"Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!"
"Apa-apaan sih kamu, Mil! Lebay banget! Cuma sampah gitu doang aja marah-marah!"
"Jangan kau rusak kesenanganku! Kau boleh menganggap ini sampah. Tapi tidak bagiku!"
"Udah deh Mil, gak usah berlebihan!"
"Kamu yang membuatku seperti ini, Mas! Apa kamu tidak sadar telah menyakiti hatiku?"
"Mil, Mil, kayak diapain aja kamu!"
Kutinggalkan dia begitu saja. Masuk ke kamar putraku dan menguncinya dari dalam. Kupeluk si kembarku hingga mereka kebingungan.
Biarkan bunda memeluk kalian sebentar saja, Nak. Bunda butuh kekuatan. Dan kalianlah kekuatan terbesar Bunda.
"Bunda nangis? Dimarahi ayah lagi ya?" ujar Daffi dengan polosnya.
Kubelai lembut kepalanya, lalu menciumi mereka berkali-kali.
"Sayang, nanti kalau bunda punya uang banyak, dan cukup untuk ongkos pulang, kita pulang ya ke rumah kakek. Kalian mau kan?"
"Mau Bun. Yang penting bunda jangan nangis ya, aku mau pergi kemanapun asal bersama bunda."
"Aku juga Bun."
"Terima kasih ya sayang."
Gimana caranya menyadarkan Mas Haikal agar dia bisa bersikap lemah lembut seperti dulu lagi?
Dulu, Mas Haikal adalah lelaki yang lemah lembut. Sayang kepada istrinya. Namun, kurasakan sejak kelahiran putra kembarku, ia mulai berubah. Apalagi dari pihak ibu mertua menuntut harus selalu tampil sempurna. Orang berumah tangga itu harus punya rumah sendiri, gak numpang terus kayak benalu.
Jengah karena tuntutan ibu, akhirnya Mas Haikal ambil kredit perumahan. Aku sudah bertanya apakah dia sanggup membayar cicilannya? Mas Haikal mantap menjawabnya. Sejak saat itu dia jadi uring-uringan kalau duit gaji habis terus.
Tak cukup sampai disitu, ibu mertua juga mengompori Mas Haikal untuk kredit mobil. Aku masih ingat, ucapan ibu yang membanding-bandingkan anaknya sendiri dengan anak juragan Banu.
"Tuh lihat si Riko, dia udah punya rumah sendiri, punya mobil juga, kamu kapan, Kal?"
Mas Haikal terdiam.
"Kamu kerja dah lama, tapi belum nempel apa-apa. Malu dong jadi cibiran tetangga."
"Bu, kan waktu aku masih bujang, semua uang gaji kukasih ibu."
"Iya, tapi itu kan dulu. Sekarang kamu yang pegang uang itu sendiri. Harusnya bisa dong atur keuangan."
"Iya, iya Bu, nanti aku kredit mobil."
Ya, seperti itulah awalnya. Hingga gaji Mas Haikal habis buat cicilan rumah dan mobil. Dia memberiku nafkah hanya sedikit saja. Bertahun-tahun aku tak pernah protes karena dia selalu bilang uang gajinya habis buat bayar cicilan. Eh ternyata selama ini aku dibohongi. Sakit sekali. Dia memanfaatkan kebodohanku.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Mila, buka pintunya. Aku minta maaf," teriak suara dari luar.
Daffa dan Daffi mereka saling berpandangan. Hatiku benar-benar teriris perih. Kenapa laki-laki yang dulu sangat kucintai berubah jadi monster dan menyerangku.
"Mil, buka pintunya. Aku perlu bicara."
Aku terdiam. Biarkan saja, hatiku sudah terlanjur patah. Dia keterlaluan sekali.
Kamu mungkin pernah terluka, hingga membuat hatimu mati rasa. Luka yang dia tinggalkan begitu membekas di hatimu, hingga membuatnya semakin menganga, semakin terasa sesak di dada. Itulah yang kurasakan kini.
Untung saja, tadi anak-anak sudah mandi sebelum kuajak keluar rumah.
Suara adzan maghrib berkumandang. Aku mengajak anak-anak untuk sholat lebih dahulu lalu mengaji.
"Mil, Mil, buka pintunya!" Mas Haikal masih berusaha membujukku. "Kamu tahu kan surga istri itu terletak pada ridha suami?"
