"What's? Pemotretan?" Mata Zea membola ketika membaca surat kontrak di tangannya. "Iya, Nona. Anda juga akan menjadi bintang iklan produk baru Leigh Group bersama tuan Morgan," ujar Lewi, asisten sekaligus manager Zevanya. Zea menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kali ini dia benar-benar sudah pasrah, bagaimana bisa dia menjadi model iklan serta beberapa majalah lainnya. Sementara dia basicnya seorang dokter yang sudah biasa berkutat dengan alat-alat medis. "Kenapa Anda terlihat kaget, Nona? Bukankah Anda yang menandatangani surat kontrak ini?" Lewi menatap Zea curiga. Ada yang aneh dari nona muda-nya itu. Sikap Zea juga sedikit berubah, biasanya wanita itu akan semena-mena menyuruhnya. "Bukan, aku tidak terkejut, tapi..." Zea menggantung ucapannya. Sekilas wanita cantik itu terbayang pada senyuman sang ayah yang masih melekat di hatinya. "Tapi apa, Nona?" tanya Lewi seperti tak sabar mendengar kelanjutan dari ucapan Zea. "Tidak, Kak. Tidak apa-apa," kilah Zea sambil meng
Sudut bibir Zayyan tertarik ketika mendengar nama istrinya disebut. "Apa itu artinya istri palsuku akan membintangi iklan produk kita kali ini?" tanya Zayyan. "Benar, Tuan. Saat ini nona Zea sedang menuju perjalanan menuju ke sini," jawab Leo. "Apakah Anda ingin membatalkan kontrak kerjasama dengannya?" tanya Leo mengintip wajah Zayyan yang tampak sedikit berbeda. Zayyan terdiam sejenak. Lalu lelaki itu menatap Leo. "Jelas tidak, Leo. Aku ingin lihat, bagaimana dia memerankan perannya sebagai Zevanya. Apakah dia bisa atau malah menunjukkan diri bahwa dia tak memiliki kemampuan untuk menjadi dua orang," jawab Zayyan tersenyum licik. Saatnya dia melihat seperti apa wanita yang menyamar menjadi istrinya itu. "Baik, Tuan," sahut Leo membungkuk hormat. "Lalu bagaimana dengan wanita itu?" "Saya sudah mengirimkan kontrak kerjasama ke perusahaan tuan Marvin, Tuan," jelas Leo. "Bagus. Terus pantau pergerakan mereka. Aku yakin, wanita jalang itu akan kembali nanti jika uangnya su
Zea menunduk dengan wajah yang sudah merah seperti tomat. Dia bingung harus jawab apa dan kadang juga merutuki kebodohannya yang ceroboh. "Sudahlah, jangan dibahas," sarkas Zayyan. Lewi mengangguk. Walaupun dalam hati dia merasa ada yang tidak beres dengan nona muda-nya itu. Sementara Zea menghela napas lega, untung saja dirinya tidak ditanya yang aneh-aneh. "Silakan tandatangani, Nona!" Zea mengambil pulpen di tangan Leo lalu menandatangani surat kontrak kerjasama itu. Tanpa dia sadari, bahwa itu adalah awal Zayyan mengikat dirinya untuk tetap selalu berada di samping lelaki tampan itu. "Selama lima tahun ke depan Anda tidak boleh bekerjasama dengan agency mana pun!" ucap Leon sekali lagi mengingatkan. "Baik, Tuan," jawab Lewi mewakili. "Kalau begitu kami permisi, Tuan!" pamit Lewi membungkuk hormat. Seperti orang bodoh, Zea mengikuti apa yang managernya lakukan. "Kau..." Zayyan menunjuk ke arah Zea. "Iya, Kak?" "Temani aku makan siang!" pinta Zayyan. Lewi terkesiap
Seorang pria paruh baya tengah menatap kosong ke arah jendela ruangannya yang transparan. Dia menatap kekosongan di antara terik matahari yang terasa mencengkram. "Selamat siang, Tuan," sapa seorang pria muda memakai jas rapi seraya membungkuk hormat padanya. "Bagaimana?" tanyanya tanpa melihat sang asisten. "Peluncuran senjata baru kita sudah mendapat izin, Tuan. Ada beberapa negara yang nanti akan ikut hadir dalam acara itu," jelas sang asisten. "Baik, atur semuanya. Pastikan izin negara bersifat valid, aku tidak mau ada permainan lagi!" titahnya. "Baik, Tuan," sahut sang asisten. "Bagaimana dengan putraku? Cucuku?" tanyanya. Walaupun sudah belasan tahun hubungannya dengan sang anak tunggal tidak baik, tetapi pria paruh baya itu selalu memantau dan mengawasi pergerakan anaknya. "Tuan muda baik-baik saja, Tuan. Hubungan tuan muda dengan nona Zevanya juga semakin hari semakin membaik," jelas pria berpakaian rapi itu. Sejenak pria berusia itu terdiam. Sebenarnya dia mera
"Sini, Kak. Biar aku ambilkan!" Zea mengambil piring dari tangan Zayyan. Semua yang di meja makan memperhatikan sikap aneh Zea. Tak pernah sebelumnya Zevanya bersikap semanis itu pada suaminya. Lagian percuma karena Zayyan pasti akan menolak dan tidak suka dengan sikap istrinya itu. "Kakak mau yang mana?" "Yang mana saja boleh," jawab Zayyan sambil tersenyum. Zavier mengangga melihat sang kakak yang tersenyum manis seperti itu. Ini benar-benar ada yang aneh, biasanya Zayyan tak mau sama sekali melihat istrinya sebagai seorang wanita yang layak dicintai, tetapi kali ini dia seperti sedang jatuh cinta. "Mommy, Ar juga," pinta Ar. "Sebentar ya, Son." Zea tersenyum sambil mengambilkan makanan untuk putranya. Sementara Grace dan Ruth tidak mau ikut makan. Kedua wanita itu kesal melihat Zea yang tampak disukai oleh Zayyan. "Ar mau disuapin Mommy atau makan sendiri?" "Disuapin Mommy!" seru Ar cepat dengan wajah sumringah dan bahagia. Zea terkekeh pelan. Lalu dia menyuapi k
Zea memukul dada Zayyan agar melepaskan ciuman mereka. Sontak ciuman Zayyan terlepas. Sementara Zea menghirup udara sebanyak mungkin. Lelaki ini benar-benar ingin membunuhnya. Apalagi ini pertama kalinya Zea berciuman karena sebelumnya dia belum pernah bersentuhan dengan lelaki manapun. "Kakak benar-benar ingin membunuhku!" protes Zea mengusap dadanya. Zayyan masih menghimpit tubuh gadis itu. Dia mengusap bibir basah Zea akibat ulahnya. Sudut bibirnya tertarik melihat wajah merah gadis ini. Rasanya dia ingin tertawa karena telah mencium gadis sepolos Zea. "Kenapa? Bukankah kau selalu ingin bersentuhan dengan bibir mansiku ini?" goda Zayyan. Zea mendelik. Orang ini memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Jelas-jelas Zea tak menyukai kakak iparnya itu, jangankan ingin bersentuhan dengan bibir Zayyan. Melihat pria itu saja dia malas, jika bukan karena sang ayah. "Kakak mengambil ciuman pertamaku!" ujar Zea tanpa sadar bahwa kini dia sedang menyamar menjadi orang lain. Zayyan t
Zea berjalan dengan mengendap-endap keluar dari pagar mansion mewah itu. "Hufh, untung saja para pengawal tidak melihatku," gumam Zea bernapas lega. Gadis itu sudah memesan taksi sebelum keluar dari rumah mewah itu. Entah ke mana dia akan pergi? Wajahnya tampak gelisah tak menentu. Zea masuk ke dalam mobil. Dia mengelus dada lega karena tak ada yang melihatnya. Jangan heran jika dia ahli dalam hal bersembunyi dan main kabur-kaburan seperti itu karena memang sejak sekolah menengah atas dirinya pernah ikut karate. Walaupun Zea wanita lemah lembut, tetapi dia memiliki sisi bar-bar seperti wanita pada umumnya. "Aku harus bertemu Kak Zeva," gumam Zea menghela napas panjang. "Kak Zeva harus bertanggungjawab, aku tidak mau terkurung dan terikat dalam rumah neraka itu." Zea menatap kosong ke arah jendela kaca mobil. Tanpa sadar air mata gadis itu menetes membahasi pipi cantiknya. Seketika dadanya terasa sesak yang menyekat. Dia mencoba menikmati perannya sebagai Zevanya, tetapi tetap
"Tidak semudah itu, Sean!" balas Zevanya dengan senyuman mengejek ke arah lelaki yang ada di depannya itu. "Kenapa tidak mudah?" Sean membalas dengan senyuman ejekan. "Kau lupa? Jika kau membongkar identitas Zea, maka dia yang akan jadi korban. Sementara aku akan bebas karena aku mengenal suamiku, dia tidak akan melepaskan orang yang sudah bermain mempermainkan dirinya!" tekan Zevanya. "Sudah, sudah!" Miko melerai kedua orang itu. "Zeva, katakan apa maksud dan tujuanmu meminta adikmu datang ke sini?" Miko menatap ke arah anak sulungnya. "Apa Ayah tidak dengar? Tadi aku memerintahkan agar Zea mengambil rahasia perusahaan Zayyan," sahut Zevanya. Zea menggeleng tidak mau. Dia tidak akan pernah mengkhianati Zayyan, apalagi selama ini kakak iparnya itu sudah baik padanya. "Aku tidak akan pernah melakukannya, Kak," tegas Zea. "Kenapa? Apa kau mulai jatuh cinta pada pria yang tak memiliki perasaan itu?" * * * "Kenapa dengan wajahmu?" Samuel duduk di samping Zayyan. "Berikan