Bu Farida menghapus air matanya yang akhirnya turun dengan deras. Ia begitu kecewa dengan Farah menantunya. Wanita yang selalu ia banggakan di depan teman-teman arisannya, atau teman kampusnya dulu, kini justru membuat ia sangat malu dengan teman-temannya. Mencoreng nama baiknya dengan telak, apalagi kondisi Farah yang belum sepuluh hari menjadi istri dari anaknya.
"Hiks." Bu Farida kembali menghapus air matanya, lalu membuka video yang dikirimkan dari nomor Emir. Sudah dari tadi sebenarnya ia memencet tombol terima, namun proses loading tak kunjung selesai, membuat dirinya malas untuk menuntaskannya. Ia juga lupa menanyakan pada Emir, video apa yang dikirimkan anaknya itu."Apa ini?" keningnya berkerut, saat melihat tak ada keanehan dalam video CCTV yang dikirimkan Emir padanya."Ada-ada saja si Emir," gumam Bu Farida sambil menggelengkan kepala. "Ish, jadi kangen Amira," gumamnya lagi sambil memandangi Amira yang nampak tak sabar&n"Aku cinta kamu, sungguh!""Ish, udah dibilang jangan ngaco! Udah, pake baju sana, Mas. Ada-ada saja! Jangan keseringan meluk, nanti gak bisa lepas!" Ami mendorong tubuh Emir dengan keras, lalu meninggalkan Emir yang tergugu di depan kamar."Selama aku hidup, hampir semua cewek berada yang mendekatiku pertama kali, bahkan sejak SD. Lah, udah tua begini, ditolak dua wanita sederrhana, bahkan ditolak berkali-kali, ck ... jika saat itu dengan Mbak Parni aku gagal, karena ada Ali. Kalau dengan Ami, aku harus berhasil. Lalu Farah? Selesai sampai di sini!" Emir bergumam panjang. Dengan langkah penuh semangat, ia kembali masuk ke dalam kamar sambil memakai baju yang baru ia ambil dalam lemari.*****"Bo***h kamu Eko! Kenapa Emir bisa sampai tahu?" umpat Farah kesal di telepon."Ada CCTV dari dalam dan luar rumah, saya gak tahu Mbak. Mbak juga gak bilangin.""Sial! Gue juga gak tahu ada CCTV di rumah ibunya Emir."
Emir kembali ke ruangan sang mama yang nampak sudah rapi, bersiap untuk pulang."Kenapa, Mir?""Saya pulang sebentar ya, Ma.""Loh, kenapa gak bareng aja?""Mmm ... Maaf, Ma. Di rumah Mama ada Farah.""Hah? Sejak kapan? Amira bagaimana?""Mereka ... I-itu, Ma.""Mereka kenapa?" tiba-tiba saja dada Bu Farida bergemuruh."Diusir Farah, Ma.""Allahu akbar, istri kamu emang benar-benar bikin gemas, Mir. Cepat susulin Amira! Cepat! Bawa kemari!""I-Iya, Ma." Dalam sekejap, Emir sudah berbalik badan meninggalkan kamar perawatan sang mama.****Prraaang"Heh!" Farah menoleh ke arah dapur, suara benda jatuh membuatnya sedikit kaget. Barangkali kucing.Farah melanjutkan memainkan ponselnya.Prraang"Ish, kucing nih." Farah bangun dari duduknya, berjalan ke arah dapur dengan lem
"Hiks ... Hiks ... Hiks ....""Mas, sudah dong nangisnya. Saya dan Amira sudah di sini. Kenapa masih nangis terus?" Ami membujuk Emir yang masih saja tersedu sambil memegang stir mobil."Saya takut kalian tidak saya temukan. Hiks ... Saya ke kontrakan hiks, gak ada siapapun di sana. Tak ada tetangga yang lain, rumah yang kamu tempati juga masih berantakan sisa banjir. Saya semakin kalut, tidak tahu harus mencari kalian di mana. Ya Allah, dada saya sakit rasanya."PukPukEmir menepuk kuat dadanya, membuat Ami menahan tangan Emir. Membawa jemari Emir ke pipinya, mendekap tangan yang selama ini sudah banyak memberikan hidup padanya. Aminarsih pun menangis, air mata haru turun dengan deras, hingga tangan Emir basah. Lelaki itu diam saja dengan apa yang Ami lakukan.Cup"Saya sudah di sini, Mas. Hiks ...."Emir membawa Aminarsih ke dalam pelukannya, berkali-kali mencium keningnya
FarahHallo, apa apa?Buka pintunya, Mas. Aku tahu kamu di dalam bersama tukang peyek itu.Aku tidak di apartemen.Bohong kamu, Mas!Ya sudah kalau tidak percaya, gedor aja terus sampai pagi. Paling kamu diusir security.TuutTuutEmir meletakkan ponselnya kembali di atas nakas. Ssbelumnya, ia sudah mematikannya terlebih dahulu, agar Farah tidak terus-terusan meneleponnya. Suara ketukan pintu yang tadi begitu heboh, sekarang tak terdengar lagi. Emir mengulum senyum, lalu kembali melanjutkan aktifitas memeluk Aminarsih kemudian memejamkan matanya.Benar saja, Farah akhirnya pergi dari sana, setelah ditegur oleh salah seorang penghuni unit di sebelah unit Emir. Dengan meradang dan menghentakkan kakinya, Farah turun ke lobi apartemen. Menuju anjungan tunai mandiri, hendak melakukan penarikan uang, karena uang di dom