Aku tersenyum getir, lalu menyapu titik-titik bisa yang menetes di pipi. Halah, basi, Mas. Kalau kamu sudah merasa kalah dan salah pasti sok-sokan menceramahiku. Apakah suami dengan perangai buruk seperti itu harus terus kuhormati? Dia saja tak pernah menyayangiku lagi maupun anak-anak.
"Mil, Mil ...!"
Kubuka pintu perlahan, melihat Mas Haikal ada di hadapanku. Dia memandangku dengan tatapan memelas, mencekal pergelangan tanganku.
"Aku minta maaf," ujar Mas Haikal.
Aku terdiam sejenak tanpa menyahut.
"Tadi aku khilaf, aku minta maaf."
Kukibaskan cekalan tangannya, berlalu membuatkannya teh manis.
Sabar, Mil. Sabar. Kata ibu, selagi dia masih suami kita, kita harus melayaninya dengan baik. Duh ibu, rasanya aku sudah tidak kuat bila terus bertahan seperti ini. Rasanya ingin menyerah saja. Ibuku memanglah wanita penyabar.
Mas Haikal mengikutiku. "Mas minta maaf, mas sudah salah sama kamu. Di kantor lagi banyak masalah, jadi mas--"
"Ini tehnya, silahkan diminum. Kalau makanan aku gak masak kecuali nasi. Silahkan beli diluar saja."
Aku kembali masuk ke dalam kamar si kecil. Mereka tengah asyik bermain sendiri. Dan sekarang waktuku berkreasi.
Berulang kali Mas Haikal mengetuk pintu, namun tak kujawab panggilannya.
"Kenapa kamu jadi seperti ini, Mil? Mas minta maaf. Ayo kita makan bersama, mas sudah membelikan makanan buat kalian, anak-anak juga belum makan kan?" ujarnya dari balik pintu.
Emang enak aku cuekin, Mas.
***
Pagi ini, mataku terlihat begitu sembab karena menangis kemarin, sungguh membuat emosiku tak terkendali.
Seperti biasa aktivitas yang kulakukan sebagai ibu rumahtangga. Mencuci sambil memasak.
Kulihat makanan yang dibeli Mas Haikal semalam masih utuh teronggok diatas meja. Ada ayam bakar beserta lalapannya. Kuhangatkan makanan itu hingga aromanya tercium begitu harum.
"Akhirnya istriku kembali seperti biasa lagi," ucap Mas Haikal tiba-tiba sembari memelukku dari belakang. Aku sampai kaget dibuatnya.
Aku mengurai pelukannya, menoleh sebentar dan dengan pede nya lelaki itu tersenyum.
"Oaaa.. ooaaa.. oaaa..."
Tangisan Alina menghenyakkanku. Dia menangis, mungkin karena butuh ASI. Segera berlalu masuk dan menggendong bayi mungil itu.
Cukup lama berada di gendonganku dan Mas Haikal sama sekali tak berinisiatif untuk membantuku menggendongnya walaupun aku tengah kerepotan.
"Mas, coba kamu gendong Alina sebentar. Aku mau bangunin Daffa sama Daffi," pintaku. Sengaja ingin mendengar tanggapannya.
"Gak lah, aku sudah siang, mau berangkat!"
"Tapi Mas, kamu kan gak pernah gendong Alina semenjak dia lahir."
"Itu urusanmu, kamu kan ibunya! Jangan repoti aku pula dengan hal beginian! Tugasku hanya mencari nafkah! Aku berangkat."
Sekali lagi, mulut itu menyakiti hatiku. Setiap hari Alina hanya mendapatkan kasih sayang dariku padahal anak-anak pun butuh perhatiannya, tapi dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Setiap aku protes dia selalu mengeluh, memutar balikkan fakta. Padahal aku hanya ingin dia memberikan sedikit saja waktunya untuk menemani si kecil.
Dia tak berubah dan sampai kapanpun tak pernah berubah. Baiklah Mas, ucapanmu itu membuatku makin mantap untuk tak akan bergantung lagi padamu. Aku akan hidup sendiri bersama anak-anak. Tunggu saja waktunya sampai aku bisa mengumpulkan uang agar bisa lepas dari ikatan ini.
