Sekar, gadis yang kerap mendapat perbedaan dari neneknya. Ia dibedakan dari sepupunya yang lain yaitu Kalila dan Karina. Sekar tak tahu apa penyebab ia dibedakan, hanya satu pertanyaan yang kerap ditanyakan dalam hatinya. "Nek, kenapa aku berbeda?" Ini bukan kisah hijrah sepasang insan yang jatuh cinta dan melakukan kesalahan, lalu kembali pada jalan-Nya. Namun, ini kisah hijrah seorang nenek yang sangat membenci cucunya. Sekar, cucu dari seorang nenek yang bernama Jumiati. Ia pulang ke kampung halaman saat mengetahui neneknya sudah tua dan sakit-sakitan. Sebelumnya, Sekar berperang dengan rasa dalam dadanya. Ada secuil dendam, luka dan kesedihan yang besar di masa lalunya. Namun, empati dan tali darah yang membuatnya memutuskan untuk pulang. Sekar pulang meskipun pernah terusir saat meminta restu pernikahannya. Darah lebih kental dari air. Sekar menepikan perasaan ego dan kemarahannya, karena sejak kecil ia tak pernah dianggap oleh nenek. Belum lagi, ia yang hampir mati karena dibully oleh dua sepupunya, Kalila dan Karina. Apa yang terjadi di masa lalu Sekar?
View MoreCucu yang Dibedakan
Part 1
*
“Kamu persis ibu ayahmu! Keras kepala!”
“Jangan tanya aku, kamu bukan cucuku.”
“Pergi, dan jangan memaksaku menjadi wali ketika ayahmu sendiri sudah lama tercoret dari KK ibu.”
Hinaan, kebenaran yang tak diakui, dan pengucilan dari keluargaku terus membayangi. Saat aku kembali melihat kampung ini, semua itu terasa begitu nyata. Kenangan buruk itu berputar slide demi slide meski tak ingin diingat.
Aku pernah mencoba untuk lupa atau melupakan, tapi kealamian memori tetap memaksa kenangan untuk keluar, terlebih saat melihat suasana dan orang-orang yang memberikan luka di kenangan itu.
Aku membuka kaca mobil saat memasuki perkampungan yang dulu pernah kutinggali. Menghirup udara segar yang begitu kurindukan, sangat berbeda dengan udara di kota Jakarta yang sesak dan penuh polusi bercampur dengan napas-napas para pembohong. Sesak sekali.
Mobil memasuki akses jalan rumah yang akan kutuju. Sekarang jalan perkampungan itu sudah diaspal, berbeda dengan dulu saat aku melewatinya setiap hari, jalannya masih berbatu. Sejak menikah beberapa tahun lalu, aku telah meninggalkan kampung halaman dan pindah ke Jakarta ikut suami. Banyak hal yang aku tinggalkan di kampung ini. Kenangan manis bersama ibu dan ayah. Kenangan pahit bersama saudara, juga nyinyiran untuk seorang gadis berusia lanjut yang saat itu belum menikah. Aku. Sekar.
Aku melirik ke kiri dan kanan, suasana kampung kelahiran masih terlihat sama. Hanya beberapa perbedaan yang tidak terlalu kentara. Persawahan yang sedang menghijau begitu indah, mungkin memberi perasaan was-was bagi semua petani. Tentang rintangan-rintangan sebelum panen, hama atau bahkan banjir seperti yang pernah terjadi. Mereka berlomba dengan hama dan tikus yang akan memenangkan hasil panen. Ah, mungkin saja saat ini berbeda. Kulihat di pinggir persawahan sudah ada parit perairan yang semakin mudah untuk petani mengaliri air. Pun, ini bukan sedang musim hujan.
Aku membelokkan mobil ke kanan, memasuki jalan kecil yang terlihat sudah dibeton. Setidaknya itu lebih baik daripada dulu. Jika semalam hujan, aku dan semua anak-anak harus melewati lumpur becek di jalan ini untuk sampai di sekolah.
Sedikit banyak ada perubahan di kampungku.
