✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Kapal yang dimaksud ternyata sudah tersedia di sisi pantai dan tampak siap berlayar. Meski tidak terlihat begitu megah, namun cukup luas di mataku.
"Idris, ingat dulu kita sering naik kapal ini?" tanya Khidir yang serta merta menaikinya.
Idris terkekeh. "Tentu, hanya Kyara yang tampaknya tidak ingat."
Aku tercengang. "Setua apa kapal ini?"
"Tidak terlalu tua," jawab Khidir. "Benar, 'kan, Mariam?"
"Kenapa menanyaiku? Kalian yang bermain," balas Mariam.
Ketika masuk, tidak banyak barang yang bisa dilihat di sini. Hanya beberapa tong dan alat pembersih lantai. Tidak ada kru kapal. Tempat ini begitu kosong.
Khidir melepas genggaman lalu berjalan menuju bagian depan kapal. "Ke Nedai!"
Tepat ketika dia mengucapkan, kapal seketika berlayar. Terjadi guncangan kecil dan terdengar bunyi jangkar terangkat.
Aku yang terkejut nyaris oleng kalau saja tidak dipegang Idris. Belum pernah aku naik kapal, tap
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Ketika berjalan ke kamar, aku menemukan sebuah ruangan yang menarik. Rupanya ada ruangan lain dalam kapal. Berupa tempat disebut 'planetarium' yang dipenuhi beragam tanaman indah disertai bau segar.Tanpa disadari, aku malah berjalan ria mengelilingi tempat indah ini. Tanaman anggrek merambat di atasku, bunga mawar menyapa, bahkan tanaman yang tidak kukenal tidak mau kalah dan membuatku kian betah.Semakin yakin aku kalau kapal ini memang diperuntukan bagi ketiga pelindungku dan sudah layak menjadi tempat menongkrong mereka nanti di hari tua.Aku pun kembali mencari Khidir untuk menjelaskan soal planetarium itu. Tanpa sadar, hampir menyeretnya.Kutunjuk plantetarium itu."Kamu suka?" tanya Khidir yang berdiri membelakangiku. "Jangan sentuh semuanya, ya."Aku mengangguk. "Kamu dan Idris punya hobi yang sama.""Lebih tepatnya, aku yang menyuruh Idris merawat tanaman langka agar tidak lekas punah akib
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵"Ah, sepertinya pertanyaanmu terlalu jauh," ujar Mariam."Oh, tidak, tidak," sanggah Khidir. "Biar kucoba jelaskan sesuai nalarnya.""Silakan." Mariam kembali menyantap sarapannya.Khidir menatapku. "Begini, Shan dibangun atas dasar ikatan kuat antara kami dan keluargamu dulu.""Maksudmu persahabatan?" tanyaku polos."Anggap saja begitu," jawab Khidir. "Alasan Shan akan dibangun kembali juga tidak begitu rumit dan setelahnya, kita akan hidup damai bersama selamanya.""Maksudmu kita akan membangun kembali Shan agar bisa bermain bersama lagi?" tanyaku.Tidak ada balasan darinya melainkan senyuman.Aku menggaruk rambutku yang hijau. "Terdengar seru. Baiklah."Kulihat Khidir tersenyum penuh kemenangan ke arah kedua temannya, reaksi mereka tampak antara tidak percaya dengan kebingungan.Tidak mau ambil pusing, aku kembali menyantap sarapanku.***Beberapa waktu berlalu, akhi
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Setahuku sejauh ini, Shan adalah kerajaan yang berdiri di atas awan yang mana berarti sangat aneh jika runtuh tanpa menciptakan kehebohan di muka bumi. Tapi, aku belum bertanya lokasi pasti di mana Shan itu dan bagaimana kisah keruntuhannya.Lagi-lagi, pertanyaan muncul di saat yang tidak tepat.Ketika aku mencoba mencari jawaban dengan menyusuri perpustakaan istana, malah pusing sendiri melihat deretan buku begitu banyak dan tebal melebihi apa yang biasa kubaca. Hal terakhir kubaca hanyalah beberapa lembar kertas atau sebaris dua baris kata, tidak sampai ratusan bahkan ribuan seperti ini.Bagaimana cara mencarinya?"Halo."Aku tersentak saat mendengar suara asing dari samping.Refleks menyentuh kalung, memastikan benda itu bersinar dan memancarkan kehangatan. Nyatanya, tidak terjadi perubahan.Di depanku berdiri sosok mungil tersenyum padaku. Berpenampilan androgini dengan rambut pendek, mata hita
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵"Ratu Yamlica dipersilakan duduk di sini."Seorang pelayan berusaha menahan agar suaranya tidak gemetar.Aku dan Zahra duduk di ruang khusus yang bersebelahan dengan taman istana. Ruangan ini begitu luas layaknya lapangan, seperti tamut kami saat ini.Yamlica.Itulah namanya. Badan besar hampir memenuhi ruangan. Kami ibarat kelingking baginya. Rambut hitam Yamlica sepanjang pinggang dilengkapi sepasang tanduk mirip domba dengan sepasang mata biru. Dialah ibu kandung Zahra.Yamlica membuka mulut. Suaranya mampu menggetarkan seantero istana. Disertai jeritan batinku."Hai!" sapa Yamlica dengan senyuman manis. Dengan badan sebesar itu, membuatku gentar meski dia sudah tampak berusaha ramah. "Oh, ini temanmu?""Dia putri Shan itu, Umi," jawab Zahra.Kami berdua duduk sebangku di meja sementara Yamlica duduk di depan tanpa kursi sama sekali. Bajunya yang dipenuhi warna dari hitam, kel
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Sakhor mengangkat tangan. Secercah cahaya menyilaukan menyambut. Tampak istana yang dipenuhi batu hitam laksana dalam gua.Kulihat Mariam menyerang ke arahku. Menusuknya bertubi-tubi. Barulah aku ingat, ini kabut yang menghalangi jarak antara kami, dan Mariam berusaha menghancurkannya."Dia menyerang dengan percuma," ujar Sakhor. "Padahal, dia tinggal membunuh tubuh yang ini."Aku mengepalkan tangan, berniat menghajar. Namun, percuma saja. Aku tidak punya senjata dan tenagaku lemah.Dia memakai raga orang lain. Tentu saja aku tidak tega namun di sisi lain harus memusnahkan makhluk ini.Pandangan beralih di bawah. Raja Khidir tengah menyerang itu dengan dahan berlapis-lapis. Sementara Idris menyerang dalam wujud naga. Tampak jelas, mereka mencoba menembus kabut ini."Berhenti!" seru Sakhor. "Percuma saja!"Suara Sakhor menggema hingga keluar dari kabut itu. Kutatap wajah ketiga pelindungku. Mereka t
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Sakhor berdecak. "Kau kira aku mati?""Tidak juga." Khidir membalas. "Orang sepertimu sukar mati.""Bahkan lebih sukar dibandingkan kalian dan Shan," sahut Sakhor.“Shan tidak mati,” tukas Khidir.Tunggu, benarkah?“Shan akan bangkit,” ujar Khidir. “Perlu waktu lama menunggunya kembali.”“Kita pada dasarnya sama, para Guardians dari Shan,” kata Sakhor. “Kita pembunuh haus darah, dan posisi kita juga sering bergantian.”“Kalau begitu, mengapa engkau membenci? Kalau sama, mestinya kita berteman,” sahut Khidir.Sakhor berdecak. "Cih! Mana mungkin aku bergaul dengan sosok sepertimu?"Khidir memberi isyarat kepada Idris. Sahabatnya paham lalu menghampiri Sakhor."Kamu kami beri pilihan ; berhenti menggunakan sihir hitam, atau menyerahkan diri," tawar Idris. "Kalau
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Istana itu bagai tertidur. Tiada tanda kehidupan selama beberapa saat. Aku melirik semua orang, tidak ada yang berkomentar."Ada apa?" tanyaku.Idris maju, diiringi kami semua. Ada yang tidak beres.Aku terus bertanya, tidak ada yang membalas. Terpaksa aku menutup mulut dan membuntuti hingga masuk ke istana. Hanya Ariya dan Nisma yang turut serta. Yang lain memilih menunggu seakan tahu nasib berikutnya.Aneh.Sepi.Padahal ada banyak orang yang bekerja di sana sebelumnya. Barangkali kabur setelah kedatangan kadal tadi.Terdengar dari kejauhan dentuman keras disertai pecahan kaca. Kami memelankan langkah, berusaha agar tidak terdengar.Pengawal yang seharusnya berjaga, kini lenyap entah ke mana. Suara yang kami dengar rupanya berasal dari ruang singgasana.Mariam memegang bahuku, seakan takut aku menjauh. Pandangannya lurus ke punggung Id
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Kulihat keduanya. Duduk bersama menatap langit Aibarab. Di bawah sebuah pohon rindang sambil menikmati buah-buahan.Suasana kota kembali tenang setelah Ariya mematahkan kutukannya. Ya, cara gadis itu mengatur rakyat bisa dibilang kejam. Beruntung tidak ada yang protes apalagi terluka. Untuk sementara waktu.Beberapa saat sebelumnya, aku menyimak obrolan antara Count Wynter dengan Idris."Terima kasih atas bantuannya, Kakak," kata Idris. "Aku benar-benar tidak menduganya. Engkau baik sekali.""Engkau sekarang mau menjadi adikku?" heran Count Wynter. "Aku tidak layak menjadi kerabatmu. Apalagi setelah kejadian yang kita lalui.""Aku tahu Ayah yang salah," sahut Idris. "Dan aku ingin meminta maaf.""Yang salah ayahmu, kenapa kamu yang meminta maaf?" balas Count. "Sudahlah! Urus saja asmaramu dengan wanita itu. Aku sudah duluan menikah. Kini, giliranku yang memberi hadiah pernika