Bab 2. Pembelaan
"Darimana kamu dapat foto-foto ini Mel?" tanya Eyang Harun dengan mata menyorot tajam. Ditangannya ada selembar foto yang menunjukkan gambar dimana Bram menghitung uang tersebut dengan serius di depan Nisa. Melani menoleh ke arah Eyang Harun, ia tersenyum sinis lalu kembali menatap Nisa. "Dia kira gerak-geriknya tidak diawasi apa," ujar Melani dengan penuh percaya diri. "Jika aku mau, aku bisa membayar mata-mata berapa pun harganya untuk mengawasi dia." "Berarti kamu memang sengaja menyebar mata-mata untuk mengawasi Nisa ya?" Bram melontarkan pertanyaan, membuat Melani mengalihkan pandangan. "Iya, memangnya kenapa? Kamu keberatan?!" Melani berkacak pinggang, wajahnya yang terlihat sadis semakin terlihat mengerikan. Bram tersenyum miring, ia menggelengkan kepala lalu mengalihkan pandangan ke sisi lain. "Benar-benar tak percaya," ucapnya. "Orang yang harusnya berperan sebagai pelindung justru andil bagian dalam terpuruknya hidup seseorang. Ckckck ... aku sungguh tak menyangka betapa busuknya keluarga ini." "Diam kamu!" Eyang Harun tersinggung, ia menggebrak meja hingga anggota keluarga yang lainnya terlonjak kaget. "Kamu ini siapa? Pendatang dilarang berkomentar. Lagipula siapa kamu, berani-beraninya kamu menghina keluarga ini," kecam Eyang Harun dengan mata melotot ke arah Bram. Alih-alih ciut nyalinya, Bram malah tertawa keras. Ia sengaja menertawai Eyang Harun, bahkan disaat tegang seperti ini ia masih saja bersikap begitu tenang. "Lihatlah, betapa lucunya keluarga ini. Yang terpojok semakin terpojok, yang sombong semakin sombong, dan yang berkuasa ... yang berkuasa bahkan tidak lagi ingat umur." "Diam kamu!" hardik Eyang Harun sekali lagi. Ia mendesah berat lalu kembali menatap Nisa yang bungkam seribu bahasa sedari tadi. "Jelaskan pada kami apa maksud dari semua ini Nisa, apa benar kamu membayar laki-laki ini untuk jadi suami pura-pura kamu?" Eyang melontarkan pertanyaan ke arah Nisa, suaranya dibuat serendah mungkin agar Nisa tidak takut mengatakan yang sebenarnya. "Mau pura-pura atau tidak, yang pasti Nisa dan aku sudah jadi suami istri sekarang." Bram menimpali dengan berani. "Kami punya buku nikah dan itu asli." Eyang Harun masih melotot ke arah Bram, ia kesal namun tak mengambil kesempatan itu untuk membalas ocehannya. Ya, wanita tua itu tahu semakin banyak ia menanggapi ocehan Bram maka akan semakin banyak energinya yang terkuras. "Yang dikatakan Mas Bram itu benar," ucap Nisa setelah sekian lama mengunci bibir. Ucapannya sanggup membuat perhatian seluruh keluarga teralih. "Mau seperti apa pun awal kita bertemu, kami sudah sah secara agama maupun hukum," lanjut Nisa dengan kalem. "Ini nih yang namanya wanita bodoh," ujar Melani lalu berdecap. "Daripada mencari suami pura-pura mendingan kamu nikah deh sama si Sarjono. Aku yakin hidupmu pasti jauh terjamin." Melani menarik napas panjang, ia melirik sekilas ke arah Bram yang terus memperhatikan gerak-geriknya. "Daripada sama dia, udah miskin, pengangguran lagi." "Kau menghinaku?" Bram mencuramkan alis, tidak berkenan karena diejek miskin dan pengangguran. "Di rumah ini yang miskin dan pengangguran siapa lagi?!" Melani mengalihkan perhatian, tetap bersikap tenang meskipun Bram terlihat begitu menggebu-gebu dan benci terhadap dirinya. Eyang Harun mendesah berat, ia melempar foto itu ke meja dengan kasar. Diam beberapa saat, ia kembali melayangkan perhatiannya pada Nisa. "Kau tahu Nisa, jika hal sepele ini bisa keluar dari rumah kita maka hancur sudah martabat keluarga kita di mata masyarakat. Kau tahu, Eyangmu ini mati-matian menjaga nama baik keluarga tapi kamu-nya malah seperti itu." Eyang Harun mulai ceramah. "Katakan padaku, kenapa kau melakukan hal ini Nisa?" "Hei, sudah kubilang kami ini sudah sah secara hukum. Kami ini pasangan suami istri yang diakui negara. Lagian untuk apa langsung percaya dengan foto-foto itu. Bisa saja kan itu hanya editan semata supaya Eyang percaya dan membenci kami berdua," tegur Bram tak mau kalah. Alis Eyang Harun menaut, ia mencerna ucapan Bram barusan. Keteguhan hatinya mendadak sedikit terkikis, ia melirik kembali ke arah foto-foto di meja makan. "Aku memang miskin dan pengangguran tapi aku ini tetap saja suami sah yang benar-benar dipilih oleh Nisa waktu itu. Soal foto-foto itu, diluaran sana banyak sekali juru kamera yang andal dan profesional, bisa saja kan anak Eyang yang paling cantik ini meminta jasanya untuk mengeditkan. Bukankah dia tadi sudah bilang, dia bisa menyewa mata-mata hanya untuk memata-matai Nisa. Sudah jelaskan kalo wanita ini punya dendam lebih pada Nisa." Semuanya terdiam, mencerna ucapan Bram yang terdengar masuk akal. Melihat pandangan Eyang tertuju ke arahnya, Melani membelalakkan mata dan menggeleng cepat. "Bukan, bukan. Aku tidak bermaksud seperti itu," tandas Melani. "Semua foto ini asli, bukan tipuan. Bedeb*h ini pandai sekali memutarbalikkan fakta hah?!" "Terserah," ucap Bram lalu bangkit dari duduknya. Ia menatap seluruh anggota keluarga lalu menggandeng tangan Nisa. "Apapun yang kalian pikirkan, aku tidak peduli. Aku dan Nisa sudah sah menjadi suami istri, kalian harus menerima keadaan ini dengan lapang dada," tegas Bram lantas membawa Nisa masuk menuju ke kamar. Nisa terperanjat, ia tidak bisa menolak perlakuan pria itu hingga Eyang Harun berdiri dan meneriaki mereka. "Jika kau hanya mencari suami pura-pura untuk menutupi statusmu yang hanya perawan tua, mending kau ceraikan saja dia." Eyang Harun bersuara dengan lantang. Bram menghentikan langkah, begitupun dengan Nisa. Keduanya menoleh ke arah Eyang Harun. "Ceraikan saja dia. Kau lebih baik menjadi janda daripada kau hidup dan tidak mencintainya." ______Suasana di ruangan itu terasa berat, namun seiring dengan kata-kata Nisa, beban itu perlahan menguap. Setelah beberapa saat, mereka pun pamit, meninggalkan penjara dan orang-orang yang pernah mencelakakannya.*Dalam perjalanan pulang, Nisa meminta Bram untuk berhenti sebentar di bendungan yang tak jauh dari sana. Bendungan itu memiliki tempat khusus di hatinya. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain di sini bersama teman-temannya, menikmati masa-masa yang penuh kebebasan dan tawa. Kini, setelah semua yang ia lewati, tempat ini memberinya ketenangan.Mereka duduk di tepi bendungan, melihat air yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara gemericik air yang mengalir membawa damai, seolah membersihkan sisa-sisa ketegangan yang tadi masih menggantung."Aku senang semuanya udah selesai," kata Nisa sambil menatap pemandangan di depannya.Bram tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Nisa. "Sekarang kita bisa fokus ke masa depan, tanpa ada beban."Nisa mengangguk, merasakan kedamaia
Setelah seminggu berada di Kalimantan, Nisa dan Bram bersiap kembali ke Jawa. Mereka baru saja melewati minggu pertama sebagai pengantin baru, penuh kebahagiaan dan keintiman. Namun, di balik senyum Nisa, ada perasaan tak sabar yang menggelayut di hatinya.Ia merindukan rumah, lebih tepatnya, merindukan bertemu dengan orang tuanya, ayah dan ibunya yang sudah menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain berada di dekat mereka, terutama setelah semua yang terjadi pada dirinya. Namun, perasaan lain yang tak kalah kuat adalah keinginan Nisa untuk segera bertemu dengan mereka—musuh-musuh dalam keluarganya. Eyang Harun, Ranti, Sari, dan yang paling dia ingat dengan tajam, Tante Melani.Mereka semua kini berada di penjara, setelah kasus besar yang menimpa keluarga mereka terbongkar. Nisa tak pernah membayangkan dirinya akan menghadapi mereka dalam situasi seperti ini.Dulu, ia selalu menjadi objek ejekan, terutama dari Melani yang tak henti-hentinya menghina Nis
Malu rasanya saat harus keluar dari kamar dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ya, sudah bangun kesiangan, keduanya justru membuat satu keluarga harus menunda makan pagi demi menunggu mereka keluar.Nisa menahan rasa sungkan, ia keluar setelah berhasil melepaskan diri dari Bram lewat jendela kamar. Tentu saja adegan itu direkam bersama-sama seluruh keluarga mengingat kamar pengantin terlihat jelas dari ruang makan."Kau ... baik-baik saja, Nis?" tanya Harun saat melihat Nisa keluar dari jendela dengan mengendap-endap. "Ada apa dengan pintunya? Kenapa tidak lewat pintu saja?"Nisa menoleh ke arah ruang makan, wajahnya langsung memerah padam mengingat mata seluruh keluarga tertuju ke arahnya."Ehm, anu Pak, pintunya—""Sebaiknya kau segera membersihkan diri di kamar tamu. Di sana ada kamar mandi di dalam," potong Satrio tak kalah merasa malu. Ya, sudah jelas jika Nisa berbuat demikian karena ulah anaknya."Mari kita makan terlebih dahulu, biarkan mereka mengurusi kebutuhan mereka sendiri
"Sah!" seru beberapa orang laki-laki di tempat itu dengan lantang. Seruan mereka menandakan bahwa hubungan yang saat ini terjalin sudah sah di mata hukum maupun agama.Kendati mereka sudah pernah ijab kabul, perasaan berdebar masih saja terasa di dalam dada. Saling berpandangan, Bram melempar senyum ke arah Nisa lalu mengikuti arahan sang penghulu untuk bertukar cincin bersama-sama.Setelah menyematkan cincin emas dua puluh empat karat seberat tiga gram di jari manis masing-masing, keduanya lantas berdoa untuk kesejahteraan bersama."Malam ini kau takkan bisa lolos lagi," bisik Bram setelah mereka berdoa dan berpindah tempat ke kursi pelaminan.Nisa hanya diam, pura-pura tak mendengar dengan wajah bersemu merah. Alih-alih menanggapi bisikan Bram yang terdengar mengerikan, ia sengaja mengabaikan dan justru tersenyum pada para tamu yang menyapa dirinya di depan kursi pelaminan."Selamat untuk kalian berdua ya. Semoga hubungan kalian sakinah mawadah warahmah hingga kakek-nenek," ucap seo
"Maaf, Ayah terlalu terharu." Harun melepas pelukan putrinya lalu menyeka airmata yang jatuh di pipi. Ia mencoba tersenyum lalu menyapa Bram dan juga Alex yang berdiri tak jauh dari sisi putrinya."Hai, jumpa lagi dengan kamu," sapa Harun seraya mendekat ke arah Bram lalu menepuk bahunya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis, "tak disangka kita jumpa lagi di tempat ini.""Iya Pak," angguk Bram sedikit enggan untuk berbasa-basi.Suasana sore menjelang malam itu terasa begitu syahdu. Warung gorengan yang ia buka pun lebih ramai daripada biasanya."Bu, saya beli gorengannya dong Bu. Udah habis nih di nampan," protes salah satu pelanggan pada Ratih yang sibuk menyongsong kebahagiaan di dalam keluarganya."Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar ya," ucap Ratih menyadari perbuatannya. Wanita itu tersenyum lalu menatap Harun, Nisa, Bram, dan juga Alex secara bergantian."Kalian lanjut ngobrol di teras rumah ya, Ibu mau bikin gorengan dulu buat pelanggan." Ratih berpamitan, ia tersenyum tipis lalu mene
Nisa tak menjawab, meski hatinya cukup berdesir saat Bram mengatakan demikian, ia tidak akan goyah dengan keputusan awal."Oh, ya, Pah, aku akan balik ke pulau Jawa untuk menuntaskan misi yang sudah Nisa beri. Misal nanti sudah complete dan tercapai, Papa bersedia ya menghadiri ijab kabul kami," ucap Bram mengalihkan pandangan ke arah Satrio yang masih sibuk dengan menu makan siangnya."Ijab kabul?" ulang Satrio mengerutkan kening. "Bukankah kalian ini sudah sah nikah?"Bram tersenyum, ia menoleh sekilas ke arah Nisa lalu kembali melabuhkan pandangan ke arah papanya."Nisa minta ijab kabul-nya diulang Pa. Katanya kalo aku berhasil menemukan ayahnya maka ia bersedia menjalankan tugasnya sebagai seorang istri," cerita Bram dengan riang membuat Nisa mendadak salah tingkah. "Tolong Pa, iyakan saja. Papa tahu 'kan rasanya jadi pria dewasa yang merindukan lautan asmara sekian lamanya."Satrio manggut-manggut, ia menunduk lagi sambil menikmati makanannya. "Lakukan saja, aku akan mendukungmu