Satu kali, dua kali, mungkin aku merasakan khilaf yang harus semua orang sebut itu hal wajar. Ya, tentu saja aku ingin dipahami balik. Bukankah hal semacam lupa-melupa terjadi karena runtunan ingatan dalam benak kita terlalu banyak? Oleh sebab itu, saking bertumpuknya apa yang sedang kita pikirkan, membuat hal-hal yang semula tersemat terjuntai begitu saja.Ini masih tentang lupanya aku untuk bertukar informasi pada kekasihku di seberang. Ini masih tentang kami, yang mungkin sebagian orang bisa menyebutnya hal lumrah. Namun aku, tidak ingin hal lumrah itu kembali berlanjut yang bisa memicu perseteruan di antara kami muncul. Tenang, aku tidak lupa bagaimana kesepakatan kami di awal. Untuk menjaga hubungan, memang keduanya harus saling berkorban. Hingga, mau sesibuk apapun yang ku-lalui, alur komunikasi dengan Orick tidak boleh lepas.Kemarin, hal pertama ketika aku bangun tidur, yang ku-ingat adalah mengirim pesan singkat barang hanya mengucapkan selamat pagi dan menyemangatinya. Setela
Hari terakhir di masa kerja nyata ini, kami sepakat mengadakan acara puncak sekaligus hiburan untuk para warga sekitar. Dengan jaringan dana dan kompensasi dari Sadan Si manusia royal yang sudah ku-peringatkan bahwa dana ini tidak boleh dicampur adukan oleh pribadi, tapi dia tetap mengotot.Riasan panggung yang telah kami laksanakan dengan tim lain, membuat tenagaku nyaris tumbang sebab seharian tanpa makan dan minum kami disibukan ini dan itu. Dari pagi hingga malam, sampai untuk bernapas saja rasanya aku sulit. Untung-untungan aku meminta 5 menit diberi izin. Dan bukan apa-apa, selama 5 menit itu ku-manfaatkan untuk membombardir ruang pesan Orick.Berlanjut keesokan harinya, aku merasa tubuhku berada di daya baterai 50%. Sedari pagi sudah kusumpel bubur dan vitamin, namun panas matahari hingga sore mendatang tetap saja membuat disko kepala. Bahkan ketika acara pembuka diselenggarakan setelah isya yang berarti masih ku-punya luangnya waktu untuk istirahat, aku masih merasa kurang."Ri
Girl your heart, girl your face is so, different from them others,I'll say, you're the only one that I'll adore,Cause every time you're by my side,My blood rushes from my veins,And my geeky face, blushed so silly...Dentingan musik dari radio yang sengaja kuhidupkan demi menghapus sunyi di antara jalanan sore Jakarta yang padat. Pemilik suara dari Petra Sihombing membuatku terombang-ambing dengan tenangnya. Bersama dua netra yang selaras fokus pada langit di depan, pangkal-pangkal mulutku terangkat simpul. Sebentar lagi, setelah 2 bulan lamanya aku tak membaui aroma jalan yang berkabut ini.Sengaja tak ku-balas beberapa pesannya sejak pagi. Aku sengaja memupuk amarah pria itu, bagus-bagus jika meledak dan berakhir aku ledek balik sembari tertawa. Semua naskah dan skenario yang telah kurangkai sekaligus prediksi begitu mulus. Lagu mine ini, lagu yang seharusnya tak ku-putar karena berujung gregetan sendiri.Butuh sekitar 20 menit dari rumahku untuk menuju rumah pemuda itu. Melewati
"Pulang kkn kok cemberut sih kak. Kenapa? Tugasnya susah?" Ibu bertanya yang membuatku tersadarkan dari lamunan. Dengan mulut masih menguyah lauk, tak urung tangan mengaduk-ngaduk nasi sedari 5 menit yang lalu, aku menggeleng dengan senyum tipis."Bukan karena kkn Bu, Si kakak ribut lagi ini sama Kak Orick." mulutku yang semula tersenyum berubah menjadi garis tajam yang menukik ke atas. Leherku refleks berputar ke arah Erin. Dan tidak takutnya, adikku itu justru mengangkat dua alisnya seolah berkata--emang gue salah?"Ribut kenapa lagi kak?""Nggak, dia sok tahu." Aku kekeuh menggeleng dengan tampang datar. Kembali menyuap makan tapi mataku mengintai Erin agar tidak macam-macam."Aku tahu lah, orang Kak Orick sendiri yang ngechat nanyain keadaan kakak. Aku jawab aja lagi uring-uringan di kamar."MasyaAllah...Berubah lagi senyumku menjadi lebih manis, lebih lebar, dan lebih terpaksa. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi kelakuan Erin. Jika hubungan ini tak ku-perbaiki dan tak