"Gak, Ma! Farah tidak mau cerai. Mas, apa gak bisa diperbaiki semuanya? Aku benar-benar menyesal, Mas," rengek Farah di depan Emir."Aku gak mau cerai, pokoknya!" Farah berdiri dari duduknya, lalu berjalan melewati Emir yang masih diam membisu. Mama Farah pun tak banyak bicara, ia tahu kesalahan puterinya sangatlah fatal. Berselingkuh di luaran sana, ditambah hendak meracun wanita yang dekat dengan keluarga suaminya. Tentu saja tak tak ada yang berani memaafkan Farah."Nak Emir, apakah tidak bisa dipertimbangkan lagi?" tanya Bu Sinta memelas."Maaf, Ma. Keputusan saya sudah bulat, saya tidak bisa bersama Farah. Sudah tidak baik bagi hubungan kami.""T-tapi bagaimana nanti dengan karir Farah?""Bukan urusan saya, Ma. Cukup saya dibuat hampir kena serangan jantung saat mengetahui sifat Farah dan apa yang telah ia lakukan pada saudara saya. Semoga Mama mengerti. Akan lebih panjang urusannya, jika semua video itu sampai di meja poli
Aminarsih masih setia menunggu Emir yang pulang hari ini. Sudah pukul delapan malam, Emir belum juga nampak membuka pintu apartemen. Ami gelisah, begitu pun juga Amira yang sudah tak sabar. Sambil bermain, Amira terus saja melihat ke arah pintu, berharap lelaki yang ia panggil dengan sebutan Papa Emil, segera membuka pintu."Lama ih," rengek Amira pada ibunya."Sabar, Nak. Papa Emir katanya langsung ke kantor, karena banyak pekerjaan. Siapa tahu sebentar lagi pulang," ujar Ami menenangkan kegelisan puterinya. Ia pun ingin menelepon Emir dari telepon apartemen, tetapi ia tidak tahu nomornnya.Hingga jarum jam bergeser ke angka sembilan, kemudian sepuluh, Emir tak kunjung pulang. Amira sudah tidur kelelahan menunggu Emir. Sedangkan Ami juga tak tenang. Ia pun dengan sabar menunggu Emir pulang sambil menonton acar televisi. Acara yang bertemakan mistis.PukSuara benda jatuh dari arah dapur. Tak mungkin kucing
Ami dan Emir, kini sedang dalam perjalanan menuju rumah Bu Farida. Pagi-pagi sekali, Emir membawa Aminarsih dan Amira pulang ke rumah orangtuanya. Karena permintaan mamanya. Bu Farida rindu dengan Amira, selain itu, rumah juga terasa sepi bilam tak ada Amira di rumahnya.Tentu saja, Emir yang kini merasa horor dengan apartemennya, memilih setuju untuk untuk membawa Amira.dan Ami ke rumahnya. Apartemen itu akan ia jual saja, dari pada menyeramkan seperti itu."Kamu gak papa, Mi?""Gak papa, Mas. Emangnya kenapa?" tanya Ami keheranan."Setelah tadi malam, apa kamu merasa baik-baik saja?""Iya, saya tidak apa-apa. Mas yang takut ya? Hayo ... Ngaku, hi hi hi ...." Ami menertawakan Emir."Ketawanya jangan ngikik, Mi. Jadi mirip kunti," ujar Emir sambil menelan salivanya."Ha ha ha ... Mas lucu deh!" Ami mencubit pipi Emir."Sakit," ujar Emir manja."Uluh, lebay. Ha ha ha ...."
Ami masih bingung dengan pengakuan dari Bu Farida. Benarkah Bu Farida teman dari umi dan abinya? Bu Farida masih saja menangis memeluk dirinya. Bahkan pelukan itu sangat erat, membuat Ami hampir kehabisan nafas."Ya Allah, puluhan tahun saya selalu berharap berjumpa dengan Narti, ternyata dia sudah tidak ada. Ya Allah, saya rasanya tak percaya, Mi. Terakhir bertemu, saat saya menjenguk kamu lahir usia empat puluh hari dan Narti memberi tahukan tanda lahir di leher kamu. Ya Allah ...." Bu Farida memeluk kembali Ami dengan erat.Amira yang asik bermain boneka, akhirnya menoleh pada ibu dan omanya. Amira bangum dari duduknya, lalu menghampiri keduanya. Amira bergelayut di tubuh Ami, sambil memandang heran keduanya."Ibu, Oma, tenapa nanis?""Ya Allah, kalian ini benar-benar bagian dari keluargaku. Alhamdulillah ya Allah, telah mempertemukan kami di sini." Bu Farida kini memanggku Amira. Jemari gadis kecil itu terangkat menghapus a