✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Pada tengah malam, kami keluar dari kamar secara mengendap-endap. Beruntung aku bisa berjalan tanpa mengeluarkan banyak suara berkat lantainya yang dilapisi karpet. Kami sengaja berjalan bertelanjang kaki demi mengurangi suara.
“Dia ada di dapur,” bisik Mariam sambil meneruskan jalannya.
Aku hanya membuntuti. Meski misi ini tampak mustahil, setidaknya kami berusaha menolong penduduk kota Saghra.
Dapur letaknya cukup jauh, memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Anehnya, tidak ada Ariya atau suara mencurigakan meski kami jelas-jelas sedang menyelinap.
Kakiku kesakitan. Aku tidak terbiasa berjalan terlalu lama, dulu hanya beberapa menit sambil menemani Ibu berjualan. Tapi rasa penasaran mengalahkan sakit, aku ingin melihat cara Ariya memasak ramuan.
Kami menerobos masuk ke sebuah gudang yang terbuat dari kayu, kami akhirnya dapat mengintip di sela lubang-lubang di dinding.
Mariam yang terlebih dahulu mengintip, lalu membiarkanku mengamatinya sendiri. Aku berusaha agar tidak bernapas terlalu berat akibat perjalanan panjang tadi.
Ariya sedang menjerang air sambil menaburkan sejumlah benda mirip garam kemudian mengaduknya.
“La LA! La...! LA–la... La... 💙”
Kami dapat mendengar senandung penyihir itu. Suaranya sungguh tidak merdu, bahkan menyakitkan telinga.
Mariam menutup kedua kupingnya dengan telapak tangan sementara aku berusaha mengabaikan suara itu. Ya, Ariya memang cantik, tapi tidak dengan suaranya.
Beberapa detik yang menyiksa akhirnya berakhir. Dia berhenti bersenandung dan aku bisa mengintip lagi.
Kulihat Ariya menjauh entah untuk mencari sesuatu atau mengulur waktu. Saat semakin jauh, Mariam keluar dan berjalan ke dapur.
“Hati-hati,” bisikku sepelan mungkin.
Mariam membuang air yang baru dijarang lalu menggantinya dengan air biasa dari tas kecilnya. Tentu saja dia melakukannya dengan cepat sebelum Ariya datang.
Aku menghela napas lega.
Di belakangnya berdiri Ariya.
Mariam berniat berpaling.
Aku membuka mulut. “Ma–”
“Um, Hiwaga?” sapa Ariya. “Kamu haus? 💙”
“Ya, aku haus.” Mariam tetap tenang, meski rencananya hampir berantakan.
Ariya mengambil segelas air lalu menyerahkannya kepada Mariam.
“Kubawa ke kamar. Boleh?” tanya Mariam.
“Baiklah.” Ariya jelas heran. Mungkin ini kali pertama dia melihat orang seperti itu.
Mariam kembali masuk ke gudang tanpa ketahuan lalu menjemputku.
“Ayo,” ajaknya.
“Airnya?” Aku menatap gelas yang dipegangnya. “Kamu ‘kan, haus.”
“Kamu percaya dengannya?” sahut Mariam. Dia menarik tanganku.
Kami masuk ke kamar, aku sedikit ketakutan sehingga terus menggenggam tangan Mariam. Ariya tampak tidak peduli karena dia tidak tampak ingin mengejar kami hingga ke kamar.
Mariam langsung membuang air itu lewat jendela.
“Baunya seperti teh melati, padahal tampak seperti air biasa,” ketus Mariam. “Untung tidak kuminum.”
Aku menghela napas. “Hampir saja.”
“Kita tetap berhasil,” kata Mariam. “Mari istirahat.”
***
Keesokan paginya, Ariya kembali menatap kami dengan sorot heran. Aku tahu dia berusaha menutupinya dengan senyuman sambil menghidangkan sarapan.
Lagi-lagi, kami memilih makanan dan minuman tertentu. Jelas Ariya tampak semakin heran. Alasannya, kami tidak memilih makanan yang kami makan kemarin, ayam. Saat ayam yang sama dihidangkan, kami justru tidak memakannya. Padahal itu termasuk makanan kesukaanku.
“Aku ada kejutan untuk kalian 💙” Ariya bangkit lalu pergi.
Ariya menyerahkan dua gelas berisi air yang tampak biasa saja. Aku tahu ini minuman malam itu. Melihat Mariam menegaknya tanpa ragu, aku ikut menegaknya hingga habis.
Penyihir itu bangkit. “Berubahlah menjadi keledai!”
Tidak terjadi apa-apa.
Ariya jelas kebingungan.
Detik demi detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Kami malah menatap Ariya dengan tatapan heran, dengan meski dalam hati mengejeknya.
Menyadari kesalahan, Ariya langsung berdalih. “Kalian tidak pernah mendengar dongeng seperti itu?”
“Belum,” jawabku. “Tolong ceritakan!”
“Um, itu tentang seorang pemuda yang masuk ke area para penyihir lalu dikutuk menjadi keledai.” Ariya duduk. Dari wajahnya jelas dia gugup. Sepertinya Ariya tidak menduga kalau kutukannya gagal.
Mariam menatapnya dengan dingin. “Apa-apaan ini?”
“Aku hanya ingin mendongeng!” kilahnya. “Biasanya kuceritakan pada tamu-tamuku💙”
“Jadi ini yang kamu lakukan pada tamumu?” Mariam bangkit dari duduknya. “Mengubah mereka menjadi batu?”
Ariya mengepalkan tangan sambil menatapnya tajam.
Mariam menatapku demi menghindari sihirnya. “Ceritakan!” desaknya. “Atau aku yang mengubahmu!”
Mariam pegang sebuah gelas dengan air merah.
Ariya menatapnya tajam. “Untuk apa? Bukan urusanmu!”
Mariam mendekat sambil membawa gelas itu. “Ceritakan atau kamu yang jadi keledai!”
Ariya mundur beberapa langkah. “Aku hanya bersenang-senang, itu saja. Apa salahnya?”
Mariam berpikir sejenak.
Mariam menyiram Ariya dengan gelas itu. “Jadilah gelas!”
Aku menutup mata, membayangkan transformasi mengerikan.
Aneh.
Tidak ada suara selain benda jatuh.
Begitu kubuka mata, terlihat sebuah gelas berlapis emas dengan beragam ukiran. Ariya telah menjadi gelas.
Mariam meraih gelas itu. “Kyara, kita ambil hartanya!”
***
Kami mengambil harta yang disimpan di istana sebanyak-banyaknya. Aku yang kurang paham soal barang mewah hanya memilih beberapa uang perak dan emas sementara Mariam mengambil banyak batu mulia.
“Ambil semua, Kyara!” seru Mariam. “Kita tidak mungkin menemukan uang sebanyak ini nanti!”
Aku langsung mengambil apa yang bisa kuraih lalu memasukkannya ke tas wanita itu. Kami mengemas barangnya di tas Mariam yang terlihat menyimpan lebih banyak barang. Entah apa yang disimpan.
Begitu keluar, penuh dengan seruan suka cita. Kutukan Ariya telah patah dan rakyatnya terbebas.
“Jadilah pemimpin baru kami!”
“Kau pahlawan kami!”
“Jangan pergi!”
Mariam mengabaikan mereka sambil terus memacu kuda. Aku jelas heran dengan tingkahnya.
Kami semakin jauh dari Kota Saghra tanpa pemimpin. Aku tidak keberatan jika Mariam menjadi pemimpin barunya.
Kami semakin jauh dari Kota Saghra. Mariam masih bergeming, sementara kudanya terpaksa harus mengangkut beban tambahan. Berapa jumlah hartanya?
“Mariam,” panggilku. “Kenapa tidak tinggal di sana? Rakyatnya jelas menyukaimu.”
“Aku tidak peduli dengan mereka. Yang penting tugasku selesai,” ujar Mariam santai.
“Tapi, kamu barusan berbuat baik!” kilahku.
“Ya, dengan merampas harta orang jahat, aku tidak akan dianggap jahat oleh mereka.”
Balasannya jelas membungkam mulutku.
“Kalau begitu.” Aku mengubah topik. “Kita akan ke mana?”
“Mungkin ke Aibarab menemui Khidir. Kita akan hidup di sana. Dengan uang ini, akan kubeli rumah baru dengan sekolah yang layak untukmu.”
Aku terkejut sekaligus mendengarnya. Kukira hidupku hanya tentang perjalanan tanpa kepastian bersamanya. Apa jadinya jika Mariam meninggal di tengah jalan? Aku pasti tidak akan bertahan lama. Barangkali sudah dimangsa binatang liar.
“Terima kasih,” ucapku tulus. “Aku belum pernah sekolah sebelumnya.”
“Kamu beruntung bisa sekolah sedini ini,” sahut Mariam. “Rata-rata pendidikan di Shyr mahal. Mungkin hanya para pejabat yang bersekolah.”
Mariam terus memacu kuda. Aku duduk di belakangnya sambil memeluk pinggangnya.
Tidak dapat kubayangkan apa jadinya aku tanpa Mariam. Kalau saja aku menolaknya sejak awal, mungkin tubuhku sudah dilahap kadal raksasa itu. Kini, dia tidak hanya penyelamatku. Tetapi juga ...
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aibarab, kota kembaran Shyr. Mulai dari bahasa hingga budaya sama, namun rakyatnya kurang akur akibat rebutan kebudayaan hingga kuliner. Jarak antara keduanya hampir 200 kilometer dan bisa dibilang versi lebih modern dari negeri kelahiranku. Aku teringat saat orang-orang di Desa Anba bercerita tentang Aibarab. “Hidup di sana serba mewah dan mahal, tapi penduduknya sangat cuek dan egois. Meski, positifnya, mereka tidak mencampuri urusan orang lain, tetap saja, saking cueknya mereka bahkan hanya menyaksikan seseorang dibunuh di depan mata mereka.” Aku kebetulan ada di sana, ikut terkesiap mendengar kisahnya. “Kamu di sana saat itu?” tanyaku. “Aku yang memanggil petugas keamanan! Para rakyat hanya menonton dengan wajah takut tapi diam saja! Bayangkan, betapa kejamnya mereka. Saat petugas keamanan datang, kalian bisa tebak sendiri, pelakunya keburu kabur. Untung banyak saksi, meski mere
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Mariam datang begitu temannya itu selesai mengucapkannya. Meski Mariam hanya pergi dalam waktu beberapa jam saja, aku bersyukur kalau dia lekas kembali. “Bagaimana?” tanya temannya. “Tidak buruk,” balas Mariam. “Aku bekerja sebagai pelayan keluarga penyihir.” “Bagus! Tepat sasaran!” Wanita itu menepuk bahu Mariam. “Itu lumayan untuk dua orang seperti kalian.” “Masalahnya, dia seorang bangsawan yang kita cari, Count Wynter.” “Lalu, kenapa diterima?” tanya Temannya Mariam. “Bukannya upah dari Safar sudah cukup?” “Ini bagian dari tugasku.” Mariam menatapnya dingin. “Kamu baru saja menyebut Raja dengan nama depan seakan dekat? Sahabat karibnya saja masih memanggil dengan nama belakang.” “Dia terlalu formal,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, toh, Safar itu gaul. Tidak pandang kasta.” “Terserah.” Perdebatan mereka berakhir di situ.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Pikiranku tercampur aduk gara-gara Delisa. Memangnya benar? Apa Mariam selama ini berbahaya? Semua kebaikannya selama ini hanya demi dirinya sendiri? “Reem?” Mariam memanggilku dengan nama kedua. “Hei!” Lamunanku membuyar. Aku waktu itu tidak mendengar ucapannya, kukira dia bertanya apakah aku mulai dekat dengan para majikanku. “Tidak.” “Tidak apanya?” Mariam selesai melipat pakaian sementara aku yang membantunya justru ketinggalan. Duh, malunya! “Kalau diam terus, kapan selesainya?” Mariam terdengar kesal. “Cepat selesaikan bagianmu!” Aku bergegas merapikan baju. Meski terkesan ala kadar, setidaknya Mariam dengan sabar mengajariku cara melipatnya dengan rapi. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam bagiku untuk melipat. Terpaksa Mariam turun tangan. “Malam ini, Count akan datang,” ujar Mariam. “Jaga sikap!” “Baik.” ***
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Reem ...!” Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi! “Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku. “Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku. Buk! Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini? “Ayo, Pelayan!” seru Delina. “Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!” Aduh, dua-duanya sama saja! “Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!” Aku ikuti arah jalan mereka. Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru? “Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram. “Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.” Si Kembar saling tatap. “
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku bertemu Ariya pagi itu. “Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. “Aku Reem,” balasku. “Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” Aku hendak menolak. “Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” Apa pun? Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” *** “Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya. Aku mengangguk. “Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan. *** Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. “Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” “Pangeran
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli