"Jadi cowok, kok, kasar amat." Rendy langsung berbicara begitu melihat Felix keluar dari ruangan yang diyakini tempatnya bersama Ara sebelumnya. "Enggak usah ikut campur urusan orang Lo!" ketus Felix sambil memandang sekelilingnya, berusaha mencari keberadaan Ara. "Kalau lo lagi nyari cewek lo, kayaknya dia udah pulang. Kasihan banget, mana pulangnya sendiri, dalam keadaan nangis lagi, berengsek banget cowoknya," kata Rendy berusaha memanas-manasi Felix dan berharap supaya pria itu terpancing dengan ucapannya. "Makasih, ngomong-ngomong lo kalau sama gue bacotnya lancar banget," ketus Felix, tetapi ia tak melakukan apa-apa seperti yang diharapkan Rendy, "jaga noh image cuek lo, jangan cuma dijadiin gelar doang," lanjutnya kemudian pergi dari hadapan Rendy dan berusaha mengejar Ara. Rendy yang mendengar dan melihat hal itu mengumpat pelan dan tersenyum sinis, "rupanya lo banyak belajar dari pengalaman," gumamnya. *** "Huh! Gini toh rasanya pacaran beneran, dibentak dikit nangis, di
"Ara sayang, sini dong deketan, semalem 'kan Kamu pengin banget lihat abs aku, nih aku kasih lihat sekarang, sepuasnya malah." Felix sejak pagi memang sudah gencar menggoda Ara sejak kejadian semalam, dimana Ara tertangkap basah mengagumi bentuk tubuhnya. "Felix, Kamu kok lama-lama tambah ngeselin, yak!" sebal Ara, ia tentu saja malu dan sedikit gugup, bagaimanapun tubuh Felix memang proporsional dan sesuai dengan tipenya. Tetapi, kalau untuk mengakui secara terang-terangan, ia tentu saja tak mau, terlebih malu sebenarnya."Makanya sini, lihat nih, kapan lagi coba kamu bisa lihat yang beginian secara gratis," kata Felix sambil tangannya mengangkat singlet putih yang tengah ia kenakan dan memamerkan perut six pack-nya.Ara mulai sebal sekaligus sedikit senang dengan situasi ini. Ia sebal karena merasa kalau Felix berhasil menemukan celah untuk terus menggodanya, dan tentu saja ia senang karena seperti kata Felix tadi; kapan lagi ia bisa melihat perut lelaki idamannya kalau bukan sekar
Ketika Felix keluar dari kamar dan sudah selesai dengan ritual mandinya, ia mendapati Ara dan Talitha sedang saling memelototi. Tatapan kedua perempuan itu sangat menusuk seolah ingin menguliti satu sama lain. "Ekhem!" Felix berdehem pelan untuk mendapatkan atensi dua cewek tersebut. "Felix," ucap Talitha dengan nada manja dan terkesan dibuat-buat dan hal itu ditanggapi Ara dengan decihan kecil diiringi dengusan kasar dari Felix. Sepertinya tuan rumah sama-sama tak menyukai tamu yang datang hari ini. "Lo ngapain di sini?!" tanya Felix dengan intonasi yang tak santai pada Talitha. Ara yang mendengar nada bicara Felix yang ketus itu jadi tersenyum menang. Lihat saja, ia akan tunjukkan siapa pemenang sebenarnya di sini. "Sayang, wanita ini tadi masuk sendiri terus katanya dia nyari Kamu, makanya aku suruh cepetan tadi," adu Ara sedikit dilebay-lebaykan, padahal sebenarnya ia sedikit geli berbicara begitu dengan Felix, tetapi demi pencitraan di depan Talitha ia harus rela dan berakti
Kedatangan Talitha ke apartemen waktu itu dan melihat bagaimana cara wanita itu memandang rendah ke arahnya membuat Ara yakin kalau ia harus mengibarkan bendera perang. Keadaan sudah siaga satu alias gawat darurat.Ara sudah melabeli Felix sebagai miliknya jauh-jauh hari sejak pria itu mengajaknya melanjutkan hubungan mereka ke arah yang lebih serius daripada hanya sekadar pacar kontrak. "Hari ini aku mau keluar?" Tanpa melihat ke arah Felix, Ara berkata sambil memandang bayangan dirinya yang tengah membenahi anak rambutnya di cermin. Ara tentu saja kesal, entah bagaimana, dia merasa kalau Felix sedikit melunak pada Talitha. "Lagi?" tanya Felix. "Ke mana?" Sudah beberapa hari terakhir ini, Ara memang sering keluar untuk mencari udara segar. Beberapa kali Rendy juga mengajak bertemu, tetapi ia tolak. Suasana hati Ara sedang kacau, lagi pula ia tak lagi terikat kontrak apa pun dengan pria itu, jadi ia lebih tenang. "Cuma keluar sebentar," jawab Ara masih enggan menatap Felix. Ingat,
Semuanya tampak sangat suram bagi Ara, belakangan setelah pertengkaran--kalau hal itu bisa dibilang pertengkaran--dengan Felix, gadis itu jadi bodo amatan sekarang. Hari-hari Ara berubah drastis, semuanya hampir dipenuhi dengan kejengkelan. Bagaimana tidak? Biasanya Felix akan selalu membujuknya dengan segala cara apabila ia sedang ngambek, tetapi lihat sekarang, pria itu bahkan tak lagi repot-repot untuk menanyakan ke mana Ara akan pergi. Seperti saat ini. "Aku mau keluar, mungkin pulangnya malem. Kalau enggak nginep jangan lupa nyalain lampu sebelum pergi," pesan Ara. Seperti sudah diduga, jawaban Felix hanya berupa gumaman pelan. Ia sudah tak lagi memaksa ingin ikut dan bertanya ini-itu. "Aku pulangnya malem, loh." Seolah ingin menegaskan sesuatu, Ara mencoba berbicara sekali lagi. Jujur saja, gadis itu berharap ia akan dilarang pergi. "Hm." "Perginya sendiri." Ara berharap Felix memaksa ikut seperti sebelum-sebelumnya. Tetapi dasar Felixnya emang kurang peka. "Hm." Huh?
"Mana Ara?" tanya Felix begitu pria itu sudah melihat Etthan berdiri di depannya. "Masuk dulu, bos," kata Etthan. Menurut, Felix pun mengikuti temannya itu. Sejauh ini, Ara belum terlihat di mana pun, seolah gadis itu tak ada di sini sekarang. "Mana Ara?" tanya Felix ulang, sekarang ia bertanya sambil duduk di sofa yang di sebelahnya ada tas Ara. "Gini, Ara tadi sempat ke sini, kita sempet ngobrol bentar, terus ..., dia tiba-tiba izin keluar, sampe sekarang belum balik juga." Etthan menatap ragu-ragu sekaligus kikuk pada Felix. Etthan sudah sangat tahu bagaimana tabiat pria itu kalau sedang marah. Ia tak ingin melihatnya lagi. "Maksud lo?" "Ara enggak ada di sini, dia udah pergi. Mau gue kasih tahu di telepon tadi tapi keburu dimatiin." Etthan berkata seadanya. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam Felix. "Jangan bohong deh lo, buktinya nih hp sama tasnya masih di sini!" tunjuk Felix pada tas yang ada di sampingnya, kemudian pada Hp yang ada di atas meja.
Pagi ini keadaan Felix sudah lumayan baikan. "Sarapan dulu, ya," kata Ara. "Enggak mau sarapan bubur," jawab Felix. Menghela napas pelan, Ara berucap dengan lembut. "Ini enak, loh, cobain dulu, ya, biar perutnya ada isi, ... ayo." "Enggak mau, Ara," kata Felix lagi saat sesendok bubur sudah berada di depan mulutnya. Dari dulu ia memang sedikit tak suka dengan bubur. "Ya udah, kalau gitu mau sarapan apa? Biar aku masakin," kata Ara akhirnya, memilih untuk mengalah. "Nasi putih sama telur ceplok aja," kata Felix. "Oke, tunggu ya." Baru saja Ara akan bangkit, tetapi tangannya malah ditahan Felix. "Lepas dulu, aku cuma mau ngambil makanannya ke dapur," ucap Ara sambil berusaha melepaskan tangan Felix yang sekarang sudah beralih merangkul pinggangnya dengan posesif. Felix dalam keadaan baik-baik saja sudah manja dan posesif, apalagi sekarang ketika ia tengah sakit, level manja dan keposesifannya bertambah berkali-kali lipat. "Enggak usah sarapan aja, deh." Felix merengut sambil m
"Pulang!"Baru beberapa saat yang lalu mata Ara bersitatap secara tak sengaja dengan Felix, pria itu sekarang sudah berada di depannya.Ara bingung, gelisah, dan takut.Bagaimana sekarang? Alasan apa lagi yang harus ia karang untuk menutupi semuanya."Wess, apaan nih bos?" Rendy yang sedari tadi diam akhirnya ikut bersuara, ia juga menjadi tameng ketika Felix terlihat akan menyeret Ara keluar dari tempat acara."Lo kemarin-kemarin gue sabarin tapi malah jadi belagu, ya!" ketus Felix, kali ini beralih pada Rendy.Sedari tadi, Felix sudah berusaha untuk tak menghuraukan keberadaan Rendy yang selalu bisa memancing emosinya ke batas maksimal."Lo kali yang selalu belagu," kata Rendy santai, berbanding terbalik dengan keadaan Felix. "Enggak inget kelakuan banget!" sindir Rendy terlihat meremehkan."Minggir!" titah Felix tegas, ia tak ingin menanggapi bacotan Rendy di tempat ramai seperti ini, apalagi di sini juga ada Papanya.Bisa gawat kalau ia nekat baku hantam di sini."Hak lo nyuruh-nyu