Indah menghabisi nyawa ayahnya dengan cara yang sangat keji. Tapi itu semua setimpal dengan perbuatan sang ayah yang telah menodai putrinya sejak usia sepuluh tahun. Apakah Indah akan lolos dari perbuatannya?
View More"Ya Allah, kamu bisa masak daging sebanyak ini punya uang dari mana?" tanya Bu Aminah dengan wajah heran.
"Ibu kan tahu kalau Indah kerja di pemotongan daging." jawab indah.
"Masyaallah ... kamu tahu saja kalau dari kemarin Ibu pengen sekali sate. Ibu boleh ambil satu tusuk nggak?"
Bu Aminah menatap wajah anaknya. Aroma sate dengan bumbu kacang yang sedang dipindahkan ke atas piring begitu menggugah selera.
"Kenapa satu tusuk, Bu? Semua juga ngga apa-apa. Indah senang, kalau Ibu bisa menghabiskan semuanya."
"Tapi, kalau Ayahmu tahu Ibu makan sate bisa kena marah." Bu Aminah meletakkan kembali sate yang sudah dipegangnya.
"Itu kalau ada Ayah, Bu. Sekarang kan Ayah sedang pergi."
"Iya, juga, ya. Mumpung Ayahmu sedang tidak ada di rumah Ibu bisa makan daging yang kamu masak. Pasti rasanya enak sekali. Kamukan pintar masak."
"Ibu mau makan pakai lauk yang mana dulu? Biar Indah ambilkan?" tanya Indah sambil mengambil piring dan menyendok satu centong nasi yang masih mengepul untuk ibunya.
"Ibu makan sama sate saja, Nak. Dari kemarin pengen sekali makan sate. Nasinya jangan banyak-banyak."
"Ibu harus makan banyak. Biar badan Ibu tidak kurus seperti ini."
"Kamu nggak ikut makan sekalian?"
"Tadi sebelum ke sini, Indah makan dulu di rumah."
Indah menahan kabut di mata yang mulai menggenang. Sejak tinggal terpisah dengan ibunya, ia tak bisa lagi memperhatikan wanita yang selalu diperlakukan kasar oleh ayahnya.
Seperti dua hari yang lalu, langkah Indah terhenti di mulut pintu saat melihat ayahnya sedang menjambak rambut ibunya.
"Beraninya kamu makan sate milikku! Aku membeli makanan ini bukan untuk kamu!" Tangan Pak Danang mendarat di pipi Bu Aminah.
"Ampun, Pak, ampun! Ibu cuman ambil satu tusuk saja." Tangan Bu Aminah berusaha melepaskan cengkraman tangan yang sedang mencekik lehernya.
"Dasar wanita tak berguna! Sekali lagi kamu berbuat seperti ini, akan kubuat sate lidahmu itu!" Pak Danang dengan kasar mendorong tubuh istrinya hingga membentur sudut meja makan.
Dengan dada yang terbakar api kemarahan, Indah meninggalkan rumah orangtuanya.
Sambil mengayuh sepeda ontel warisan dari Almarhum suaminya, Indah terus berpikir keras. Bagaimana cara membebaskan ibunya dari neraka yang telah membuat menderita selama bertahun-tahun.
"Baiklah, Ayah. Aku yang akan lebih dulu membuat sate lidah yang tak bertulang itu" Indah tersenyum dingin.
***
Bila tadi siang Indah menyaksikan ibunya diseret dan disiksa di ruang makan. Malam ini giliran dirinya yang menjadi pelampiasan nafsu binatang ayahnya.
"Tumben malam ini kamu begitu bernafsu?" racau Danang.
"Ayah ... malam ini akan kuhadiahi seratus kali tusukkan. Genap sesuai dengan hitungan bagai mana Ayah memperlakukan Indah selama ini seperti wanita penghibur," bisik Indah tepat di telinga ayahnya.
"K-kau ...!"
"Maafkan aku, Ayah!" Indah melepaskan kedua tangannya yang berada pada gagang belati.
"I-indah!"
"Kenapa, Yah? Apa perlu Indah membantu mencabut benda keramat itu?" Indah tersenyum sambil menekan gagang belati lebih dalam lagi. Cairan kental berwarna merah seketika keluar dari sela-sela jemari Danang yang berusaha mencabut benda tajam teesebut.
"Tidak, Ayah. Biarkan belati itu menahan nyawa Ayah." Indah yang sedang berada di atas tubuh ayah terseyum puas.
