Share

FEATURING FIKRI

Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya.

"Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing.

"Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek.

"Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya.

"Maksdunya?"

"Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?"

"Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu.

"Maaf buat apa?"

"Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk.

"Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?"

"Udahlah, intinya aku boleh duduk disini nggak!?" Elzora mulai kesal.

"Nggak!" Balasnya cepat.

"Oh... Oke," memutar badan melangkah pergi.

"Hey aku becanda!" Meraih lengan Elzora yang hampir beranjak. Gadis itu tampak menahan diri dari perasaan geram. Perlahan duduk dibantu dengan tarikan tangan pemuda itu. Mereka duduk bersebelahan tapi punya dunia masing-masing. Sesekali pemuda asing mengintip pekerjaan yang dilakukan gadis cuek disampingnya. Sementara ia juga fokus pada bidikannya, menangkap beberapa objek sekitar.

"Mbak dari mana?"

"Kamu kenapa si, selalu mempertanyakan sesuatu yang jawabannya udah kamu tau?"

"Waduh, masih marah sama pertanyaan aku pas kamu jatuh di stasiun ya? Hehe maaf..."

"Kita sama-sama berangkat dari Jakarta, kamu kan tau."

"Haha... Sensian banget si mbak, ya udah sekarang aku ganti pertanyaan. Mbak ada urusan apa ke Surabaya?"

"Jangan panggil mbak!"

"Wah kode nih."

"Kok kode?"

"Iya kode, berarti kamu ngajak aku kenalan, biar aku nggak panggil kamu mbak. Benar bukan?"

"Nggak jelas banget sih..." Tatap dan geraknya mulai merasa risih. Namun, tetap bertahan sebab tidak ada kursi lain, selain disana.

"Ya udah, kamu belum jawab pertanyaan aku loh. Ada urusan apa ke Surabaya?"

"Kayaknya urusan aku bukan urusan kamu deh..." Menghela napas, diam beberapa detik, menutup layar monitor. Meraih ponsel di saku jaket.

"Kamu emang udah biasa bersikap begini ya, sama orang asing?"

"Sebenernya nggak semua orang juga sih..."

"Oh iya, cewek kan paling susah untuk mulai duluan. Sekarang biar aku yang mulai. Kenalin... Aku lahir di Jakarta tapi mama orang Surabaya. Sejak lulus SMA aku ganti domisili jadi warga Surabaya, itu karena aku lanjut kuliah disini dan mama juga ada bisnis disini."

Pemuda itu menjelaskan dengan cukup rinci. Mengenai latar belakang bahkan mungkin juga masa lalunya. sebelumnya Elzora tidak tertarik, menyimak pemuda yang sok akrab itu. Namun, seakan melewatkan beberapa ide cerita menarik Elzora berusaha merespon baik.

"Mama di Surabaya, kalo papa?" tanya Elzora.

"Kerjanya kemana-mana, dulu kami pernah tinggal sama-sama di Jakarta. Tapi itu dulu, sebelum mereka putusin untuk ambil jalannya masing-masing dan aku pilih ikut mama. Sementara abang ikut papa," jelasnya lagi.

Elzora menatap dengan perasaan ambigu. Kernyit alisnya berkata ia sedang kebingungan. Sorot matanya berbinar. Terfokus pada bola mata pemuda dihadapannya.

"Kenapa ngeliatinnya begitu? Kamu pasti nggak paham," seru si pemuda asing.

"Siapa bilang? Orang tua aku malah nggak tau sekarang dimana dan apa status mereka," balas Elzora.

"Serius?"

"Iya... Hidup aku kayak bola, di oper kemana-mana. Tapi nggak jelas tujuannya apa."

"Tujuan bola pasti masuk ke gawang dong!"

"Itu bukan tujuan bola, tapi tujuan si pemain bola." Elzora menatap tajam pemuda asing itu lalu perlahan membuang pandangannya.

"Eh, kok jadi bahas keluarga sama bola sih... Jadi, boleh tau namanya nggak?" tanya pemuda itu lagi.

"Penting banget ya, sebuah nama?" balas Elzora.

"Ya iyalah, aku Fikri Arkana." Tertegun sejenak, menunggu jabat tangan itu diraih. Tatap dan jabat tangan itu untuk gadis berjaket hitam dari ia yang memakai jaket bahan jin cokelat. Pemuda yang setia bersama sebuah kamera digital di lehernya.

"Elzora Giandra Oktaviani," diraihnya tangan Fikri.

"Wah, namanya keren artinya pasti bagus!"

"Cuma nama sokongan."

"Sokongan?"

"Nama pemberian sanak saudara." Elzora membuang muka dengan ekspresi kesal. Fikri berusaha paham. Dihentikannya lanjutan dari perntanyaan tentang arti nama gadis dihadapannya. Gadis yang terlihat dirundung pilu. Sama halnya seperti sebelum ia mengikhlaskan perpisahan orang tuanya.

"Panggilannya apa?"

"Zora." Balasnya singkat.

"Ok, cantik." Bisik Fikri menjauh setelah beberapa detik diam-diam memandangi Elzora yang tengah sibuk dengan ponselnya.

"Apa?" Elzora sontak menyahut. Menghentikan arahnya yang semula menghadap ke depan menjadi sedikit serong.

"Eee... Liat deh adik itu cantik banget ya," menunjuk seorang anak kecil. Usahanya untuk mengalihkan tak digubris oleh Elzora.

Fikri berusaha diam-diam mencuri perhatian Elzora. Pemuda berparas elok itu banyak bercerita. Ia seorang mahasiswa fotografi yang juga berprofesi sebagai fotografer. Sebuah jurusan yang tidak banyak diminati sebab dunia fotografi dianggap bisa dipelajari secara otodidak oleh siapapun. Fikri mencintai hobinya sebagaimana ia mencintai sosok ibu yang melahirkannya. Orang tuanya telah berpisah semasa ia berseragam putih abu. Perpisahan memang menyakitkan tapi, akan lebih sakit jika tak segera diikhlaskan.

Fikri mempunyai seorang kakak laki-laki yang tinggal bersama ayahnya di Jakarta. Ia menganggap setiap pertemuan ditakdirkan untuk perpisahan. Itulah sebab pemuda yang selalu tampak riang itu memaklumi perpisahan keluarganya. Terlalu larut dalam kenyataan pahit hanya mempersulit. Sosok ibu sudah lebih dari cukup. Malaikat tak bersyaap yang senantiasa meneduhkan kegalauannya.

"Sejak kapan suka dunia fotografi?" tanya Elzora.

"Gue nggak inget kapan, yang pasti ini gue banget!"

"Oh gitu," balas Elzora setengah hati.

"Panggilanya lo gue aja nggak bolehkan Zo?"

"Ya terserah."

"Soalnya gue ngerasa belum saatnya kita pake aku kamu." ujarnya.

"Emang kenapa?"

"Terlalu romantis, untuk dua orang asing yang belum banyak membuat kenangan."

"Apaan sih, pasti kamu banyak pacar." tebaknya.

"Haha salah besar, malahan gue nggak pernah punya pacar," balasnya menyangkal.

"Bohong!"

"Serius Zo, emang gue deket sama banyak cewek tapi bukan fakboy dan semuanya cuma deket doang nggak lebih."

"Itu mah sama aja! Sama-sama mainin hati perempuan."

"Udah-udah jangan baper, gue nggak bakal mainin hati lo kok haha, sorry gue cuma becanda!"

"Iya... Terus aja menganggap becanda kata-kata yang nggak seharusnya dibecandain itu."

"Gue pernah serius tapi dianggap becanda, gimana dong? Lewat mama dan papa gue paham, kalo hubungan itu hanya sebuah pertemuan singkat yang pasti berakhir perpisahan. Itulah takdir," ucap Fikri.

"Oke, paham."

"Lo juga bisa nggak sih, positif thinking sama orang jangan selalu berpikir buruk hanya karena orang itu asing buat lo."

"Gue pernah percaya tapi akhirnya dibuat sangat kecewa, sekarang gimana menurut lo?"

"Siapa? Gue ya..."

"Ya bukanlah!"

"Kirain kamu nyindir aku... Eh sorry! Belum saatnya aku kamu," menekan kata Aku dan Kamu.

"Dasar aneh!"

Beberapa menit berlalu. Mereka duduk pada tempat yang sama bahkan bersebelahan. Sudah berusaha mendekatkan namun, Elzora tetap bersikap cuek pada Fikri. Hingga azan asar berkumandang.

"Zora..." Memanggil Elzora yang fokus pada layar ponselnya.

"Ya?" balasnya tanpa menoleh Fikri.

"Denger sesuatu nggak?"

"Ini tempat umum, suara apa yang lo maksud..."

"Suara hati!" Bisik Fikri.

"Hah?"

"Iya suara hati buat ke masjid," tertawa kecil.

"Oh, iya denger kok."

"Maaf sebelumnya, lo muslim bukan?" tanya Fikri hati-hati.

"Kenapa? Karena nama gue Elzora? Atau karena nggak pake jilbab?" balas Elzora tersinggung.

"Cuma berusaha sopan aja kok biar nggak salah."

"Gue muslim."

"Bagus kalo gitu..."

"Bagus kenapa?" tanya Elzora heran.

"Ya bagus, berarti gue bisa jadi imam buat lo nanti," ucap dan tatapnya.

"Dih, baru kenal udah ngegombal,"

"Siapa yang gombal, gue mau ngajak lo solat bareng. Biar gue yang imamin, mau nggak?"

"Oh gitu," mengemas barang-barangnya ke dalam ransel. "Ya udah yuk!"

"Serius mau?" tanya Fikri menggebu.

"Ya seriuslah, gue mau liat cowok kayak lo kalo jadi imam gimana?"

"Wih... Ngeremehin gue ya! Awas entar kalo dibacain Ar-rahman rakaat kedua baper loh."

Fikri bergegas lebih dahulu, meninggalkan sisa senyum penuh sipu. Meninggalkan kedipan kepada Elzora yang tengah kebingungan. Untuk pertama kali gadis itu salat dan diimami oleh laki-laki asing. Dia laki-laki yang dengan beraninya berusaha mengetuk hati seorang gadis yang telah mengunci pintu hatinya.

"Suka foto juga?" tanya Fikri.

"Lumayan." balas Elzora sambil menangkap beberapa objek dengan kameranya.

"Suka jalan-jalan juga nggak."

"Suka banget,"

"Apa lagi selain foto dan jalan-jalan yang lo suka?" tanya Fikri lagi.

"Art syle," balas Elzora dengan tatap.

"Kalo sama gue suka nggak?"

"Apa?"

Tatap mereka seakan kembali menghentikan waktu. Gombalan pemuda yang semula asing sangat berani menembus dinding pada hati gadis cuek itu.

"Haha... Becanda Zo, eh tapi ada satu hal yang kayaknya kita beda, gue pecinta makanan Indonesia. Terutama batagor dan gado-gado,"

"Serius? Gue juga suka. Tiap pulang ngampus pasti beli batagor langganan. Namanya Mang Komar,"

"Oh iya?" seru Fikri tak sangka.

"Batagor tanpa cabe ekstra timun..." Sahut mereka bersamaan. Dilanjutkan dengan tawa kecil menggemaskan dari keduanya.

"Wah kayaknya kita sehobi." seru Elzora

"Betul, kita sehobi tapi belum sehati haha..." Balas Fikri kembali dengan gombalannya.

"Apaan si, gue males banget di gombalin nggak jelas gitu," ekspresi yang semula tenang kembali garang.

"Iya... Maaf nyonya, cuma becanda."

Sebuah konser anak jalanan, mengumpulkan beberapa pengunjung sore itu. Fikri meminjam sebuah gitar salah seorang pemusik. Ikut bernyanyi untuk menghibur diri hingga khalayak ramai ikut menyaksikan. Sekaligus berusaha mengalihkan perhatian Elzora agar tertuju kepadanya. Usaha kali ini sedikit berhasil, Elzora mendekati seorang pemain biola. Mereka bersuka ria bersama para penonton dan para anggota seniman jalanan. Melodi yang diciptakan oleh mereka teramat indah. Beberapa orang meminta beberapa lagu untuk dinyanyikan. Sebuah dawai dimainkan dengan piawai oleh dua sejoli itu. Sebuah lagu romantis ciptaan Banda Neira dilantunkan begitu serasi dengan suasana senja hari. Ditambah perpaduan suara keduanya yang menenangkan hati.

"Zo..."

"Ya...?"

"Kayaknya kita bukan cuma sehobi, tapi juga satu frekuensi." Menatap tulus, kata-kata itu diucapkan dengan sungguh.

Riuh tepuk tangan menghanyutkan suasana siang menjelang sore. Di bawah langit Surabaya penuh suka cita. Awan membiru menyaksikan pertemuan tanpa perencanaan.

Mae Takata

Hallo happy reading gengs :) Nantikan keseruan dan kebaperan lain pada chapter selanjutnya. Follow me on *** @Mae.Takata

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status