Meski dia sedikit alergi dengan tempat bernama ‘gereja’, tetapi akhirnya Richie tetap pergi menemani Patty. Satu saja alasan yang membuatnya malas mendatangi tempat itu. Dia masih belum siap kalau harus bertobat saat itu juga. Terlebih lagi dia masih punya waktu sekitar lima bulan lagi untuk bersenang-senang bersama seorang gadis.
Keduanya berjalan menelusuri pepohonan rindang yang memagari jalan menuju gereja tua itu. Richie menggosok telapak tangannya. Sekalipun dirinya seorang pembunuh berdarah dingin, tapi tetap saja ada perasaan aneh yang merundungnya saat dengan sadar kalau dia tengah berjalan menuju rumah suci.
Mereka tiba di pelataran gereja. Patty mendorong pintu masuk gereja dengan mudah. Dia sepertinya sudah terbiasa melakukannya. Patty menengok pada Richie yang hanya berdiri terpaku di depan pintu. Gadis itu memamerkan barisan gigi putihnya.
“Ayoo … katanya kau mau menemaniku?” ajak Patty.
“Maaf – ada
Seorang pria paruh baya berpakaian pastor yang sebenarnya – jubah keuskupan yang berlapis – berjalan perlahan dengan bertumpu pada tongkat keemasan di tangan kirinya. Terdengar helaan nafas berat dari bilik di bagian tengah. Richie kembali memfokuskan pandangannya pada sosok berjubah yang sudah tidak diragukan lagi jenis kelaminnya.Karena tak ada juga jawaban dari dalam bilik, Pastor kembali bertanya, “suster Nancy, apa anda baik-baik saja? Jam berapa helikoptermu akan menjemput?” Nafasnya terengah.Suster Nancy terkesan tidak ingin menjawab pertanyaan pastor. Dia sepertinya dapat merasakan kehadiran Richie di bilik sebelahnya. Langkah kaki pastor semakin mendekati bilik. Richie merapatkan tubuhnya ke dinding terdalam bilik.“Yes, Father! Anda sudah lebih baik?” Sosok itu pun akhirnya bersuara. Suaranya lembut dan merdu. Richie menerka membayangkan wajah yang akan cocok untuk suara yang indah itu.“Yah begitulah
“Richie! Kau mau ke mana?!” Patty berteriak memanggil Richie yang melesat meninggalkannya.Tanpa mempedulikan seruan gadis itu, Richie terus berlari mengejar sosok wanita berjubah yang telah sangat mencurigakan baginya. Dia berlari kencang menembus hutan pinus. Dan jauh ke dalam hutan, pepohonan menjadi semakin beragam dengan dedaunan yang menjuntai.Suasana dalam sekejap berubah dingin dan menegangkan. Richie berlari melompati batang pohon yang tumbang, menembus ranting-ranting yang menjulur rendah dan menginjak dedaunan kering yang berguguran. Sosok wanita itu terus berlari mengikuti arah helikopter.Richie menebak-nebak, akan sejauh mana wanita itu masuk ke dalam hutan. Namun satu yang pasti, helikopter tersebut datang untuk menjemput wanita itu. Dan di dalam helikopter sudah ada satu atau dua orang menunggu.Richie tak ingin melewatkan kesempatan untuk menyergap wanita itu. Harga dirinya akan terkoyak seandainya kecepatan berlarinya dikala
Dua belas tahun yang lalu, Woodstock hanyalah sebuah desa kecil dengan penghuni tak lebih dari seribu orang. Desa yang teduh dengan pohon rindang di sepanjang jalan serta bugenvile yang merambat di dinding-dinding rumah. Persis seperti yang pernah dihembuskan Alfa Boss saat menyuruh Richie untuk berlibur. Desa sunyi yang kemungkinan hanya diminati oleh para veteran dan pensiunan untuk menghabiskan masa tua mereka. Setenang itulah Woodstock – sebelum keberadaannya ditemukan oleh sekelompok mafia besar yang mengiming-imingi penduduk desa dengan berbagai fasilitas dan teknologi. Tawaran menggiurkan yang menutupi sebuah kejahatan terselubung. Malam itu, seorang gadis kecil berlari menerobos pintu kamarnya dan menuruni tangga. Dia kegirangan saat pengasuhnya mengatakan kalau ayah gadis itu akan mengajak mereka berkeliling kota. Sudah satu bulan lamanya mereka mendekam di dalam mansion dan gadis kecil itu hampir setiap hari menangis karena bosan. “Nancy, kapan ayah
Jack menyeret langkahnya mendekati Richie dan menatap sahabatnya tanpa berkedip.“Kau pembunuh Caedis yang paling hebat, Richie. Tidakkah kau merasa kalau keberadaanmu itu bisa sangat berbahaya?” tanyanya.Richie berkacak pinggang. “Omong kosong, Jack! Bahkan rasanya aku sudah tidak peduli dengan nyawaku sendiri!” ucapnya skeptis.“Mengesankan!” Jack menyuar rambut hitamnya.“Demi Tuhan, Jack! Selama empat belas tahun hidup di mansion, yang ada dalam pikiranku hanyalah membalas budi atas kebaikan Alfa Lord kepadaku. Aku tak pernah berpikir untuk menandingi dirinya atau siapapun di Caedis.”Keduanya tidak mengucapkan apa-apa selama beberapa detik. Lalu Richie kembali berkata, “katakan saja, Jack. Kau ke sini untuk ‘menanganiku’. Iya kan?”Jack menarik senyum di ujung bibirnya. “Kurang lebih seperti itu, bung.”“Great! Aku juga sudah menebaknya sej
Patty berdiri membeku beberapa meter dari posisi berdiri Richie. Malam itu dia berniat mengantarkan burger dan sebotol bir untuk Richie sebelum memulai kesibukannya di bar. Sekaligus dia hendak menanyakan kenapa Richie berlari ke dalam hutan dan meninggalkannya.Tetapi rupanya dia malah dikejutkan dengan percakapan serius dua orang pria di depan karavan.“Richie, kau mau kemana? Kau tidak akan meninggalkan aku, kan?” Patty menggigit bibir bawahnya. Matanya sayu dan memelas.“Patty?” Richie menatap tajam Patty. “Kenapa kau ada di sini? Nanti Bernadeth mencarimu.”“Bernadeth tidak akan mencariku karena aku sudah meminta ijin terlebih dulu kepadanya. Aku bilang mau mengantarkan makanan ke tempat tinggal teman yang sedang sakit.”Jack menahan tawa mendengar kalimat polos Patty, gadis yang telah bercumbu dengan Richie. Jack merangkum tubuh gadis dihadapannya. Menerka-nerka, apa yang paling bisa membuat Ric
Bar itu penuh asap bercampur dengan bau badan para pengunjungnya. Setelah diperhatikan lebih mendalam, para pengunjung sebagian besar terdiri dari pekerja kasar dan berusia matang. Buruh tambang – kira-kira seperti itulah yang hendak diberitahukan Jack kepada Richie. Pria berkepala botak arah jam sembilan tadi beranjak dari duduknya, seakan berjalan mendekati Richie dan Jack. Tetapi pria itu meluruskan pandangannya ke arah pintu masuk bar. Tangan pria itu terayun saat berjalan melewati Richie. Jack menyikut lengan Richie cepat-cepat dan memberi kode dengan ujung dagunya. Richie lekas memfokuskan matanya pada lengan pria itu. Sebuah tatto tercetak di bagian dalam lengan pria itu. Tatto yang sangat identik dan mengarah. “Menarik, bukan?” Jack menarik senyumnya. Richie mengangguk sok bijak. Dia mengangkat gelasnya lagi, menenggaknya dan membanting gelas kosongnya ke meja. Hatinya bergejolak. Otaknya berputar. Secepatnya mereka harus menemukan kenda
Richie mengusapkan jarinya pada celah lembab Patty yang telah siap. Lalu dia mendorong dirinya ke dalam tubuh Patty dan menaklukkan gadis itu. Richie menarik tangan Patty ke atas kepala dan menahannya di sana. Dia menggerakkan pinggulnya dengan hati-hati. Menyadari kalau gadis yang dikencaninya adalah gadis berusia 19 tahun yang bertubuh kecil dengan kulit yang begitu lembut. Gerakan mendominasi Richie membuat deburan di tubuh Pattty membucah. Dan Richie menggunakan juga insting tajamnya untuk merespon setiap gerakan ringan tubuh Patty. Ia menerjemahkan suara-suara desahan gadis itu menjadi sapuan lidah di titik-titik erotisnya dan mewujudkan apa yang dia inginkan sebelum Patty sendiri menyadarinya. Pada waktu yang dirasa pas, Richie menghujam lebih dalam dan menanamkan tubuhnya di tubuh Patty. Dia memutar pinggangnya dan membuat Patty menjerit tertahan. Semua rangkuman gerakan Richie meluluhlantahkan keseluruhan tubuh Patty. “Kau membuatku menangis,
Udara dingin menyelimuti Coast Mansion sejak dini hari hingga menjelang tengah hari. Nancy memaksakan dirinya bangun dari ranjang, mengenakan pakaian serba hitamnya serta menggulung rambutnya dengan cepat. Sesak di dadanya kambuh sejak terakhir kali dia keluar dari Woodstock. “Nancy! Aku melarangmu untuk pergi kemanapun. Dokter mengatakan kalau kau butuh istirahat setidaknya sampai seminggu ke depan.” Seorang pria menerobos pintu kamar Nancy dengan wajah marah. “Aku sudah terlalu lama beristirahat, Uncle Gabriel. Pastor di gereja itu – dia juga sakit. Aku harus membawakan obat untuknya.” Nancy memohon dengan mata berkaca-kaca. Pria yang dipanggil dengan sebutan uncle itu berperawakan tinggi dengan kumis lebat melintang di bawah hidungnya. Gabriel, Nancy dan puluhan orang lainnya merupakan pelayan mansion yang tinggal di bangunan belakang mansion mewah itu. Gabriel adalah yang tertua di antara mereka sekaligus menjabat sebagai kepala pelayan. “Akhir-ak