Bab 51*“Mas, kenapa? Pasti ada sesuatu, kan?” Aku mendesak suamiku untuk menjawab. Rasa penasaranku sedang memuncak.Salman hanya menatapku.“Aku nggak bisa tidur kalau penasaran.” Aku berkata lagi. Ia malah tersenyum melihat raut wajahku yang penasaran, karena jujur aku juga merasa ada yang aneh dari suami Kalila.“Aku kenal dia, cuma sekadar diam-diam kenal,” ucap lelaki yang tidur di sampingku. “Kenal dari beberapa kenalanku, mereka cerita tentang dia.”“Maksudnya gimana? Kalian kenal, tapi kenapa seolah tak kenal?” Aku mencoba berpikir, tapi tak mendapat pemahaman. Malam itu saat Salman datang, lelaki itu hanya sejenak berdiri di dekat pintu kamar, lalu kembali masuk. Salman juga tak terlihat seperti orang yang mengenalinya.“Dia nggak kenal aku. Suami Kalila terkenal di kalangan pengusaha.”“Suami Kalila kerja di perusahaan juga? Atau punya bisnis juga.”Salman mengangguk, tapi setelah itu ia malah tersenyum miring.“Bisnis obat-obatan terlarang. Dia jualan barang terlarang itu
Bab 52*Sudah dua hari setelah acara kenduri di rumah nenek. Sejak malam itu, nafsu makan nenek sedikit lebih bertambah dibandingkan sebelumnya. Terlebih jika siang hari, ia kerap kali minta makan setiap pukul empat sore setelah makan siang. Aku senang, setidaknya dengan makan energinya sedikit bertambah. Terbukti ia jadi lebih banyak bicara dari sebelumnya, juga lebih banyak duduk meski di ranjang.Padahal sebelumnya, ia tak terlalu nafsu makan. Apalagi jika batuknya menyerang, ia bisa seharian menahan sakitnya, dan aku mengurut dadanya.Awalnya saat aku datang, ia masih bisa dipapah untuk ke kamar mandi. Setelah itu semakin lemas kondisinya, baru dua hari ini terlihat lebih baik.“Nek, mau jalan-jalan? Nenek kuat nggak hari ini? Kita pake kursi roda.”Mataku berbinar mengajak nenek keluar setelah baru saja kumandikan. Salman yang tadi membantuku mengangkat nenek untuk duduk di kursi roda, dan membantu menimba air di sumur.Nenek sudah terlihat cantik, aku memakaikan bedak tabur di
Bab 53*Nenek membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Sejenak ia diam, dan kami semua menunggu apa yang ingin ia bicarakan lagi.Mata tuanya menatap kami satu persatu, masih diam dan mencari kata yang tepat untuk memulai tentang wasiatnya.Jika Nenek memang akan membagikan warisan malam ini, yang aku tahu sawahnya ada sekitar enam hektar. Ditambah rumah juga tanah yang kini kami duduki. Itu luas sekali, tanahnya juga bagus untuk bercocok tanam. Aku tahu karena ayah yang bercerita dulu. Kakek, Nenek dan ayah rajin sekali menanam di sawah, dan saat hasil panen banyak, mereka mengumpulkan uang untuk beli tanah lagi. Begitu terus hingga hartanya terkumpul banyak. Jika dilihat dari dulu Nenek memang tak punya banyak uang, tapi punya banyak tanah dan padi untuk makan.Mirisnya, tanah sebanyak itu yang dulunya dikerjakan oleh ayah, tapi setelah ayah menikah dengan ibu, ia sama sekali tak mendapatkan jatah lagi.“Aku akan membagi sesuai dengan ajaran Islam, karena ayah kalian dulu sel
Bab 54*Kalimat-kalimat protes terus keluar dari mulut mereka. Tak ada yang bisa menerima jika aku mendapatkan sebagian dari tanah Nenek. Jujur saja, aku juga sama sekali tak mengharapkan. Namun, jika Nenek memberikannya, aku akan sangat menghargainya.“Kenapa ibu tidak adil?” tanya Paklek Jamal lagi.Nenek menghela napas berat. Terlihat begitu berat menghadapi anak-anaknya.“Tidak adil katamu?” tanya Nenek penuh penekanan pada dua anaknya.“Lalu, kalian merasa adil padaku?”Semuanya diam menunduk.“Coba katakan, bagaimana adil menurut kalian!” Nenek masih menatap mereka satu persatu.“Atau aku hibahkan semuanya untuk Sekar?” tanya Nenek mulai tersulut emosi.Semuanya menunduk diam, takut jika Nenek melakukan seperti apa yang dikatakan barusan. Sekali saja mereka protes lagi, seperti ia akan mencabut hak waris mereka.“Jangan merasa punya hak atas hartaku sebelum kubagi untuk kalian. Jangan merasa bisa mengaturku hanya karena aku sudah tua.”Aku ikut menunduk. Merasa ngeri mendengar
Bab 55*Pagi. Aku terbangun begitu adzan subuh berkumandang. Di dalam rumah masih gelap remang-remang karena lampu tidak dihidupkan, aku takut tidur Nenek menjadi terganggu jika aku menghidupkan lampu. Aku lantas naik ke kamar untuk membangunkan suamiku. Saat aku masuk, ternyata Salman sudah bangun juga.“Kirain belum bangun,”“Udah dong. Nggak ada kamu aku nggak nyenyak tidurnya.”“Gombal subuh-subuh,” ucapku menyipitkan mata padanya.Salman hanya tertawa kecil.Kami keluar dari kamar untuk mengambil wudu dan menunaikan salat subuh.Setelah subuh, aku ke dapur ingin memasak. Moodku sedang lebih baik hari ini, jadi aku yang biasanya beli makan dan masak di rumah Farah, hari ini masak di rumah Nenek. Terserah mereka akan makan atau tidak, aku tetap akan menyisakan untuk mereka di bawah tudung saji.Usai memasak, matahari sudah terlihat naik di ufuk timur, hingga membuat suasana dalam rumah jadi lebih terang. Aku membuka jendela kayu yang ada di dinding rumah Nenek. Juga membuka pintu
Bab 56*Pulang dari pemakaman, aku langsung pulang ke rumah Nenek. Pasti banyak sekali yang harus dibereskan. Tikar-tikar yang belum digulung, sampah yang berserakan dan segala sesuatu yang berantakan di dalam rumah.Sampai di rumah, aku terkejut melihat Kalila dan Karina yang berdiri di sisi mobil. Ia bolak balik dari dalam rumah ke mobil untuk memasukkan barang-barang ke dalam bagasi. Aku berlari ke arah mereka dengan mata yang masih sembab karena begitu lama menangis.Salman ikut bersamaku, ia juga penasaran kenapa mereka memasukkan barang-barang ke mobil.“Kalian mau ke mana?” tanyaku menatap satu persatu gerakan tangan mereka yang sedang memasukkan barang.“Pulang,” jawab Kalila ketus.Aku syok mendengarnya. Baru saja Nenek meninggal, mereka akan pulang begitu saja. Mereka anggap Nenek apa sebenarnya? Mereka menganggap Nenek siapa?Wanita tua yang sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka?Pertanyaan-pertanyaan menyesakkan itu kusimpan dalam hati. Aku tak ingin memperkeruh s
Bab 57*Aku duduk agak berjarak dengan Udin, meskipun ia hanya seorang teman, tapi aku tetap harus menghargai Salman sebagai seorang suami. Aku menghargai perasaannya yang bisa jadi cemburu melihat aku dekat dengan teman lelaki. Apalagi tadi kulihat tatapannya begitu dingin menatap Udin. Aku juga tak mengerti kenapa Udin ingin berbicara denganku saat ini.Aku diam-diam mengamati perubahan Udin yang begitu kentara. Kulitnya yang dulu gelap, kini berubah menjadi lebih putih dan bersih. Aku menatapnya, dan saat itu juga ia sedang mengamatiku. Lalu, kami saling tertawa karena diam-diam saling mengamati satu sama lain yang sudah lebih banyak berubah.“Wah, udah banyak berubah ya, kamu!” ucapku pada Udin.“Kamu juga!” balasnya. Lalu, kami mengangguk bersamaan. Sama-sama tahu bahwa kami jauh berbeda dari yang kami saling kenal dulu.Selain Farah, Udin lah yang dulu suka menolongku. Aku masih ingat sampai sekarang, bahkan seumur hidupku.“Nggak nyangka ya, putaran hidup kita seperti ini. Aku
Bab 58*Aku mengangguk, lalu mengambil benda itu dari tangannya. Ia tersenyum begitu medalinya berpindah tangan padaku. Aku tak merasa berjasa hanya dengan menyarankannya berenang dulu. Namun, aku hanya ingin menghargai usahanya menemuiku untuk memberikan medali itu.“Tadi di ujung lorong, aku melihat Kalila sama Karina, kaca mobilnya terbuka. Aku masih hapal wajah mereka. Mereka mau ke mana?” tanya Udin.Aku menatapnya sejenak, lalu menghela napas lelah. Pertanyaannya kembali mengingatkanku pada dua sepupuku itu. Tentang sikap mereka yang sama sekali tak melihat keadaanku. Mereka tak pernah bisa menepikan rasa egois yang mereka miliki.“Mereka mau pulang.” Aku menjawab dengan suara lirih.“Bukannya Nenek baru saja meninggal?”Aku mengangguk lemah. Kesedihan kembali hadir di hati.“Apa mereka masih seperti dulu?” tanya Udin hati-hati. Mungkin takut jika hatiku terluka, karena mereka saudaraku.Aku mengangguk lemah. “Mereka tidak berubah.”Udin mengangguk mengerti.“Entah kenapa juga