Bab 38*Aku dan Salman tiba di sebuah restoran, jam makan siang membuat para pengunjung begitu ramai. Rasa percaya diriku menciut saat melihat lalu lalang orang keluar masuk. Kembali aku bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa yang saat ini sedang kukakukan? Aku merasa begitu mudahnya mengikuti ajakan lelaki itu untuk makan siang. Satu sisi aku ingin mendapatkan uang jualan, tapi di sisi lain aku merasa nyaman di dekatnya.Aku masih duduk di kursi mobil saat lelaki bertubuh tinggi itu membuka pintu.“Kenapa?” tanyanya yang melihat aku sedikit pun tak bergerak untuk turun.“Pak, tolong bayar uang saya sekarang, dan saya akan pulang.” Aku meminta.“Cuma sebentar, Sekar. Apa yang kamu khawatirkan?”Aku kembali diam, memikirkan jawaban untuk pertanyaannya. Aku tak menemukan jawaban, karena ia berpegang pada janjinya, selama di mobil ia tidak macam-macam denganku. Ia bahkan tak pernah berbicara melewati batas, tapi aku harus tetap jaga diri. Lalu, aku memutuskan turun dan mengikutinya
Bab 39*Setelah beberapa kali pertemuan itu, aku dan Salman semakin dekat. Seringkali ia melakukan panggilan telepon saat tak sibuk. Kami membicarakan tentang banyak hal. Kadang hanya berupa candaan, hingga obrolan yang lebih serius. Aku tak lagi menyapa dengan sebutan saya, juga tak lagi memanggilnya dengan embel-embel bapak. Katanya, dia masih muda untuk disematkan panggilan itu. Kepedean memang, padahal umurnya sudah tiga puluh dua saat itu.“Aku akan ketemu nenek, ya!” tegasnya.Aku menceritakan takdirku padanya. Tentang semua hal berat yang sudah kualami dalam hidup ini. Terutama tentang perbedaan yang dilakukan Nenek untukku. Tentang Kalila dan Karina, juga semua lukaku. Entah ia hanya akan bersimpati atau apa, yang penting aku bisa meluapkan sesak yang terpendam begitu lama.Aku juga menceritakan tentang penyebab Nenek tak menyukaiku, karena aku terlahir dari rahim ibu yang disebut sebagai anak di luar nikah. Aku berusaha jujur padanya, tak ada yang kututupi agar penerimaan i
Bab 40*Sejenak aku terpaku menatap wanita yang berjalan dengan kursi roda itu. Wajahnya putih dengan beberapa bekas-bekas jahitan di bagian pipinya, terlihat lebih muncul di permukaan kulit. Aku mengamati dalam diam, dari jauh ia berjalan, rahang satunya berbeda dengan sebelah lainnya. Sebelah wajahnya terlihat cantik dan baik-baik saja, tapi sebelah lagi terlihat agak miring rahangnya. Berbeda. Padahal usianya belum terlalu tua, mungkin sekitar lima puluhan. Aku hanya mengamati sambil dalam hati merasa iba. Aku meratapi nasibku yang malang, tanpa melihat bahwa di sini juga ada wanita yang bahkan tak bisa berjalan. Ia mendorong kursi rodanya hingga mendekat padaku, lalu tersenyum. Terlihat manis, meski bibirnya tertarik tak seimbang karena kondisi rahangnya yang seperti itu. Aku membalas senyumannya dan berjalan lebih dekat padanya. Aku menggapai tangan sebelah kanan wanita itu, lalu kulihat ia hanya diam tak bergerak. Tangan kanannya tetap disandarkan di sandaran kursi roda. Aku b
Bab 41*“Hei, kenapa?” ulang Salman menatap kami satu persatu.Serentak kami menoleh padanya, lalu saling menatap antara aku, Fika dan Tante Rita. Detik selanjutnya kami saling tertawa, menertawakan diri sendiri dan kebingungan Salman.“Biasalah. Perempuan kalau saling cerita suka baper,” jawab Fika.Salman mengangguk-ngangguk seraya melangkah mendekat pada kami.“Udah lama sampai?” tanya Salman padaku setelah duduk di samping Tante Rita.“Lumayan lama,” jawabku tersenyum padanya.“Elah, tadi kan udah aku wa, kalau aku dan Sekar udah sampai,” seru Fika.Salman mengerutkan kening, “beneran?”Fika mengangguk.“Nggak ada notif tuh,”Salman merogoh ponsel dari saku jas yang ia pakai. Ia mengecek ponselnya dan mencebik seketika.“Mati,” cengirnya.“Kamu tuh emang udah kebiasaan, baterai habis malah nggak dicharge,” omel Fika.Salman hanya mengangguk seraya meluruskan bibirnya karena kena omel oleh saudara sepupunya.Aku mengamati keluarga ini, sepertinya hangat sekali.Kami mengobrol bebe