Kalau seperti ini, rasanya aku ingin pulang saja ke rumah orang tuaku. Pak, Bu, aku rindu.
"Kenapa wajah lu ditekuk gitu? Gak ada manis-manisnya!" celetuk Farhan, rekan kerjaku di kantor. "Ck! Pusing gue Han!" "Kenapa?" "Istri gue gak mau dikasih uang belanja. Katanya biar gue aja yang atur keuangan rumah." "Memangnya lu ngasih berapa sampe istri lu nolak gitu?" "Satu juta." "Satu juta untuk seminggu?" "Satu juta untuk sebulan lah! Boros amat seminggu sejuta!" Tiba-tiba dia menoyor kepalaku. "Gila lu! Satu juta sebulan? Mana cukup?!" "Biasanya dia gak pernah protes, Han! Bulan-bulan sebelumnya dia bisa mengatur keuangan dengan baik." "Gila lu ya! Satu juta sebulan itu jatah apa? Belanja sayur doang atau gimana?" "Ya semuanya lah, semua kebutuhan rumah. Makan, listrik, air. Pokoknya aku tahunya satu juta harus cukup!"
"Gue gak nyumpahin, Kal. Tapi hukum tabur tuai itu masih berlaku! Siapa yang menanam dia akan menuai. Jangan-jangan nanti berbalik sama lu sendiri, kalau gak sekarang berarti saat tua nanti, anak-anak lu pelit sama lu, gak mau ngurusin lu sebagai bapaknya!""Jangan nyumpahin yang enggak-enggak deh, Han! Makin pusing gue dengernya! Dah lah mikir pekerjaan, di rumah juga Mila gak mau ngurusin uang lagi, ditambah ceramah lu, bikin kepala gue nyut-nyutan. Lu tau gak, kemarin gue disuruh belanja sembako. Ckck bener-bener deh istri gue gak ngehargai banget, laki-laki disuruh belanja kebutuhan pokok.""Gue gak nyumpahin kok, sekarang aja lu sepertinya gak peduli sama anak lu sendiri. Terus gimana pengalaman lu belanja? Habis berapa duit?""Tekor gue, Han! Sekali belanja kemarin habis 800 ribu, itu baru separuh katanya. Belum belanja sayur dan yang lain. Kemarin uang kebersihan, air, listrik 700 ribu. Jadi
[Iya Bu, nanti sore aku mampir ke tempat ibu]Setelah mengirim balasan itu, ibu tak lagi protes.***Pulang bekerja, langsung menemui ibu di rumahnya."Nah, kebetulan kamu datang, Kal! Banyak yang ingin ibu katakan," sambut ibu sesaat setelah membuka pintu."Ada apa, Bu?""Soal Mila.""Mila kenapa?""Sekarang istrimu itu ngelunjak ya, Kal! Dia berani menjawab perkataan ibu. Gak sopan memang!""Mungkin lagi capek, Bu.""Kamu bilangin kek, biar gak ngelunjak sama mertua.""Iya Bu.""Oh iya mana jatah ibu?"Kuambil amplop coklat berisi uang dan kuberikan padanya."Kok cuma segini, Kal! Harusnya ditambah kok malah jatah ibu berkurang sih!" protes ibu.Aku tahu ibu pasti akan bersikap seperti ini. Biasanya aku memberi ibu tiga
"Temanku.""Teman? Sejak kapan kamu punya teman laki-laki? Lagi pula tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Mil!" bentakku kasar."Terus menurutmu apa, Mas?"Tiba-tiba ... Plaaakk ...!Ibu menampar Mila, membuatku berjingkat kaget. Sedangkan Mila memegangi pipinya yang mungkin terasa panas dan perih. Karena tamparan ibu, membuatku sedikit iba padanya."Jadi istri masih ngeyel aja kamu! Dasar wanita tidak tahu diri! Suamimu itu udah capek-capek kerja kamu malah melacur sama laki-laki lain.""Maaf Bu, tolong jaga ucapan ibu. Aku tak pernah melakukan hal serendah itu!""Kalau tidak merasa lalu ngapain ketemuan sama lelaki? Apa satu laki-laki saja tidak cukup bagimu?"Aku juga rasanya ingin marah. Tapi kemarahan ibu pada Mila terlalu berlebihan. Ibu sering menjelek-jelekan Mila. Dari dulu ibu memang
