“Ada apa?” Elora berusaha tidak kelihatan gembira mendapati Caspian berdiri di ambang pintu kamarnya.
Caspian masih mengenakan pakaian yang sama, hanya saja Elora baru menyadari perbedaan pada wajah Caspian. Elora tahu ada yang berbeda pada Caspian sejak mereka berangkat ke sini, tapi baru sekarang Elora memahami di mana letak perbedaan itu. Lingkaran hitam di bawah mata Caspian tercetak dengan jelas, raut mukanya terlihat lelah dan tulang pipinya sedikit lebih menonjol.
Apakah tenaga Caspian terkuras karena harus mengurus Elora?
“Kau sudah mengambil keputusan?” tanya Caspian. Satu bahunya bersandar di kusen pintu, kedua tangan dilipat di depan dada.
“Belum,” jawab Elora. Ia kembali mengerling ke arah buku.
Caspian mengikuti arah pandangan Elora. “Masih belum membacanya?”
Elora menelan ludah. “Aku ….” Ia tak sanggup melanjutkan. Mengatakan kalau Elora takut pada sebuah buku,
“Saat itu aku sedang merintis karir di Dreamcatcher. Persaingan sangat ketat untuk mendapatkan proyek iklan yang bagus.”Elora memulai ceritanya setelah mereka menemukan tempat yang nyaman di tepi teluk Milford Sound. Langit sangat cerah siang ini, warna birunya begitu bersih tanpa sapuan awan. Caspian mengajak Elora keluar dari rumah Arapeta. Dia mengatakan soal memanfaatkan waktu dengan baik selama berada di Milford Sound.“Sudah datang ke sini tetapi tidak menikmati alamnya adalah kesalahan terbesar seumur hidup,” ucap Caspian. Elora mau tak mau menyetujui pernyataan itu.Caspian memilih sepetak tanah kosong di tepi teluk yang dinaungi pepohonan, berada di garis perbatasan antara hutan dengan pantai. Tempat yang ideal untuk berbicara soal rahasia, karena tidak terlalu banyak orang yang lalu-lalang.Dari sini Elora bisa melihat rombongan turis yang sedang mengantre naik ke kapal wisata, yang akan membawa mereka menelusuri tepi te
Elora hanya punya waktu satu minggu sebelum mereka kembali ke Gibbston. Caspian akan menjadi tuan rumah dalam pertemuan tahunan para manusia serigala, sehingga dia harus pulang setidaknya sehari sebelum acara. Caspian menawarkan untuk kembali ke sini setelah acara selesai, tetapi Elora tidak mau merepotkannya lebih jauh lagi.“Kau harus di sini setidaknya selama satu tahun,” kata Arapeta, ketika Caspian dan Elora menyampaikan rencana mereka. Arapeta tengah memberi makan hewan ternak di samping rumah ketika Caspian dan Elora mendatanginya. Bau kotoran ayam, humus, dan rumput segar menjadi satu, menyerang hidung Elora dengan tiba-tiba begitu ia sampai.“Hanya ada satu minggu. Elora juga tidak mungkin selama itu di sini, dia harus bekerja,” tawar Caspian.Arapeta melirik kepada mereka tanpa sebersit emosi tersirat di wajahnya. “Kau memintaku membantunya dalam waktu satu minggu?”“Hanya agar Elora bisa mengendalikan p
Sesuatu yang tak nampak. Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hal yang paling penting dalam jiwa, yang mampu mengendalikan amarah dan gejolak kekuatan. Rasa. Rasa untuk orang-orang yang paling penting dalam hidup. Rasa yang membuncah, mengalir, menenangkan pikiran, hati, raga. Rasa yang hanya dimiliki oleh segelintir yang beruntung….“Ini lebih seperti teka-teki ketimbang petunjuk,” ucap Elora seraya menghela napas.“Teka-teki juga bagian dari petunjuk,” sahut Caspian.Elora mendorong buku ke sisi meja di hadapan Caspian, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.“Aku lelah,” gumam Elora. “Memang benar kata Arapeta... Seminggu itu mustahil.”Caspian yang duduk di sebelah Elora, menghadap ke Elora sembari menyangga kepala dengan tangan.“Kau yang ada bersamaku dalam jarak sedekat ini juga terdengar mustahil beberapa waktu yang lalu. Pada awal-awal pertemuan kita.&rdquo
“Kau yakin?”Entah sudah keberapa kalinya Caspian menanyakan hal itu. Elora tak lagi mengangguk, ia hanya melenguh malas.“Kukira kau pernah bilang tak ada perasaan apapun pada Javier,” kata Caspian lagi.“Javier orang yang penting untukku. Cinta yang dimaksud bukan melulu cinta untuk kekasih kan? Cinta untuk keluarga, sahabat, apapun itu.”“Ya, aku tahu. Tapi—”“Apa kalian memanggilku hanya untuk menyaksikan perdebatan tak penting ini?” potong Hunapo.Sudah sekitar lima menit mereka bertiga berdiri di halaman belakang rumah Arapeta. Secara teknis namanya halaman belakang, tetapi sebenarnya ini adalah bagian dari hutan yang membentang hingga berkilo-kilometer jauhnya.“Tidak,” jawab Elora cepat. “Seperti yang aku katakan tadi, kurasa aku sudah menemukan hal yang bisa membantuku mengendalikan perubahan.”“Ya. Cinta. Kau sudah mengatak
Cuaca di Milford Sound konon tak pernah bisa ditebak. Siang hari matahari begitu terik, setengah jam kemudian badai datang tanpa aba-aba. Atau bisa saja malam yang penuh bintang berubah menjadi hujan tak berkesudahan.Pagi ini rintik air menyambut Elora begitu ia keluar dari rumah Arapeta. Ia hanya mengenakan jaket tipis sebagai pelindung dari serangan hujan yang semakin deras. Hunapo meminta Elora untuk berlari menyusuri hutan, seolah terjangan angin dingin yang menggigit saat ini tak berarti apapun untuknya.“Kendalikan emosimu! Kau harus bisa tenang dalam situasi apapun!” teriak Hunapo, layaknya seorang komandan yang membekali pasukannya dengan kata-kata mutiara sebelum terjun ke medan perang.Elora tak melihat Caspian dimanapun saat ia keluar tadi. Ia mengira Caspian akan menantinya di lorong di depan kamar Elora, bersandar di dinding yang catnya sudah terkelupas. Atau Elora pikir Caspian akan mengetuk pintu kamarnya pagi-pagi buta untuk membangu
Tiga hari berikutnya berlalu dengan penuh perjuangan. Elora masih kesulitan mengontrol tenaganya, sampai mengorbankan berbatang-batang pohon di halaman belakang rumah Arapeta.“Sekali lagi kau merusak pohonku, aku akan menahanmu di sini sampai pohon-pohon pengganti tumbuh sebesar pohon-pohon yang telah kau hancurkan,” ancam Arapeta suatu kali, ketika ikut menonton latihan Elora. Ancaman itu sukses membuat Elora mengendalikan kekuatannya. Ia tak bisa membayangkan hidup lama di tempat terpencil tanpa listrik dan peradaban modern ini.Hingga tibalah hari terakhir Elora di Milford Sound. Hunapo membebaskan Elora dari pelatihan dan mengizinkannya untuk menikmati alam Milford Sound sebagai seorang turis. “Nikmatilah selagi kau ada di sini.”Sepertinya Caspian sudah tahu terlebih dulu soal hari bebas Elora, karena dia telah merencanakan sesuatu.“Ayo cepat,” Caspian setengah menyeret Elora menuju dermaga, di mana jajaran kapal
Meninggalkan Milford Sound yang bagaikan alam mimpi dan kembali ke Queenstown, membuat kenyataan menghantam Elora sekali lagi. Ia masih terhanyut pada momen kebersamaan dengan Caspian, sehingga ketika Brittany menyambut kedatangan Caspian di pintu masuk kastil, Elora merasa bagai ditonjok di perut.Caspian langsung melompat turun setelah memarkirkan mobil. Brittany berjalan cepat menghampirinya, menghambur dalam pelukan Caspian dan membisikkan sesuatu di telinga sembari melingkarkan kedua tangan di leher Caspian.Dari tempat Elora berdiri, ia bisa melihat punggung Caspian yang bergetar pelan karena tawa. Keduanya berjalan beriringan, masuk ke kastil, meninggalkan Elora yang tampak bodoh dengan satu tas berisi pakaian dan wajah yang suram bagai awan mendung.Elora melemparkan tasnya ke kaki ranjang begitu ia tiba di kamar. Ia membuka laci nakas dengan kasar dan menyambar ponsel di dalamnya. Elora menghempaskan tubuh ke atas kasur, rasanya nyaman. Kasur di rumah A
Zed berjalan di samping Elora, melalui rute yang biasa mereka lewati menuju ke tempat latihan.Sudah beberapa hari sejak kepulangan Elora dari Milford Sound. Selama itu, ajaibnya, Elora bisa melewati malam-malam penuh sinar rembulan dengan tenang. Kemajuan yang sangat pesat, namun jauh di dasar hatinya Elora tahu ini tak akan permanen. Karena Elora belum benar-benar bIsa mengontrol perubahan dan kekuatannya.Elora kemudian teringat kata-kata Arapeta saat ia berpamitan pulang.“Apa yang sudah kau capai selama seminggu ini tidak lain adalah sebuah keberuntungan. Kau tetap harus berlatih, lebih keras dari yang lalu, atau kau akan kembali lagi ke titik yang sama.”Elora merenungkan perkataan itu sepanjang jalan, sampai Zed mengajaknya bicara.“Jadi, Milford Sound. Bagaimana di sana? Kau pasti agak terkejut dengan Arapeta.”“Kakek yang luar biasa nyentrik,” timpal Elora. “Hidup tanpa listrik—”