"Ck! Dasar istri gak becus, bisanya nyusahin aja!"
Ia mengambil dompet dan mengeluarkan uang enam ratus ribu dari lalu diserahkan padaku.
"Kenapa gak bayar sendiri ke minimarket?"
"Halah, aku capek. Kamu aja yang bayarin, yang penting ada struknya."
Dasar pelit!
"Tadi sore Pak RT juga kesini, meminta uang kebersihan 100 ribu."
"Bayarin kamu dulu lah katanya kamu jualan."
"Dih, kamu yang bilang sendiri kan kalau jualanku itu cuma recehan. Kok malah minta ke aku. Gak malu apa, Mas?"
"Iya, iya, pusing aku dengar kecerewetanmu! Nih uangnya."
Sabar, sabar. Sampai kapan penghinaan ini terjadi, aku harus bisa melaluinya.
***
Drama pagi-pagi pun masih sama seperti kemarin, entah kenapa Mas Haikal cerewet sekali. Kok ada lelaki yang bermulut lemas seperti dirinya. Ya, mungkin sikapnya menurun dari ibunya.
"Mas, bisa gak sih pagi-pagi gak usah ngomel! Kasihan anak-anak, pagi-pagi dah dikasih sarapan omelan. Kamu gak mau kan anak-anak jadi takut sama kamu?"
"Hah, tahu apa kau tentang anak-anak. Dia masih kecil gak tahu menahu masalah orang dewasa!"
"Biarpun kecil, tapi mereka juga punya perasaan, Mas!"
"Sudah, mana sarapannya! Aku mau berangkat kerja!"
"Ada di meja makan."
"Kok gak ada lauknya? Cuma sayur bening doang?"
"Jangan menghina rezeki yang ada di depan mata. Sudah bagus aku masakin, sayur itu juga dapat metik dari belakang. Jadi gratis. Kalau mas gak terima, silahkan belanja dulu ke tukang sayur. Disana lengkap mau apa aja ada, bisa tinggal pilih, nanti aku masakin."
"Duh kamu ini! Ayam yang kemarin sudah habis?"
"Bukannya semalam kamu yang habisin, Mas? Kenapa tanya aku?"
"Habisnya kemarin enak, ada sambelnya juga, makanku jadi lahap."
"Ya mau makan enak perlu modal dong. Masa makan enak maunya gratis."
***
[Bu, ini sample bros yang kemarin sudah jadi. Menurut ibu gimana? Suka gak kalau modelnya kayak begini?]
[Wah itu bagus banget, Mbak. Oke nanti sore saya ke rumah ya]
[Iya Bu]
Aku tersenyum membaca balasan Bu Wandi, rupanya dia menyukai model bros yang kubuatkan. Model yang sederhana namun elegan, kanzashi flower.
Sore hari, ba'da ashar, sesuai janjinya, Bu Wandi datang, ia pun membawa sebuah kresek hitam besar berisi kain perca. Bu Wandi tersenyum saat aku menyambutnya di depan teras.
"Ayo masuk dulu, Bu. Duduk dulu."
"Iya, Mbak. Terima kasih ya. Ini ibu bawakan kain perca dari sisa konveksinya keponakan ibu. Siapa tahu di tangan Mbak Mila bisa disulap jadi karya yang cantik."
"Wah, alhamdulilah. Terima kasih banyak ya, Bu. Ini pasti berguna bagi saya."
"Iya. Jadi berapa harga brosnya?"
"Nah, ini silahkan dilihat dulu aslinya, Bu."
"Iya, ini cantik banget. Hasil tanganmu bagus. Berapa kayak gini?"
"Biasanya kayak gini saya jual 15 ribu, Bu. Tapi berhubung kainnya dari ibu jadi 10 ribu aja."
"Eh, jangan. Ibu menghargai hasil karyamu. Ini luar biasa, butuh ketelatenan yang tinggi. Karya handmade itu perlu diapresiasi. Kalau harganya 15 ribu, ibu akan bayar segitu."
"Alhamdulillah."
"Berarti totalnya satu juta lima ratus ya?"
"Eh i-iya Bu."
"Kapan kira-kira hasilnya selesai?"
"Beri saya waktu satu minggu ya, Bu."
"Oke. Kabari lewat W* ya. Ini pembayarannya satu juta dulu. Sisanya yang lima ratus ribu ibu bayar nanti ya setelah barangnya jadi," ucap Bu Wandi kemudian memberikan sebuah amplop coklat berisi uang.
"Siap, Bu. Terima kasih banyak. Sudah percaya sama saya."
"Sama-sama. Ibu permisi ya. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Mataku berbinar. Alhamdulillah, terima kasih atas rezekimu ini, Ya Allah. Aku merasa terharu, dengan uang ini aku bisa membelikan anakku makanan yang enak dan juga jajan. Biar nanti aku bekerja keras saat malam hari tiba. Begadang untuk menghasilkan sebuah karya.
Aku mengajak Daffa dan Daffi keluar.
"Sayang, kita makan diluar yuk," ajakku.
"Memangnya bunda punya uang? Kan ayah gak ngasih uang ke Bunda?"
Aku tersenyum getir mendengar ucapan si kembarku.
"Ada sayang. Bunda dapat rezeki, ada yang pesan hasil kreasi bunda. Makanya hari ini bunda akan traktir kalian sepuasnya."
"Wah alhamdulilah. Bundaku hebat. Terima kasih, Bun."
Kami bertiga berjalan bergandengan tangan. Daffa-Daffi, bernyanyi dengan riang, lagu anak-anak. Seolah tak ada beban.
"Bun, aku mau es krim," usul Daffa
"Aku juga, Bun." Daffi ikut menyahut.
"Boleh, silahkan mau jajan apa aja boleh."
"Asyiiik, uang bunda banyak ya?"
Aku tersenyum. Bisa melihat keceriaan mereka saja, bahagianya tiada terkira. Aku yang biasanya cuma bersedih saat mereka minta uang buat jajan, tapi aku tak bisa memberinya karena kuhabiskan untuk kebutuhan keluarga bersama. Sesak sekali rasanya.
Akhirnya, untuk hari ini kami merasa puas makan bersama di warung makan, memilih menu sesuai keinginan anakku. Lalu membeli beberapa jajanan untuk mereka ngemil di rumah.
"Nanti jangan bilang apa-apa ya sama ayah, mengenai hari ini."
"Baik, Bun."
Aku terkejut, melihat mobil Mas Haikal sudah terparkir di halaman. Tidak biasanya dia pulang cepat. Paling cepat juga menjelang maghrib.
"Assalamualaikum."
Tak ada jawaban darinya. Justru kedatangan kami disambut dengan tatapan nyalang olehnya.
"Ayah sudah pulang?" tanya Daffa menghampiri lelaki itu. Mas Haikal bergeming, tanpa ekspresi walaupun Daffa-Daffi menyalami tangannya.
Akupun berlalu begitu saja, menidurkan Alina di kamar si kembarku.
"Sayang, jagain adik dulu ya."
"Bunda pasti mau dimarahi sama ayah lagi."
"Enggak. Udah kalian disini saja ya, kunci pintunya."
Aku menutup pintu kamar putraku dengan pelan, ketika berbalik Mas Haikal sudah berada di hadapanku dan menarik lenganku, kasar.
"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang? Ninggalin rumah gitu aja gak ada makanan gak ada apa! Terus sampah apa ini? Kenapa ada di ruang tamu?!"
Deg! Aku lupa belum membawa masuk kain perca pemberian Bu Wandi.
Tiba-tiba dia mengambil kresek itu lalu membawanya ke teras belakan, mengambil korek api dan bersiap membakarnya.
"Kamu ini gimana sih! Sampah kok dikumpulin! Biar aku bakar saja. Apa gunanya kain kecil-kecil seperti ini!"
"Cukup Mas, hentikan. Bagimu ini adalah sampah, tapi tidak bagiku. Ini harta karun yang berharga!"
"Hiliiih kamu itu udah gak waras ya, Mil!Harta karun itu emas, perhiasan, bukan cuilan kain kecil-kecil seperti ini!"
Mas Haikal sudah menyalakan korek itu dan bersiap membakar kain perca itu. Aku langsung mengambil kresek yang teronggok diatas tanah.
"Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!"
.
..*Keterangan : Kanzashi adalah seni lipat kain dari jepang. Biasanya untuk membuat hiasan rambut atau aksesoris. Kalian bisa lihat gambarnya sekaligus tutorialnya di G****e maupun YouTube ya.
"Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!""Apa-apaan sih kamu, Mil! Lebay banget! Cuma sampah gitu doang aja marah-marah!""Jangan kau rusak kesenanganku! Kau boleh menganggap ini sampah. Tapi tidak bagiku!""Udah deh Mil, gak usah berlebihan!""Kamu yang membuatku seperti ini, Mas! Apa kamu tidak sadar telah menyakiti hatiku?""Mil, Mil, kayak diapain aja kamu!"Kutinggalkan dia begitu saja. Masuk ke kamar putraku dan menguncinya dari dalam. Kupeluk si kembarku hingga mereka kebingungan.Biarkan bunda memeluk kalian sebentar saja, Nak. Bunda butuh kekuatan. Dan kalianlah kekuatan terbesar Bunda."Bunda nangis? Dimarahi ayah lagi ya?" ujar Daffi dengan polosnya.Kubelai lembut kepalanya, lalu menciumi mereka berkali-kali."Sayang
"Kenapa wajah lu ditekuk gitu? Gak ada manis-manisnya!" celetuk Farhan, rekan kerjaku di kantor. "Ck! Pusing gue Han!" "Kenapa?" "Istri gue gak mau dikasih uang belanja. Katanya biar gue aja yang atur keuangan rumah." "Memangnya lu ngasih berapa sampe istri lu nolak gitu?" "Satu juta." "Satu juta untuk seminggu?" "Satu juta untuk sebulan lah! Boros amat seminggu sejuta!" Tiba-tiba dia menoyor kepalaku. "Gila lu! Satu juta sebulan? Mana cukup?!" "Biasanya dia gak pernah protes, Han! Bulan-bulan sebelumnya dia bisa mengatur keuangan dengan baik." "Gila lu ya! Satu juta sebulan itu jatah apa? Belanja sayur doang atau gimana?" "Ya semuanya lah, semua kebutuhan rumah. Makan, listrik, air. Pokoknya aku tahunya satu juta harus cukup!"
"Gue gak nyumpahin, Kal. Tapi hukum tabur tuai itu masih berlaku! Siapa yang menanam dia akan menuai. Jangan-jangan nanti berbalik sama lu sendiri, kalau gak sekarang berarti saat tua nanti, anak-anak lu pelit sama lu, gak mau ngurusin lu sebagai bapaknya!""Jangan nyumpahin yang enggak-enggak deh, Han! Makin pusing gue dengernya! Dah lah mikir pekerjaan, di rumah juga Mila gak mau ngurusin uang lagi, ditambah ceramah lu, bikin kepala gue nyut-nyutan. Lu tau gak, kemarin gue disuruh belanja sembako. Ckck bener-bener deh istri gue gak ngehargai banget, laki-laki disuruh belanja kebutuhan pokok.""Gue gak nyumpahin kok, sekarang aja lu sepertinya gak peduli sama anak lu sendiri. Terus gimana pengalaman lu belanja? Habis berapa duit?""Tekor gue, Han! Sekali belanja kemarin habis 800 ribu, itu baru separuh katanya. Belum belanja sayur dan yang lain. Kemarin uang kebersihan, air, listrik 700 ribu. Jadi
[Iya Bu, nanti sore aku mampir ke tempat ibu]Setelah mengirim balasan itu, ibu tak lagi protes.***Pulang bekerja, langsung menemui ibu di rumahnya."Nah, kebetulan kamu datang, Kal! Banyak yang ingin ibu katakan," sambut ibu sesaat setelah membuka pintu."Ada apa, Bu?""Soal Mila.""Mila kenapa?""Sekarang istrimu itu ngelunjak ya, Kal! Dia berani menjawab perkataan ibu. Gak sopan memang!""Mungkin lagi capek, Bu.""Kamu bilangin kek, biar gak ngelunjak sama mertua.""Iya Bu.""Oh iya mana jatah ibu?"Kuambil amplop coklat berisi uang dan kuberikan padanya."Kok cuma segini, Kal! Harusnya ditambah kok malah jatah ibu berkurang sih!" protes ibu.Aku tahu ibu pasti akan bersikap seperti ini. Biasanya aku memberi ibu tiga
"Temanku.""Teman? Sejak kapan kamu punya teman laki-laki? Lagi pula tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Mil!" bentakku kasar."Terus menurutmu apa, Mas?"Tiba-tiba ... Plaaakk ...!Ibu menampar Mila, membuatku berjingkat kaget. Sedangkan Mila memegangi pipinya yang mungkin terasa panas dan perih. Karena tamparan ibu, membuatku sedikit iba padanya."Jadi istri masih ngeyel aja kamu! Dasar wanita tidak tahu diri! Suamimu itu udah capek-capek kerja kamu malah melacur sama laki-laki lain.""Maaf Bu, tolong jaga ucapan ibu. Aku tak pernah melakukan hal serendah itu!""Kalau tidak merasa lalu ngapain ketemuan sama lelaki? Apa satu laki-laki saja tidak cukup bagimu?"Aku juga rasanya ingin marah. Tapi kemarahan ibu pada Mila terlalu berlebihan. Ibu sering menjelek-jelekan Mila. Dari dulu ibu memang
"Pergi? Uang dari mana kamu mau pergi membawa anak-anak? Kalau mau pergi, pergi sendiri jangan bawa anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kelaparan gara-gara kamu!""Jangan khawatirkan hal itu, Mas. Aku bisa menghidupi anak-anakku sendiri tanpa bantuanmu.""Sombong sekali kamu, Mil! Baru bisa usaha sedikit saja sudah merasa diatas awan seperti itu!"Seketika Mila berlalu begitu saja meninggalkanku yang belum selesai bicara. Kucekal pergelangan tangannya, untuk mencegahnya pergi."Sudah gak sopan ya kamu sama suami! Mana rasa hormatmu sebagai istri? Gara-gara laki-laki itu kan yang membuat sikapmu berubah padaku?!"Mila mengibaskan tangannya dan menatapku penuh kebencian."Introspeksi diri sendiri saja, Mas! Kenapa sikapku bisa berubah?! Dan tolong, jangan mengkambinghitamkan orang lain!"Mila masuk ke dalam kamar anak-anak. Aaaarrrgghh! Membuatku geram saja
Aroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak opor ayam, kemarin diberi ayam ungkep oleh Bu Wandi. Alhamdulillah, dapat rezeki yang tidak terduga.Semenjak Bu Wandi tahu kalau aku bisa berkreasi, membuat karya handmade, kami jadi sedikit lebih dekat."Terima kasih ya, Bu. Sudah mau order aksesorisnya sama saya.""Iya, sama-sama. kalau ada yang dekat kenapa mesti cari yang jauh. Ini aja bagus banget, murah lagi. Coba kalau beli di butik, pasti bisa puluhan ribu satu piecesnya."Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Wandi. Bersyukur ada yang menghargai hasil karyaku."Coba nanti branding karya mbak, siapa tahu harga jualnya bisa makin tinggi. Jualan online sama nitip-nitip di butik mungkin.""Iya Bu, saya juga sedang belajar. Terima kasih sarannya.""Oh iya, kebetulan keponakan saya yang punya konveksi itu, buka bu
Aaarrrggh! Mas Haikal menggeram kesal.Aku pura-pura tak tahu, kujalani aktivitasku seperti biasanya. Kulihat ia begitu gusar, mondar-mandir tak karuan tapi tak berani bertanya padaku."Mil, kamu punya simpanan uang gak?" tanya Mas Haikal tiba-tiba.Keningku berkerut. Simpanan dari mana? Hah konyol sekali, dia sendiri yang memegang uang kenapa aku yang diminta?"Simpanan dari mana? Mikir dong mas, semua uang kan kamu yang pegang!" tukasku agak emosi.Dia terdiam. "Katanya kamu kan jualan, kamu pasti punya uang kan apalagi jualanmu kan gak pake modal cuma dari barang bekas, jadi uangnya pasti utuh!"Aku hanya tersenyum kecut, sebenarnya dia punya otak gak sih? Picik sekali pikirannya. Kemarin-kemarin menghina usahaku tidak berkelas, sekarang justru bertanya hal yang tidak masuk akal."Karmila, ayolah..." rengeknya seperti anak kecil."Ayo a