"Pergi? Uang dari mana kamu mau pergi membawa anak-anak? Kalau mau pergi, pergi sendiri jangan bawa anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kelaparan gara-gara kamu!""Jangan khawatirkan hal itu, Mas. Aku bisa menghidupi anak-anakku sendiri tanpa bantuanmu.""Sombong sekali kamu, Mil! Baru bisa usaha sedikit saja sudah merasa diatas awan seperti itu!"Seketika Mila berlalu begitu saja meninggalkanku yang belum selesai bicara. Kucekal pergelangan tangannya, untuk mencegahnya pergi."Sudah gak sopan ya kamu sama suami! Mana rasa hormatmu sebagai istri? Gara-gara laki-laki itu kan yang membuat sikapmu berubah padaku?!"Mila mengibaskan tangannya dan menatapku penuh kebencian."Introspeksi diri sendiri saja, Mas! Kenapa sikapku bisa berubah?! Dan tolong, jangan mengkambinghitamkan orang lain!"Mila masuk ke dalam kamar anak-anak. Aaaarrrgghh! Membuatku geram saja
Aroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak opor ayam, kemarin diberi ayam ungkep oleh Bu Wandi. Alhamdulillah, dapat rezeki yang tidak terduga.Semenjak Bu Wandi tahu kalau aku bisa berkreasi, membuat karya handmade, kami jadi sedikit lebih dekat."Terima kasih ya, Bu. Sudah mau order aksesorisnya sama saya.""Iya, sama-sama. kalau ada yang dekat kenapa mesti cari yang jauh. Ini aja bagus banget, murah lagi. Coba kalau beli di butik, pasti bisa puluhan ribu satu piecesnya."Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Wandi. Bersyukur ada yang menghargai hasil karyaku."Coba nanti branding karya mbak, siapa tahu harga jualnya bisa makin tinggi. Jualan online sama nitip-nitip di butik mungkin.""Iya Bu, saya juga sedang belajar. Terima kasih sarannya.""Oh iya, kebetulan keponakan saya yang punya konveksi itu, buka bu
Aaarrrggh! Mas Haikal menggeram kesal.Aku pura-pura tak tahu, kujalani aktivitasku seperti biasanya. Kulihat ia begitu gusar, mondar-mandir tak karuan tapi tak berani bertanya padaku."Mil, kamu punya simpanan uang gak?" tanya Mas Haikal tiba-tiba.Keningku berkerut. Simpanan dari mana? Hah konyol sekali, dia sendiri yang memegang uang kenapa aku yang diminta?"Simpanan dari mana? Mikir dong mas, semua uang kan kamu yang pegang!" tukasku agak emosi.Dia terdiam. "Katanya kamu kan jualan, kamu pasti punya uang kan apalagi jualanmu kan gak pake modal cuma dari barang bekas, jadi uangnya pasti utuh!"Aku hanya tersenyum kecut, sebenarnya dia punya otak gak sih? Picik sekali pikirannya. Kemarin-kemarin menghina usahaku tidak berkelas, sekarang justru bertanya hal yang tidak masuk akal."Karmila, ayolah..." rengeknya seperti anak kecil."Ayo a
Seakan ada yang menusuk ke jantung hatiku. Rasanya sakit mendengar hinaan dari suamiku sendiri. Sangat sakit. Hal ini makin membuatku bertekad untuk segera pulang.Aku berlalu ke kamar. Tanpa terasa kristal bening ini jatuh berderaian di pipi. Allah, tolong hambamu ini ..."Bunda, kenapa nangis?" tanya Daffa sambil mengusap lembut pipiku."Nenek sedang sakit di kampung, Nak. Tapi kita gak bisa pulang. Uang simpanan bunda masih kurang buat beli tiket pesawatnya."Daffa-Daffi langsung memelukku. Entah kenapa hatiku makin terkoyak. Sakit sekali."Bunda jangan sedih ya, kami pasti akan doakan nenek supaya cepat sembuh.""Iya, sayang."Lama aku berpikir. Apa yang harus kulakukan? Apa aku kirim uang saja untuk berobat ibu? Jadi aku gak perlu pulang?'Mbak, apa mbak gak bisa pulang? Ibu sangat rindu sama mbak. Sekarang ibu sedang sakit mbak, udah