Tapi detik itu, saat aku mencoba untuk membenarkan posisi napas, tawa Orick malah membuncah dengan suara menyebalkan. Akhirnya, aku menelan bulat-bulat kesabaranku."Ngapain ketawa? Ada yang lucu?" dua mataku meruncing dengan sendirinya."Kamu.""Aku nggak ngelucu." Aku masih menjaga gestur tubuhku. Tegap dengan dua tangan terlipat di dada. Menunggu dia menyelesaikan tawanya, dan saat tangannya tergerakan ke atas kepalaku, lebih dulu ku-tepis sebelum rambutku diacak-acak."Kamu kalau lagi marah-marah lucu banget sih Nar." ada ya orang yang senang dimarahi. Lucu darimananya coba? Padahal wajahku sudah mirip singa begini.Dan isengnya Orick, dia kerap kali menertawakanku jika sedang marah-marah begini. Tidak seperti orang-orang yang jika marah itu dipeluk, dicium, boro-boro pret. Dia justru mengejekku dengan sifat watadosnya. Contohnya kala ini, dia berhasil menggoyang-goyangkan pipiku."Ya aku datang kesini tuh ingin menegaskan kalau aku dan Clara itu cuman temen. Dia ke rumahku tuh kar
Aku melihat bagaimana rembulan bersinar disaat langit menggumpal hitam. Seandainya ku-umpamakan adalah malam, Orick bukanlah bintang ataupun hamparan gelap itu.Jika aku pagi, maka dia adalah senja. Jika aku dingin, maka dia adalah panas. Jika aku angin, maka dia adalah cahaya. Jika aku musim, maka dia adalah waktu. Yakni jika aku malam, dia adalah siang. Kami tidak berjalan dalam detik yang serupa. Namun kami berjalan dalam arah yang saling berhubungan. Jika tanpa malam siang takkan hadir, begitu pula sebaliknya. Jika bukan aku yang bersamanya, maka aku tidak akan berdiri di tanah ini. Tidak akan ada skenario yang bahagia layaknya kehidupan yang abadi.Kalau bukan dia, mungkin aku takkan memiliki alasan untuk bertahan. Kalau bukan dia, mungkin takkan ku-lakukan sekelumit naskah memilukan ini. Kalau bukan Orick, mungkin tak kubangun afirmasi serta afeksi yang saling menyokong untuk aku hidup. Apa yang salah dari mencintai terlalu dalam? Siapa yang merasakan ini? Hanya aku, bukan orang
"Nanti, kalau kamu ambil S2 bakal sekalian kerja dulu nggak? Apa mau fokus lagi kelulusan?" topik berubah. Dia bertanya hal lain dengan sebelah tangan melilit di ujung rambutku.Atmosfer semakin hening. Jeda kendaraan semakin malam semakin lengang. Angin yang berhembus semakin dingin selayaknya arah jarum jam berlalu. Aku tidak tahu pasnya pukul berapa, tapi yakin ini sudah lewat tengah malam. Dalam keheningan ini, aku tersenyum tipis memandang langit tanpa bintang jauh di seberang."Opsi pertama sepertinya.""Wah keren, nanti aku kerja kamupun begitu. Kita nabung sama-sama ya buat biaya nikah?""Heh!" Aku refleks menyentil mulutnya. "Makin malem makin sompral itu mul---awh!" sialannya, dia membalas dengan menarik ujung rambutku."Kamu nggak mau nikah sama aku? Cukup tahu aja sih." suaranya yang berubah menjadi datar. Ceritanya merajuk, namun tangannya tetap gatal memainkan rambutku. Dasar bocah."Kamu sadar nggak kamu bilang apa?" ujarku sedikit bersungut. Sebal dengan dia yang mudah
Dahulu, sebelum aku memutuskan untuk membuka jati diriku, aku pernah rasakan sepinya dunia dan lelahnya menelan segala kerapuhan sendiri. Padahal ku-tahu jika manusia diciptakan menjadi makhluk yang tak sempurna agar terlaksananya kerja-sama dan saling bergandengan. Manusia mana yang bisa hidup sendiri? Hanya pikiranku kala itu yang bisa berdiri sejauh itu.Aku yang selalu memberi tekanan tersendiri untuk berdiri dengan kedua kakiku alih-alih menopang pada yang lain. Aku yang selalu menerapkan sistem, bahwa telinga membuka lebih baik ketimbang mulut bergerak. Aku yang selalu memantapkan diri untuk berlaku sempurna di hadapan banyak orang, tanpa kekurangan yang bisa keluar dari celahku. Aku yang selalu memperingati diri agar tidak berlaku lemah di hadapan yang lain. Hanya aku dan malam yang tahu bagaimana rumitnya menjalani kehidupan dengan bermacam-macam topeng.Baik-baik saja? Oh ya, tentu. Aku selalu mengumumkan pada semua orang bahwa hidupku baik-baik saja. Maka tidak aneh ketika b