Mobil memasuki pekarangan rumah. Rumah nenek yang kutuju saat ini, salah satu hal dan kenangan berharga yang kutinggali beberapa waktu lalu. Aku memarkirkan mobil mewah warna putih milikku, mengunci pintu setelah keluar dari sana.
Beberapa orang tetangga melihatku dengan tatapan entah. Mungkin pangling karena sudah lama tidak bertemu. Aku tersenyum ramah pada beberapa ibu yang terlihat sedang mengangkat pakaian. Mereka bahkan memicingkan mata dari jarak agak jauh untuk memastikan yang barusan keluar dari mobil adalah aku, Sekar.
“Iya, ini Sekar, Bu.” Aku langsung meyakinkan mereka, agar tak terus menerus terlihat bingung.
Kulihat raut wajah mereka tampak terkejut. Aku hanya tersenyum ramah pada mereka. Mungkin di mata mereka, aku telah jauh berbeda dengan Sekar yang dulu.
“Wah, Sekar udah beda sekarang. Cantik. Cucu Nek Jumi memang sukses semua.” Ibu yang tinggal di sebelah kiri rumah nenek berkata. Disambut anggukan dan senyuman dari beberapa ibu lain yang melihatku.
“Alhamdulillah. Mari, Bu. Sekar masuk dulu.” Aku pamit dari hadapan mereka. Bukan tak ingin berbasa-basi, tapi hatiku saat ini benar-benar sedang tertuju pada nenek.
Mereka mengangguk, membalas senyum ramah seperti yang kulakukan. Aku terus berjalan melewati rumput liar yang tampak memanjang. Sampah dedaunan juga terlihat banyak seperti tak pernah disapu. Tentu tak ada lagi yang bisa melakukan pekerjaan itu di rumah ini, mengingat halaman rumah pun cukup luas untuk dibersihkan.
Sejenak aku berdiri menghadap rumah yang sudah terlihat rapuh itu. Mengumpulkan setiap kenangan yang kusimpan dalam benak. Tanpa sadar raut wajahku kadang tersenyum, lalu perlahan bibirku kembali tertutup rapat digantikan dengan nelangsa atas ukiran kenangan pahit yang pernah kulalui.
Aku menatap pohon jambu di depan rumah nenek. Ada kenangan tersendiri tentangnya. Kenangan yang membuatku tersenyum miris.
“Assalamu’ailaikum.” Aku memberi salam. Dari dalam tak terdengar jawaban, lalu sayup aku mendengar ada seseorang menyahut dalam suara yang begitu lirih.
Itu suara nenek. Aku memberi salam untuk memberi tanda bahwa aku datang menjenguknya. Aku datang setelah sekian lama meredam amarah dalam hatiku.
Hari telah beranjak senja, aku membuka pintu yang tak dikunci itu. Suara berderit terdengar dari setiap engsel yang telah berkarat itu. Wajar, karena rumah kayu itu usianya sudah separuh hidup nenek.
Kembali aku mematung di depan pintu. Kulihat tubuh ringkih itu begitu menyedihkan. Tertidur meringkuk menghadapku. Meringkuk seperti bayi yang meminta kehangatan. Perlahan air mataku menetes membasahi pipi. Jika dulu aku bertanya satu pertanyaan yang bagiku amat menyakitkan, kini aku bertanya tentang keadilan untuk seseorang yang terbaring lemah di sana.
'Di mana anak-anaknya?’
Aku membuang perasaan sedih itu jauh-jauh. Khawatir jika Nenek melihat aku menangis, ia akan ikut menangis dan menambah rasa sakit di tubuhnya. Ah, atau mungkin ia masih sama angkuh seperti dulu. Kuharap tidak.
Nenek mencoba mengangkat tangannya, melambai padaku seolah isyarat untuk segera masuk. Aku menurutinya, membaca aba-aba yang diberikan olehnya.
Aku benar-benar masuk ke dalam rumah. Kulihat suasana yang sangat berbeda di dalamnya. Dulu, saat aku bermain selalu akan disalahkan akan mengotori rumah, dan membuatnya berantakan. Katanya ia lelah membereskan mainan kami padahal saat itu, aku hanya melihat sepupuku bermain. Hanya menonton mereka, karena aku tak pernah mendapat jatah bermain.
Entah itu main boneka, bongkar pasang, main masak-masak, aku tak pernah mendapat giliran bermain. Hanya saja aku selalu mendapat kemarahan dan suara tinggi dari nenek yang mengomeli. Ya, karena setelah sepupu puas bermain, mereka akan meninggalkan mainan itu, dan menjadi giliranku. Namun, belum pun aku menyentuhnya, aku harus mendengar makian nenek yang mengeluh lelah.
“Sekar ...,”
Kudengar nenek memanggilku, lalu suaranya tenggelam oleh suara batuk yang sedikit lama baru reda. Aku mendekat, karena melihat nenek memegang dadanya. Suasana yang benar-benar berbeda. Dari setiap sudut terlihat banyak debu yang menempel, belum lagi sarang laba-laba yang menggantung di sudut rumah juga genteng. Piring plastik berserakan di samping ranjang sang nenek. Yang paling membuatku mual saat ini adalah bau apek khas keringat orangtua. Tak hanya itu, kulihat di lantai semen itu dahak bercampur darah yang telah mengering. Tak hanya di satu tempat, tapi hampir di sekeliling ranjang tua itu.
Aku menahan semua gejolak dalam perutku. Bagaimana pun, aku datang ke sini untuk merawat Nenek. Bukan ikut meninggalkannya seperti yang pamanku lakukan.
“Sekar ...,” panggilnya lagi setelah batuknya mereda.
Aku meletakkan semua kresek yang kubawa di atas meja yang penuh debu. Aku tak tahu sejak kapan rumah ini tidak dibersihkan. Sejak kapan nenek terbaring lemah seperti ini. Ah, cucu macam apa aku ini. Perasaan menyesal tiba-tiba menyusup dalam hatiku, tak terkira.
Aku terlalu mengikuti ego dan amarahku. Jika ibu dan ayah masih ada dan melihatku, mereka pasti kecewa padaku. Bahkan aku sendiri sedang kecewa pada diri sendiri.
‘Ibu harap tak akan ada rasa benci sedikit pun untuk nenekmu. Ibu enggak ridho kamu hidup dalam membenci.’
Ke mana telingaku saat ibu berpesan hari itu. Ke mana otakku hingga aku tak bisa berpikir akan kalimat itu.
“Iya, Nek. Sekar di sini.” Dalam linangan air mata, aku menggosok bagian dadanya. Sejenak berpaling demi melihat minyak apa yang mungkin biasa ia gunakan untuk menggosok. Tak ada minyak kayu putih atau apa pun yang kutemukan. Semakin yakin bahwa selama ini nenek hanya berjuang sendirian dengan penyakitnya.
“Nek, maaf. Sekar terlambat. Maafkan Sekar, Nek.” Aku menggenggam tangan keriput itu. Tangan yang pernah mencubitku karena Kalila jatuh dari sepeda dan ia menangis. Padahal jatuh dengan sendirinya, tak ada sebabnya denganku.
Aku mengucap istighfar dalam hati, berharap agar setan dan pikiran buruk itu benar-benar terhalau pergi. Aku ingin pikiranku damai. Berdamai dengan masa laluku.
“Maaf.” Nenek seperti kualahan mengatur napas untuk bicara. Aku mendengar ia berusaha untuk mengutarakan kalimat itu. Mungkin sebuah penyesalan yang ia balut dalam kata maaf.
Mendengar itu, hatiku benar-benar terenyuh. Segala rasa negatif yang sempat bersarang di dalam hati, hilang rasanya. Berganti dengan rasa sayang dan simpati untuk seorang perempuan lemah dan renta.
Nenek kembali terbatuk. Aku mengurut dadanya. Reda sesaat. Kulihat ia memejamkan mata, kupikir nenek tertidur, nyatanya tidak.
“Kamu masih sama, Sekar.” Nenek mencoba meraih kepalaku. Aku menunduk, tiba-tiba mataku basah. Untuk pertama kali ia membelai kepalaku begitu lembut.
Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang
Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di
Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel
Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments