Elora dan Caspian memasuki aula pertemuan. Di sana, ada puluhan orang yang menanti mereka, duduk di kursi-kursi kayu bersandaran tinggi dan saling berbicara dengan raut muka serius.
Suasana seketika hening ketika Elora dan Caspian muncul. Sekujur tubuh Elora merinding saat berpasang-pasang menatapnya dalam diam. Kilasan mimpi Elora terulang tanpa diminta dalam ingatannya. Manusia-manusia serigala yang menyerangnya, mencabiknya….
Debaran jantung Elora yang kacau langsung reda saat Caspian menggenggam tangannya, dan menuntunnya untuk duduk di kursi paling ujung. Caspian mengambil tempat di sebelahnya, menghadap ke semua yang hadir di situ.
“Bukankah kita baru saja menyelesaikan pertemuan beberapa hari yang lalu? Semua ditutup dengan baik-baik saja.” Caspian membuka percakapan dengan tenang, tetapi nampaknya semua yang ada di situ sudah tak sabar.
“Serahkan dia,” kata seseorang. Matanya membeliak pada Elora, menyimpan amarah ya
Zed membawa Elora ke kamarnya, dan menemaninya sementara Caspian bertemu dengan para Alpha.“Aku tidak menyangka masalahnya jadi sebesar ini,” kata Zed.“Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kau yang menyelamatkan aku dan Caspian? Kate bilang saat kami ditemukan, keadaan kami sangat mengerikan—” Napas Elora tercekat. Ia menekan kening dengan kedua tangan. “Apa yang sebenarnya terjadi padaku,” gumamnya sembari membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Seketika itu, menjadi dirinya terasa melelahkan.“Kalian—tergeletak penuh darah … dan, ada banyak darah di sana,” Zed berhenti untuk menarik napas, “aku dan anggota yang lain mencari kalian setelah kami menerima laporan dari salah satu anggota. Dia melihat adanya perkelahian saat berpatroli menyusuri perbatasan. Dia mengatakan dia melihat—” Zed berhenti. Elora mendongak dan pandangan mereka bertemu.Elora tahu mengapa Zed ber
“Ada apa?” Caspian terlonjak di kasurnya saat Elora menyusup masuk ke balik selimut dengan tergesa-gesa. Caspian duduk dan menyalakan lampu di meja samping tempat tidur.“El? Kau kenapa?” tanya Caspian sembari menyibak selimut.Elora meringkuk seperti gadis kecil yang ketakutan, dan tak berapa lama wajahnya berubah merah. Sebagian karena ia merasa malu menunjukkan sisi dirinya yang penakut, sebagian lagi karena ia menyaksikan Caspian yang tidak mengenakan apapun di bawah selimut.Caspian mengabaikan mata Elora yang melotot melihat bagian bawah tubuhnya. Dia beringsut mendekat dan menggamit dagu Elora agar pandangannya beralih ke wajah Caspian.“Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba masuk seperti habis melihat setan? Kau mimpi buruk lagi?”“Aa—aku,” Elora terbata-bata, “sepertinya ada yang masuk ke kamarku.”Tanpa banyak bertanya lagi, Caspian langsung bangkit dari kasur, mengenakan ce
“Aku mencintaimu.”Elora memandang tak berkedip pada layar di hadapannya. Earphone terpasang di telinga, dan semangkuk salad berada di pangkuan Elora. Barusan ia berhenti menyendokkan salad ke mulut, ketika kalimat itu terdengar dan percakapannya dengan Javier kembali terulang di dalam kepala. Elora melirik ke seberang, ke arah Caspian yang sedang sibuk mengobrol dengan pramugari. Elora tidak begitu mendengar percakapan mereka. Ia hanya menangkap kata-kata seperti ‘kopi’, ‘merokok’, dan ‘kekasihku’. Sepertinya mereka sedang membicarakan Elora.Elora kembali menonton film romantis yang tayang di layar besar di hadapannya. Tak lama berselang, seseorang melepaskan earphone dari salah satu telinga Elora, lalu wajah Caspian muncul di hadapannya, menghalangi pandangan Elora dari layar. Caspian tersenyum. Jenis senyum yang bisa membuat Elora menahan napas dan jantungnya melompat kecil.“Serius sekali,” kata Ca
Dua cangkir teh tersaji di atas meja, di hadapan Elora dan Caspian yang kini duduk di sofa kuning yang kusam. Nyaris tak ada yang berubah dari tempat ini, selain kertas pelapis dinding yang sepertinya baru saja diganti, berwarna kuning gading dengan motif bunga-bunga kecil warna-warni. Maribeth, pemilik panti asuhan ini, mempunyai selera terhadap segala sesuatu yang mengandung bunga. Elora masih ingat kamarnya di lantai atas, yang ranjangnya selalu tertutup seprai bermotif bunga begonia.Maribeth tersenyum dan memandang Elora dan Caspian bergantian. “Sudah lama sekali aku tidak bertemu denganmu. Kau bilang akan mengirim kabar setelah keluar dari sini.”Elora menunduk, mengamati blusnya yang kusut. Ia tengah mengumpulkan keberanian dan alasan, tetapi tak satupun yang muncul ke permukaan. Sedari tadi yang ada adalah rasa bersalah. Bersalah karena selama bertahun-tahun Elora menilai tempat ini tak menerimanya. Pandangannya saat masih anak-anak dan setelah dewa
“Sedang memikirkan apa?” Suara Caspian menarik Elora dari lamunan.Elora mencabut rokok dari bibirnya dan menoleh saat Caspian muncul di balkon kamar. Dia hanya mengenakan jubah mandi berwarna biru gelap, seperti langit saat ini. Elora memutuskan untuk duduk di balkon sembari merokok dan menikmati parade lampu malam hari di Auckland saat Caspian mandi. Tanpa Elora sadari, ia tenggelam dalam ingatan tentang masa lalunya.Ada begitu banyak hal yang ia sia-siakan selama ini. Mungkin saja jika ia tidak bersikap terlalu skeptis terhadap orang-orang di panti asuhan, Elora bisa menjalani kehidupan yang berbeda. Bukannya Elora menyesali pekerjaan dan keadaannya saat ini. Hanya saja, jiwa Elora pasti lebih baik jika ia menyadari kasih sayang yang diberikan orang-orang untuknya.“Buku itu,” kata Elora. Elora enggan untuk menceritakan rasa bersalahnya terhadap Maribeth kepada Caspian, tetapi Elora tak sepenuhnya berbohong saat ia mengatakan sedang m
Elora tak bisa tidur semalaman. Ia memikirkan keberadaan Caspian, yang ternyata pergi tanpa membawa ponselnya. Elora membenci dirinya sendiri karena sudah menanyakan hal bodoh pada Caspian. Elora gemetar ketakutan membayangkan Caspian tak lagi ingin bersamanya, dan meninggalkan Elora … membuatnya sendirian seperti dulu. Kesendirian menjadi hal menakutkan bagi Elora sekarang.Setelah menenggalamkan diri dalam keputusasaan, Elora menjelajah manor suite yang dua puluh kali lebih besar dari apartemennya itu sambil meminum setengah botol whisky yang ia ambil dari mini bar. Elora tak sadarkan diri setelahnya, dan itu membuatnya mampu tidur tanpa memimpikan hal-hal buruk. Sepertinya baru sejenak Elora terlelap saat ada yang mengguncang-guncang tubuhnya pelan.“El, bersiaplah. Sebentar lagi kita berangkat.” Suara Caspian berbisik lembut di telinga Elora. Elora mengerang lalu berguling, dan terlambat menyadari kalau ia tertidur di atas sofa. Nyaris saja Elora
“Rumahmu?” ulang Caspian. Dia terdengar tidak percaya. “Kau yakin?”Anehnya, Elora sangat yakin. Ingatan itu menerjangnya seperti badai yang tiba-tiba datang setelah keheningan. Bergemuruh dan memporak-porandakan pikiran Elora. Rasanya hampir mengerikan, karena Elora mengingat sebagian dari masa lalunya hanya dengan datang ke sini dan melihat rumah ini. Elora melangkah dengan ragu, menaiki satu per satu anak tangga hingga tiba di teras yang luas.“Ini rumahku … aku tinggal bersama ayah dan ibuku, serta saudara-saudaraku.” Elora mengatakan itu nyaris di luar kesadarannya. “Tidak ada anggota kawanan yang tinggal bersama kami, karena—“ Elora meletakkan tangannya ke daun pintu yang menutup. “Kami terlalu berbahaya.”Hampir tanpa dorongan, pintu itu terbuka. Hanya ada kegelapan di dalamnya yang terlihat melalui celah pintu. “Orang-orang datang dan pergi, memberi laporan keadaan anggota kaw
Elora langsung duduk tegak di pangkuan Caspian.“Kau bilang apa?” desisnya.Caspian menyemburkan tawa singkat lalu tersenyum. Senyum manis yang meluluhkan hati Elora dalam sekejap. Caspian tak menjawab, tangannya sibuk merogoh ke dalam saku celana jins. Elora bergeser sedikit agar Caspian bisa melakukannya dengan lebih mudah.Caspian menyodorkan tangan yang tergenggam, lalu menengadahkannya dan membuka telapak tangannya tepat di hadapan Elora. Dari dalam genggamannya tampak sebuah cincin berlian.“Aku membelinya semalam.”Elora berjengit. “Kau tidak membelinya setelah mabuk-mabukan di bar kan?”“Aku bukan kau.” Caspian berseloroh.“Memangnya aku kenapa?” Elora melipat kedua tangan di depan dada sambil mendengus.“Menghabiskan setengah botol whisky dan memakai pakaian kekasihmu.”“Sudah kubilang itu bukan—“Kata-kata Elora ter