Home / All / Bukan Istri Idaman / 6. Menyerah

Share

6. Menyerah

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2022-01-08 22:08:50

"Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!"

"Apa-apaan sih kamu, Mil! Lebay banget! Cuma sampah gitu doang aja marah-marah!"

"Jangan kau rusak kesenanganku! Kau boleh menganggap ini sampah. Tapi tidak bagiku!"

"Udah deh Mil, gak usah berlebihan!"

"Kamu yang membuatku seperti ini, Mas! Apa kamu tidak sadar telah menyakiti hatiku?"

"Mil, Mil, kayak diapain aja kamu!"

Kutinggalkan dia begitu saja. Masuk ke kamar putraku dan menguncinya dari dalam. Kupeluk si kembarku hingga mereka kebingungan.

Biarkan bunda memeluk kalian sebentar saja, Nak. Bunda butuh kekuatan. Dan kalianlah kekuatan terbesar Bunda.

"Bunda nangis? Dimarahi ayah lagi ya?" ujar Daffi dengan polosnya.

Kubelai lembut kepalanya, lalu menciumi mereka berkali-kali.

"Sayang, nanti kalau bunda punya uang banyak, dan cukup untuk ongkos pulang, kita pulang ya ke rumah kakek. Kalian mau kan?"

"Mau Bun. Yang penting bunda jangan nangis ya, aku mau pergi kemanapun asal bersama bunda."

"Aku juga Bun."

"Terima kasih ya sayang."

Gimana caranya menyadarkan Mas Haikal agar dia bisa bersikap lemah lembut seperti dulu lagi?

Dulu, Mas Haikal adalah lelaki yang lemah lembut. Sayang kepada istrinya. Namun, kurasakan sejak kelahiran putra kembarku, ia mulai berubah. Apalagi dari pihak ibu mertua menuntut harus selalu tampil sempurna. Orang berumah tangga itu harus punya rumah sendiri, gak numpang terus kayak benalu.

Jengah karena tuntutan ibu, akhirnya Mas Haikal ambil kredit perumahan. Aku sudah bertanya apakah dia sanggup membayar cicilannya? Mas Haikal mantap menjawabnya. Sejak saat itu dia jadi uring-uringan kalau duit gaji habis terus.

Tak cukup sampai disitu, ibu mertua juga mengompori Mas Haikal untuk kredit mobil. Aku masih ingat, ucapan ibu yang membanding-bandingkan anaknya sendiri dengan anak juragan Banu.

"Tuh lihat si Riko, dia udah punya rumah sendiri, punya mobil juga, kamu kapan, Kal?"

Mas Haikal terdiam.

"Kamu kerja dah lama, tapi belum nempel apa-apa. Malu dong jadi cibiran tetangga."

"Bu, kan waktu aku masih bujang, semua uang gaji kukasih ibu."

"Iya, tapi itu kan dulu. Sekarang kamu yang pegang uang itu sendiri. Harusnya bisa dong atur keuangan."

"Iya, iya Bu, nanti aku kredit mobil."

Ya, seperti itulah awalnya. Hingga gaji Mas Haikal habis buat cicilan rumah dan mobil. Dia memberiku nafkah hanya sedikit saja. Bertahun-tahun aku tak pernah protes karena dia selalu bilang uang gajinya habis buat bayar cicilan. Eh ternyata selama ini aku dibohongi. Sakit sekali. Dia memanfaatkan kebodohanku.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Mila, buka pintunya. Aku minta maaf," teriak suara dari luar.

Daffa dan Daffi mereka saling berpandangan. Hatiku benar-benar teriris perih. Kenapa laki-laki yang dulu sangat kucintai berubah jadi monster dan menyerangku.

"Mil, buka pintunya. Aku perlu bicara."

Aku terdiam. Biarkan saja, hatiku sudah terlanjur patah. Dia keterlaluan sekali.

Kamu mungkin pernah terluka, hingga membuat hatimu mati rasa. Luka yang dia tinggalkan begitu membekas di hatimu, hingga membuatnya semakin menganga, semakin terasa sesak di dada. Itulah yang kurasakan kini.

Untung saja, tadi anak-anak sudah mandi sebelum kuajak keluar rumah.

Suara adzan maghrib berkumandang. Aku mengajak anak-anak untuk sholat lebih dahulu lalu mengaji.

"Mil, Mil, buka pintunya!" Mas Haikal masih berusaha membujukku. "Kamu tahu kan surga istri itu terletak pada ridha suami?"

Aku tersenyum getir, lalu menyapu titik-titik bisa yang menetes di pipi. Halah, basi, Mas. Kalau kamu sudah merasa kalah dan salah pasti sok-sokan menceramahiku. Apakah suami dengan perangai buruk seperti itu harus terus kuhormati? Dia saja tak pernah menyayangiku lagi maupun anak-anak.

"Mil, Mil ...!"

Kubuka pintu perlahan, melihat Mas Haikal ada di hadapanku. Dia memandangku dengan tatapan memelas, mencekal pergelangan tanganku.

"Aku minta maaf," ujar Mas Haikal.

Aku terdiam sejenak tanpa menyahut.

"Tadi aku khilaf, aku minta maaf."

Kukibaskan cekalan tangannya, berlalu membuatkannya teh manis.

Sabar, Mil. Sabar. Kata ibu, selagi dia masih suami kita, kita harus melayaninya dengan baik. Duh ibu, rasanya aku sudah tidak kuat bila terus bertahan seperti ini. Rasanya ingin menyerah saja. Ibuku memanglah wanita penyabar.

Mas Haikal mengikutiku. "Mas minta maaf, mas sudah salah sama kamu. Di kantor lagi banyak masalah, jadi mas--"

"Ini tehnya, silahkan diminum. Kalau makanan aku gak masak kecuali nasi. Silahkan beli diluar saja."

Aku kembali masuk ke dalam kamar si kecil. Mereka tengah asyik bermain sendiri. Dan sekarang waktuku berkreasi.

Berulang kali Mas Haikal mengetuk pintu, namun tak kujawab panggilannya.

"Kenapa kamu jadi seperti ini, Mil? Mas minta maaf. Ayo kita makan bersama, mas sudah membelikan makanan buat kalian, anak-anak juga belum makan kan?" ujarnya dari balik pintu.

Emang enak aku cuekin, Mas.

***

Pagi ini, mataku terlihat begitu sembab karena menangis kemarin, sungguh membuat emosiku tak terkendali.

Seperti biasa aktivitas yang kulakukan sebagai ibu rumahtangga. Mencuci sambil memasak.

Kulihat makanan yang dibeli Mas Haikal semalam masih utuh teronggok diatas meja. Ada ayam bakar beserta lalapannya. Kuhangatkan makanan itu hingga aromanya tercium begitu harum.

"Akhirnya istriku kembali seperti biasa lagi," ucap Mas Haikal tiba-tiba sembari memelukku dari belakang. Aku sampai kaget dibuatnya.

Aku mengurai pelukannya, menoleh sebentar dan dengan pede nya lelaki itu tersenyum.

"Oaaa..  ooaaa.. oaaa..."

Tangisan Alina menghenyakkanku. Dia menangis, mungkin karena butuh ASI. Segera berlalu masuk dan menggendong bayi mungil itu.

Cukup lama berada di gendonganku dan Mas Haikal sama sekali tak berinisiatif untuk membantuku menggendongnya walaupun aku tengah kerepotan.

"Mas, coba kamu gendong Alina sebentar. Aku mau bangunin Daffa sama Daffi," pintaku. Sengaja ingin mendengar tanggapannya.

"Gak lah, aku sudah siang, mau berangkat!"

"Tapi Mas, kamu kan gak pernah gendong Alina semenjak dia lahir."

"Itu urusanmu, kamu kan ibunya! Jangan repoti aku pula dengan hal beginian! Tugasku hanya mencari nafkah!  Aku berangkat."

Sekali lagi, mulut itu menyakiti hatiku. Setiap hari Alina hanya mendapatkan kasih sayang dariku padahal anak-anak pun butuh perhatiannya, tapi dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Setiap aku protes dia selalu mengeluh, memutar balikkan fakta. Padahal aku hanya ingin dia memberikan sedikit saja waktunya untuk menemani si kecil.

Dia tak berubah dan sampai kapanpun tak pernah berubah. Baiklah Mas, ucapanmu itu membuatku makin mantap untuk tak akan bergantung lagi padamu. Aku akan hidup sendiri bersama anak-anak. Tunggu saja waktunya sampai aku bisa mengumpulkan uang agar bisa lepas dari ikatan ini.

Kalau seperti ini, rasanya aku ingin pulang saja ke rumah orang tuaku. Pak, Bu, aku rindu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Helmi Gk
semakin lama membaca semakin membuat penasaran sekali bagi sang pembaca yang menghayati satu demi satu kata
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Istri Idaman   104. Menyesal (End)

    Part 32Kuhirup udara kebebasan setelah mendekam dua tahun di balik jeruji besi. Fuh, berulang kali kuembuskan nafas kasar. Kali ini aku benar-benar bebas. Ya, bebas.Penampilan yang sudah tak karuan, rambut gondrong dan tubuh kurus tak menjadi masalah. Rasanya aku sangat rindu. Rindu bertemu dengan anak dan istri lalu ... Alina.Walaupun selama berada di hotel prodeo, Sandrina tak pernah menjengukku sekalipun. Entah kenapa dia. Apa sangat sibuk menjadi seorang model, atau justru kembali pulang ke kampung? Banyak pertanyaan yang berjejalan di otakku.Kulangkahkan kaki, ingin cepat pulang ke kontrakan tapi sepeserpun tak punya uang. Menyedihkan sekali hidupku ini.Suara adzan berkumandang. Hidup di penjara membuatku sadar, aku memang telah banyak meninggalkan ibadah kepada Allah. Aku ingin memperbaiki hidup. Semenjak berada di pesakitan, aku terus belajar sholat dan mengaji. Ternyata ada kedamaian dalam hati kecil ini.Berbe

  • Bukan Istri Idaman   103. Hari Bahagia Dirundung Duka

    Season 2 Part 312 tahun kemudian ..."Nak, menikahlah dengan Yudhis, dia laki-laki yang baik. Ayah ingin setelah kepergian ayah, ada yang menjagamu," ucapnya lirih. Pemilik suara itu adalah ayah kandungku, Haikal. Kondisinya saat ini tidak baik-baik saja. Faktor usia yang mulai renta membuatnya sakit-sakitan. Apalagi selama hidup dia mengabdikan dirinya di jalanan, menjadi sopir hingga puluhan tahun.Ya, semenjak aku bercerai dari Mas Tommy, rasanya trauma membuka hati kembali. Meskipun Mas Yudhis dengan gencar selalu mendekatiku, memberikan perhatian lebih. Tapi bayang-bayang trauma masa lalu sering kali hadir. Aku takut kembali disakiti lagi meskipun dia sudah bilang cinta berkali-kali sampai aku bosan mendengarnya."Uhuk ... Uhukk ..." Ayah Haikal kembali terbatuk-batuk. Kini dia tak bisa jauh dari tempat tidurnya karena sakit yang mendera sejak dua bulan terakhir. Kondisi kesehatannya benar-benar drop.Aku menatapnya dengan iba. Padahal selama

  • Bukan Istri Idaman   102. Vonis Hukuman

    Season 2 Part 30"Pasti kamu gak baca semua ya? Kalau aku sedang mencari model untuk majalah dewasa. Tadi aku kan sudah mewanti-wanti untuk membaca semuanya, kau bilang sudah paham. Ingat ya kontrak yang sudah ditandatangani tidak bisa dibatalkan, atau kami akan menuntut denda padamu.""Hah?""Cepat ganti bajumu!""Tapi Miss, ini terlalu terbuka.""Namanya juga model majalah dewasa, nanti kamu juga disuruh pakai bikini doang."Deg! Jantung Sandrina berpacu sangat cepat. Ini memang salahnya, tak membaca kontrak itu dengan seksama. Tapi apa boleh buat, dia sudah menandatangani kontrak itu dan tak mungkin mundur lagi."Ayo ganti, badanmu bagus lho. Pas, sesuai sama kriteria. Habis pemotretan untuk majalah, kamu masih ada job lho.""Job apa?""Ckck! Kamu ini, kenapa gak baca! Usai pemotretan, kamu harus menemani salah tamu di hotel kita, kamar nomor 105, ini kuncinya.""Tunggu, Miss. Jadi ini seperti model plus-plus?"

  • Bukan Istri Idaman   101. Otw Jadi Model

    Season 2 Part 29"Apa? Jadi kamu korupsi, Mas?" tanya Sandrina penuh selidik."Kamu pasti tahu aku tidak melakukan itu, Sandrina."Sandrina terdiam mendengarnya. Tak lama, Tommy langsung dibawa ke kantor menggunakan mobil polisi.Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan perasaan cemas setengah mati.'Apa yang harus kulakukan?' Sandrina berbicara sendiri. Terdengar suara Bayu menangis. Sandrina menghampirinya dan menggendongnya seraya menyusui."Habis ini kita ke kantor polisi yuk, Nak. Ayahmu dibawa sama Pak Polisi," ucap Sandrina dengan mata berkaca-kaca.Impian untuk hidup bertiga bersama sang suami dan putranya kini pupus sudah.Ia memandikan anaknya, memakaikan baju dan sepatu bayi. Sandrina pun segera mandi dan bebersih diri. Ia tak sempat sarapan biar nanti beli di warung pinggir jalan sekaligus untuk suaminya.Satu jam kemudian, dia melangkahkan kakinya pergi menuju kantor polisi dengan naik ojek. 

  • Bukan Istri Idaman   100. Fitnah

    Season Part 28"Ya sudah kalau gitu aku yang kerja.""Kerja?" Keningku mengernyit."Ya, terima tawaran jadi model. Boleh kan?"Aku terdiam sejenak. Ragu dengan apa yang dia katakan. Maksudnya model apa? Semudah itukah jadi model? Bukankah seharusnya ada casting atau audisi yang lainnya."Gimana Mas, boleh kan?" tanyanya lagi penuh harap."Kamu serius pekerjaan itu beneran model? Jangan-jangan cuma bohongan, kamu jangan tergiur kayak gini sih. Cari kerja yang lain aja, yang pasti-pasti.""Mas, ini juga pasti lho. Ada kartu namanya. Gak mungkin kalau bohongan. Bahkan aku diminta datang ke gedung kantorn agencynya kalau gak percaya.""Kamu komunikasi sama dia?""Ya iyalah, Mas. Aku kan penasaran. Udah deh, percaya aja sama aku Mas.""Tapi--""Tenang saja, aku tetap mencintaimu walaupun nanti aku menjadi terkenal. Cintaku tetap untukmu."Kuhela nafas dalam-dalam. "Baiklah dicoba aja, terserah kamu. Aku c

  • Bukan Istri Idaman   99. Dua Kejutan Buruk

    Season 2 Part 27Ponselku berdering berkali-kali. Aku menggeliat malas, menggapai ponsel yang tergeletak di samping aku tertidur. Sebuah panggilan dari nomor kantor."Halo, Pak Tommy cepat datang ke kantor. Ada Tim Audit!" tukas sebuah suara dari seberang telepon."Apa? Tim audit?""Iya, Pak. Bos Yudhis juga sudah turun langsung dia kelihatan marah sekali."Deg! Astaga ada apa ini?"Iya, aku segera kesana.""Cepat ya, Pak. Ditunggu."Mengucek mata, menajamkan pandangan, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit."Ya ampun, aku kesiangan!"Melirik ke samping, Sandrina masih memeluk perutku. Aku hanya menggeleng perlahan. Apa dia sangat kelelahan akibat aktivitas semalam? Sampai sekarang malah belum bangun juga. Bukannya bangunin suami, masak, ini malah masih tidur. Duh istriku ini, ck!"Sandrina! Sandrina, bangun!"Menggoyangkan tubuhnya hingga menggeliat malas.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status