Bab 42*Dua Minggu setelah itu, Fika dan sopirnya menjemputku di kampung tepat dua hari sebelum resepsi pernikahan dimulai. Katanya untuk melakukan persiapan yang matang, padahal semua persiapan baju, katering, tamu undangan, semua sudah disiapkan pihak keluarga mempelai laki-laki. Dari kampung tak ada yang aku undang, aku hanya datang bersama Bude dan Farah juga suaminya, karena hanya mereka saja keluargaku. Nenek tetap tak mau datang, ia tak ingin mengubah pendiriannya terhadapku. Tak ingin sedikit saja menghargaiku.Masih teringat jelas, ketika Salman dengan niat baiknya datang menjemput restu dari nenek. Sore itu, nenek sedang bersantai di teras, Salman datang dengan membawa beberapa buah tangan berupa buah dan sirup. Lelaki itu dengan sopan menyalami nenek. Aku masih ingat, bahkan nenek tak menyuruhnya masuk, ia hanya dipersilakan duduk di luar, di kursi satu lagi yang ada di terasnya, sedangkan aku hanya berdiri.“Saya mau meminta restu nenek untuk menikahi Sekar,” ucap Salman
Bab 43*Setelah menikah, aku tinggal di rumah bersama Salman di rumah Tante Rita, yang sebenarnya itu adalah rumah peninggalan kakek. Salman sempat bercerita bahwa ia juga memiliki rumah lain, rumah orangtuanya yang ada di Jalan Kuningan. Bukan rumah, tapi apartemen katanya. Saat itu aku tahu apa bedanya sebelum ia menjelaskan. Ia tak ingin menjual apartemen itu, karena banyak sekali kenangan masa kecil di sana, meski tak satu pun bisa diingatnya.Sehari setelah resepsi pernikahanku, Salman menyuruh sopirnya untuk mengantar Bude dan keluarganya ke kampung.Hari itu, aku kembali merasakan perpisahan yang menyakitkan, karena mulai hari itu, aku tak lagi tinggal bersama Bude, tak lagi tidur dengannya, dan bisa melihatnya setiap saat. Kami terpisah jarak. Namun, terpisah jarak lebih baik daripada terpisah rasa, seperti aku dan nenek. Terpisah jarak bisa saja sesekali aku mengunjunginya atau sebaliknya. Terpisah rasa, aku tak mungkin bisa mengunjungi karena aku akan tertolak, pun ia tak i
Bab 44*Aku diperlakukan dengan begitu baik di keluarga baruku. Fika juga seolah mengerti bahwa aku seringkali merasa bosan duduk di rumah. Sebab itu, hari Minggu ia sering mengajakku ke salon kecantikan langganannya. Dia melakukan banyak perawatan, luluran, perawatan wajah dan juga rambutnya. Hasilnya, setelah rutin ke salon, kulitku menjadi lebih bersih dan cerah. Wajahku juga sama sekali tak terlihat dekil seperti dulu. Rambut yang dulu ikal dan kasar, kini menjadi kurus dan lembut. Fika benar-benar mengerti dan menyulapku menjadi bidadari.Hanya saja, mataku membelalak saat mendengar jumlah yang harus dibayar oleh Fika sekali datang ke salon.“Nggak apa-apa Sekar. Duit itu dicari ya untuk dibelanjakan,” ucapnya dengan santai. Sementara aku masih syok dengan jumlah belasan juta dihabiskan hanya untuk pergi ke salon.Terkadang aku menilai mereka terlalu menghambur-hamburkan uang. Itu jika kunilai dari sudut pandangku, tapi jika dari sudut pandang Fika, itu adalah kebutuhan yang har
Bab 45 * Tak hanya Fika yang secara tak langsung mengajarkanku tentang banyak hal, khususnya tentang perempuan. Salman juga mengajarkan banyak hal. Saat tak sibuk, ia akan mengajakku makan di luar. Ia mengajarkan bagaimana sistem di restoran-restoran besar. Cara memesan makanan, cara bersikap tidak kaku di depan orang ramai. Bahkan cara makan dan meletakkan sendok setelah makan. Aku belajar banyak hal dari keluarga baruku, dan aku merasa bahagia dengan itu. Seperti beberapa hari yang lalu, ia mengajakku makan di sebuah restoran. Aku membaca menu di buku yang tersedia, lalu menatapnya bingung. Bingung mau pesan apa, karena tak satupun aku mengenali jenis makanan yang tertulis di sana.Ada satu makanan yang bisa kubayangkan seperti apa, sup jagung. Aku hanya membayangkan jagung sebagai bahan utama, terserah nanti diolah akan seperti apa. Jadi aku katakan pada suamiku bahwa aku memesan menu itu. “Sup jagung di sini juga enak, aku pesan itu juga deh,” ucapnya. Aku mengangguk saja.Tak b