Setelah mengenakan kembali pakaian yang tercecer di lantai, Indah berjalan ke arah meja kecil. Sebuah bungkusan kresek hitam ia bawa ke samping ayahnya yang sedang sekarat.
"Indah makan dulu, ya!"
Sambil duduk bersila, Indah membuka bungkusan yang dibawa ayahnya tadi. Nasi bungkus dengan sate bumbu kacang kesukaan ibunya. Tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, wanita lugu itu mulai menikmati makan dengan lahapnya
"Indah heran, kenapa Ayah begitu suka sate? Apa karena harumnya? Tapi kenapa Ayah selalu minum banyak setelah makan sate? Dan setelah itu ..." Mata indah berkaca-kaca. Mulutnya yang penuh dengan potongan daging berbentuk dadu seolah tak bisa ditelan.
"Indah harus makan banyak karena harus lembur semalam suntuk. Terima kasih sate kambingnya, Yah." Sambil mengunyah, Indah menatap cairan berwarna merah yang keluar dari sela-sela dada ayahnya.
"Ayah mengapa menatapku seperti itu? Jangan khawatir masih ada beberapa tusuk lagi."
"Izinkan Indah menyuapi Ayah malam ini. Malam ini saja, boleh, ya?" Sambil tersenyum, Indah mengambil satu tusuk sate dan memasukan ke dalam mulut ayahnya yang sedang menganga.
"Kenapa ayah tidak mengunyahnya? Apa sudah bosan makan sate setiap hari. Kunyah ayah, kunyah!" Tangan Indah terus menjejali mulut ayahnya dengan daging sate. Sesekali menusukkan tusuk sate pada bagian lidah Danang hingga berdarah.
"Kenapa menangis? Oh, Ayah kepedasan, ya? Sebentar Indah ambil minum dulu. Awas jangan kemana-mana!"
Danang yang sudah merasa semakin lemah menatap punggung Indah yang menghilang di balik pintu kamar. Mulutnya berusaha menyemburkan potongan-potongan sate yang menghalangi pernafasannya.
Mata Danang yang semakin mengecil sesekali menatap ke arah jendela kamar yang gordennya terbuka. Berharap ada seseorang yang akan menolong. Namun hanya pekat malam dan suara guyuran air hujan yang turun dari talang terbuat dari bilah bambu.
Nyanyian sekumpulan kodok yang sedang berpesta dalam guyuran hujan terdengar bak kidung kematian.
Serangan mendadak yang dilakukan putrinya itu sungguh di luar perkiraan. Selama ini Indah anak yang penurut dan juga lugu. Hanya dengan ancaman akan membunuh ibunya ia tutup mulut sampai sekarang.
Danang berusaha menggerakkan tubuh walau semua terasa ngilu. Matanya menatap ke arah meja kecil tempat ia tadi meletakkan sate dan ponsel.
Terlihat urat leher Danang mengencang. Sambil memejamkan mata, kedua tangannya mencabut gagang belati yang menancap di dada. Walau ingin berteriak saat benda tajam itu berhasil ditarik namun pria yang wajahnya semakin pucat itu hanya bisa menggigit bibir.
Danang berusaha menelungkup sambil menahan sakit ia mulai menggerakkan tangan. Namun seluruh tubuhnya terasa kaku. Jantungnya terasa terbakar. Apa lagi dengan posisi dada menempel di lantai.
"Aku harus bisa mengambil ponselku dan menghubungi Lilis," pikir Danang.
Beberapa kali tangan dan wajah Danang jatuh terkulai mencium lantai. Dengan nafas terputus-putus ia mengangkat kepala. Tangannya kemudian bergerak mengikuti. Maju bergantian mencengkram lantai yang keras dan dingin, mencakar dengan kuku untuk mendapat pegangan serta tenaga tambahan.
Danang terus merayap seperti binatang melata yang sedang sekarat mencari tempat yang pas untuk menghembuskan nafas terakhir. Tidak hanya menyeret tubuhnya tapi genangan darah hingga membentuk garis lebar lurus sepanjang lantai.
Dengan susah payah akhirnya Danang semakin dekat pada meja. Namun saat tangannya terangkat hendak mengambil ponsel...
"Nak, ini apa? Kok, seperti potongan kuku?" Suara Bu Aminah membuyarkan lamunan Indah.
"Ee ... apa, Bu?" Indah menatap ibunya yang sedang memegang sesuatu.
Bersambung
"Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng
"Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma
Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma
Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e
Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut
Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments