Share

Bab 7

DESAHAN IBU SAMBUNG

BAB 7

"Udin … Kang Udin lemes, katanya dadanya sesak. Nggak bisa napas, wajahnya dah pucet, Mbak," ucap Simbok dengan terbata. Aku yang sedari tadi masih memegang sendok segera melepasnya dengan kasar. Lalu berlari menuju belakang. 

Semua orang tak kalah terkejut. Mendapati sopir keluarga ini tergeletak di lantai dekat dapur kotor di belakang.

"Haduh, apa-apaan ini, Sayang. Udin keracunan?" Alma, wanita itu histeris dan terlihat heboh sendiri. Entah karena apa Pak Udin bisa keracunan, mulutnya sudah keluar busa. Sedangkan wajahnya sudah pucat pasi. Aku segera memeriksa detak nadinya maupun napasnya. Alhamdulilah, masih ada. Segera Ayah bergegas membawa Pak Udin ke rumah sakit. 

Makan malam yang bertujuan membahas pernikahanku. Berakhir secara tragis, tak terduga.

Pak Udin terlihat membaik setelah ditangani dokter IGD. Wajahnya sedikit berubah dan juga nafasnya sudah kembali normal. 

Aku dan juga Ayah masih setia berdiri menatap Pak Udin yang masih tergeletak lemas.

Alma dan juga Mas Satria tidak ikut pergi ke rumah sakit. Hanya ada aku dan Ayah.

"Bisa kita bicara, Pak?" Tiba-tiba seorang dokter datang membuyarkan lamunanku. Ayah dengan sigap segera mengikuti dokter tersebut dari belakang. 

Entah apa yang mereka bicarakan. Yang pasti membicarakan tentang pasiennya. 

Aku menjatuhkan bokong di sofa lalu merogoh ponsel pada saku celana. 

Ternyata ada satu pesan masuk yang aku terima. 

Karin? Dia menghubungiku hampir sepuluh kali panggilan. 

Segera aku menelpon Karin memastikan tidak terjadi apa-apa.

"Halo, Karin. Ada apa?"

"Kemana aja sih, Tan? Ditelpon dari tadi juga!" tanya Karin dengan nada tinggi.

"Maaf, lagi di rumah sakit ini."

"Siapa yang sakit?"

"Pak Udin, dia tiba-tiba lemas, sesak, wajahnya pucat. Kan takut, dah keluar busa lagi dari bibirnya."

"Innalillahirojiun, kok bisa?"

"Nggak tahu Aku?"

"Di racun?"

"Racun? Siapa Karin yang mau ngelakuin hal senekat itu? Tega amat?"

"Tapi beliau nggak mati kan?"

"Ya enggak lah, yang benar saja."

"Pasti ada yang sengaja itu masukin racun ke dalam makanan!"

"Ngaco kamu!"

Ceklek

"Udah dulu ya, nanti disambung lagi!" Segera aku mengakhiri sambungan telepon ketika Ayah berjalan memasuki ruangan. Meskipun Pak Udin hanya supir, namun Ayah mencarikan kamar no 1 meskipun bukan VVIP.

Lelaki yang bergelar ayah itu berjalan mendekatiku. Menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa dekatku.

"Apa kata dokter, Yah?" Aku bertanya dengan hati-hati.

"Di racun. Sejenis sianida, namun yang berjenis cairan. Kata dokter beruntung hanya sedikit, sehingga akibatnya tidak terlalu fatal!"

"Tidak fatal? Kek begitu nggak fatal, Yah?"

Ayah hanya mengangguk. Ada kecemasan yang terlihat dari raut wajahnya.

"Pasti ini ulah Alma. Wanita itu emang nggak bener!"

"Tania, Ayah pikir selama ini kamu berusaha mendekati Alma. Tapi sepertinya kamu masih berpikiran jahat tentangnya."

"Ayah, Alma itu-"

"Cukup, Tania. Pikiran jahatmu terlalu berlebihan. Tidak seharusnya kamu berpikir bahwa Alma yang berbuat demikian. Dia ibu kamu, meskipun Ibu sambung. Hargai dia sebagaimana kamu menghargai Ibumu sendiri."

"Tapi Ayah," ucapku terhenti kala lelaki tua itu berdiri dengan wajah merah padam.

"Cukup, Tania. Cepatlah menikah dengan Satria, dan pergilah bersamanya."

"Ayah mengusir Tania?" Sorot mata Ayah yang tajam sulit aku artikan. Entah itu tatapan marah karena aku menuduh istrinya atau justru tatapan membenarkan bahwa dia mengusirku dari rumah. 

Aku menghela napas lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Pikiranku berkecamuk ada rasa marah dan juga benci. Sebesar itukah cinta Ayah untuk Alma. Hingga dia dibutakan oleh cinta wanita jal*Ng itu?

Maafkan aku Ayah. Tapi aku akan membuka tabiat Alma nantinya. 

Aku pergi memesan taksi online tidak mungkin jika aku akan pulang ke rumah. Aku memutuskan pergi ke Butik. Disana jauh lebih baik.

Mobil Avanza berwarna silver yang aku tumpangi berjalan sedikit lambat menuju Butik. Membelah jalan yang sedikit ramai tapi lancar. 

Namun tiba-tiba mataku melihat plat mobil yang ada di depanku. Sepertinya aku mengenal mobil itu?

Benar saja, itu mobil Mas Satria. 

"Pak, tolong ikuti mobil di depan itu ya, Pak."

"Baik, Mbak."

Mobil itu terus berjalan, entah kemana tujuannya. Yang pasti bukan jalan menuju rumah. 

Tunggu, ini kan jalan menuju villa milik Mas Satria? Kenapa dia datang ke sini?

Astaga, apa yang akan dilakukan Mas Satria ke Villa malam-malam begini? Apa ada meeting dengan klien di sekitaran sini? Hingga dia harus menginap? Ah, kenapa pikiranku menjadi negatif begini. Ayolah, Tania. Satria lelaki yang baik, meskipun kamu pernah melihatnya bersikap mesra dengan ibu sambungku sendiri.

Aku melihat lelaki itu keluar dari mobil seorang diri. Sengaja aku meminta Pak sopir berhenti sedikit menjauh agar tak terlalu terlihat. Kenapa Mas Satria hanya sendiri, dimana Mama? Bukankah tadi dia bersama Mama?  

Aku mencoba menghubungi calon suamiku itu, hingga tak berapa lama aku melihatnya merogoh ponsel dari saku celananya.

"Halo, Mas."

"Halo, Tania? Gimana Pak Udin? Baik-baik saja kan?" tanya lelaki itu tampak biasa saja. 

"Baik, Mas. Alhamdulilah, udah ditangani sama dokter. Kamu sendiri gimana sama Mama? Maaf, karena kejadian tadi aku nggak sempet pamit sama kamu!"

"Iya, nggak papa. Mas tahu kok, kamu khawatir." 

Tunggu, kenapa terlihat ada seorang wanita yang keluar dari  Villa. Lalu memeluk Mas Satria? Siapa wanita itu? Mas Satria terlihat menempelkan jari telunjuk pada bibirnya, memberi isyarat untuk sang wanita agar diam tak bersuara. Aku dari kejauhan yang melihat itu lantas mencoba menanyakan keberadaannya.

"Mas Satria langsung pulang?" 

"Iya, aku langsung pulang. Lagian besok ada meeting sama klien jadi aku mesti pulang lebih cepat. Takutnya kecapekan, malah bangun telat."

"Ow begitu, maaf kalau begitu."

"Nggak papa, Sayang." Cuih, mendengar kata sayang dari mulutnya seolah aku ingin muntah saja. 

"Ya sudah kalau begitu, aku tutup teleponnya. Biar kamu bisa istirahat selama-lamanya dengan tenang."

"Lho kok dengan tenang?" Mas Satria sedikit terkejut mendengar ucapanku.

"Bercanda."

Aku segera mengakhiri pembicaraan ini. Meminta sang sopir taksi menunggu sebentar. Dengan berjalan santai seperti tidak ada apa-apa aku melangkah menuju vila. Masuk dengan melihat kanan kiri memastikan tidak ada orang yang melihat. Masuk ke dalam villa, melalui pintu samping. Karena aku pernah menginap di Villa ini saat liburan bersama keluarga Mas Satria. Jadi aku tahu dimana letak pintu maupun kamar. 

Aku pastikan ponselku dalam keadaan senyap. Lalu menekan tombol on pada Video. Segera aku berjalan menuju kamar. Dalam setiap langkahku aku merinding mendengar erangan dan desahan menjijikan. Aku yakin itu suara Mas Satria.

Ah, begitu bodoh aku selama ini. Percaya akan mulut manisnya yang seolah menjagaku tanpa berani menyentuh. Ternyata dia sudah mendapatkan sentuhan dari yang lain. Astagfirullahaladzim, aku terus saja beristighfar dalam hati. 

Entah tertutup setan mana hingga lelaki itu tanpa menutup pintu kamar telah bersitegang. Tepatnya bersitegang dengan nafsu bir*hi.

Allahuakbar, jantungku berdegup lebih cepat. Setelah kudapati dua manusia sedang bergelut dengan nafsu. Menikmati rasa haram diluar pernikahan.

Tanganku gemetar saat menaikan kamera menempatkan mereka sebagai objek. Ingin rasanya aku mencaci lalu meneriaki. Namun dengan sekuat tenaga aku mencoba menahan. 

Setelah dirasa cukup. Aku segera pergi meninggalkan mereka. Menuju mobil yang tadi sudah menunggu. Dalam diam aku menangis. Seolah Allah telah membuka mataku, melihat sang calon Imam yang tidak pantas bersanding denganku. Haruskah aku senang atau justru kecewa. Namun kecewa dan juga sakit mendominasi saat ini.

Aku menangis di sepanjang jalan. Hingga tak aku hiraukan lelaki yang tengah mengemudi ini memperhatikan.

Bersambung….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status