kemarin, entah kenapa Mas Haikal cerewet sekali. Kok ada lelaki yang bermulut lemas seperti dirinya. Ya, mungkin sikapnya menurun dari
"Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!""Apa-apaan sih kamu, Mil! Lebay banget! Cuma sampah gitu doang aja marah-marah!""Jangan kau rusak kesenanganku! Kau boleh menganggap ini sampah. Tapi tidak bagiku!""Udah deh Mil, gak usah berlebihan!""Kamu yang membuatku seperti ini, Mas! Apa kamu tidak sadar telah menyakiti hatiku?""Mil, Mil, kayak diapain aja kamu!"Kutinggalkan dia begitu saja. Masuk ke kamar putraku dan menguncinya dari dalam. Kupeluk si kembarku hingga mereka kebingungan.Biarkan bunda memeluk kalian sebentar saja, Nak. Bunda butuh kekuatan. Dan kalianlah kekuatan terbesar Bunda."Bunda nangis? Dimarahi ayah lagi ya?" ujar Daffi dengan polosnya.Kubelai lembut kepalanya, lalu menciumi mereka berkali-kali."Sayang
"Kenapa wajah lu ditekuk gitu? Gak ada manis-manisnya!" celetuk Farhan, rekan kerjaku di kantor. "Ck! Pusing gue Han!" "Kenapa?" "Istri gue gak mau dikasih uang belanja. Katanya biar gue aja yang atur keuangan rumah." "Memangnya lu ngasih berapa sampe istri lu nolak gitu?" "Satu juta." "Satu juta untuk seminggu?" "Satu juta untuk sebulan lah! Boros amat seminggu sejuta!" Tiba-tiba dia menoyor kepalaku. "Gila lu! Satu juta sebulan? Mana cukup?!" "Biasanya dia gak pernah protes, Han! Bulan-bulan sebelumnya dia bisa mengatur keuangan dengan baik." "Gila lu ya! Satu juta sebulan itu jatah apa? Belanja sayur doang atau gimana?" "Ya semuanya lah, semua kebutuhan rumah. Makan, listrik, air. Pokoknya aku tahunya satu juta harus cukup!"
"Gue gak nyumpahin, Kal. Tapi hukum tabur tuai itu masih berlaku! Siapa yang menanam dia akan menuai. Jangan-jangan nanti berbalik sama lu sendiri, kalau gak sekarang berarti saat tua nanti, anak-anak lu pelit sama lu, gak mau ngurusin lu sebagai bapaknya!""Jangan nyumpahin yang enggak-enggak deh, Han! Makin pusing gue dengernya! Dah lah mikir pekerjaan, di rumah juga Mila gak mau ngurusin uang lagi, ditambah ceramah lu, bikin kepala gue nyut-nyutan. Lu tau gak, kemarin gue disuruh belanja sembako. Ckck bener-bener deh istri gue gak ngehargai banget, laki-laki disuruh belanja kebutuhan pokok.""Gue gak nyumpahin kok, sekarang aja lu sepertinya gak peduli sama anak lu sendiri. Terus gimana pengalaman lu belanja? Habis berapa duit?""Tekor gue, Han! Sekali belanja kemarin habis 800 ribu, itu baru separuh katanya. Belum belanja sayur dan yang lain. Kemarin uang kebersihan, air, listrik 700 ribu. Jadi
[Iya Bu, nanti sore aku mampir ke tempat ibu]Setelah mengirim balasan itu, ibu tak lagi protes.***Pulang bekerja, langsung menemui ibu di rumahnya."Nah, kebetulan kamu datang, Kal! Banyak yang ingin ibu katakan," sambut ibu sesaat setelah membuka pintu."Ada apa, Bu?""Soal Mila.""Mila kenapa?""Sekarang istrimu itu ngelunjak ya, Kal! Dia berani menjawab perkataan ibu. Gak sopan memang!""Mungkin lagi capek, Bu.""Kamu bilangin kek, biar gak ngelunjak sama mertua.""Iya Bu.""Oh iya mana jatah ibu?"Kuambil amplop coklat berisi uang dan kuberikan padanya."Kok cuma segini, Kal! Harusnya ditambah kok malah jatah ibu berkurang sih!" protes ibu.Aku tahu ibu pasti akan bersikap seperti ini. Biasanya aku memberi ibu tiga
"Temanku.""Teman? Sejak kapan kamu punya teman laki-laki? Lagi pula tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Mil!" bentakku kasar."Terus menurutmu apa, Mas?"Tiba-tiba ... Plaaakk ...!Ibu menampar Mila, membuatku berjingkat kaget. Sedangkan Mila memegangi pipinya yang mungkin terasa panas dan perih. Karena tamparan ibu, membuatku sedikit iba padanya."Jadi istri masih ngeyel aja kamu! Dasar wanita tidak tahu diri! Suamimu itu udah capek-capek kerja kamu malah melacur sama laki-laki lain.""Maaf Bu, tolong jaga ucapan ibu. Aku tak pernah melakukan hal serendah itu!""Kalau tidak merasa lalu ngapain ketemuan sama lelaki? Apa satu laki-laki saja tidak cukup bagimu?"Aku juga rasanya ingin marah. Tapi kemarahan ibu pada Mila terlalu berlebihan. Ibu sering menjelek-jelekan Mila. Dari dulu ibu memang
"Pergi? Uang dari mana kamu mau pergi membawa anak-anak? Kalau mau pergi, pergi sendiri jangan bawa anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kelaparan gara-gara kamu!""Jangan khawatirkan hal itu, Mas. Aku bisa menghidupi anak-anakku sendiri tanpa bantuanmu.""Sombong sekali kamu, Mil! Baru bisa usaha sedikit saja sudah merasa diatas awan seperti itu!"Seketika Mila berlalu begitu saja meninggalkanku yang belum selesai bicara. Kucekal pergelangan tangannya, untuk mencegahnya pergi."Sudah gak sopan ya kamu sama suami! Mana rasa hormatmu sebagai istri? Gara-gara laki-laki itu kan yang membuat sikapmu berubah padaku?!"Mila mengibaskan tangannya dan menatapku penuh kebencian."Introspeksi diri sendiri saja, Mas! Kenapa sikapku bisa berubah?! Dan tolong, jangan mengkambinghitamkan orang lain!"Mila masuk ke dalam kamar anak-anak. Aaaarrrgghh! Membuatku geram saja