Share

Menjelang Pulang

Siang itu balai terbuka sudah dijejali para peserta outing untuk acara makan siang bersama. Walaupun lelah oleh padatnya aktifitas, keasrian Bukit Renjana berhasil menggugah gairah mereka untuk tetap bersemangat. Acara selanjutnya yang diisi dengan permainan dan kuis untuk lebih mengakrabkan para peserta outing juga berjalan dengan mulus, hingga akhirnya seluruh peserta merasa benar-benar kelelahan dan memilih untuk berduduk santai di dalam balai serta bernyanyi-nyanyi riang diiringi genjrengan gitar Tama. Beberapa bahkan tertidur di balai karena anginnya yang bertiup sepoi-sepoi membuat kelopak mata mereka ikut berayun-ayun.

“Teman-teman sukarelawan bebas beristirahat. Bapak beri waktu satu jam, ya. Terserah kalian mau kembali tidur di tenda atau ngobrol santai di balai, nanti pukul tiga sore kita semua berkemas dan paling lambat pukul empat sore kita sudah siap turun bukit. Durasi turun jauh lebih singkat ketimbang waktu mendaki. Setengah jam juga sudah sampai di bawah sana. Setelah itu kita kembali ke kapal dan berlayar pulang,” Pak Miko menerangkan agenda selanjutnya. Terdapat raut sedih di wajah para peserta outing karena perjalanan ini akan berakhir dan mereka harus bersiap untuk terjun langsung menangani program sosial di Desa Balarambe seusai outing ini.

Hari itu terasa cepat berlalu. Mungkin karena para peserta outing cukup letih menghadapi agenda yang berjubel. Bahkan ketika selesai turun bukit dan kembali naik ke kapal yang sedari kemarin masih menepi di sisi Pulau Renjana, sebagian besar peserta outing memilih untuk tidur dalam perjalanan laut itu. Suasana kapal menjadi tidak seramai saat para peserta outing memulai perjalanannya dua hari yang lalu. Dalam perjalanan pulang ini karena kapal tidak dituntut banyak berhenti, maka waktu yang ditempuh menjadi jauh lebih singkat dibandingkan ketika awal perjalanan.

Jelita banyak melamun di dalam kapal. Jam-jam pertama di atas kapal menuju arah pulang itu ia habiskan untuk membaca buku yang baru seperempat halamannya ia selesaikan. Berkali-kali ia membetulkan posisi earphone yang menancap di lubang telinganya, sebagai kode ia tidak mau diusik oleh siapapun. Baruno sadar bahwa Jelita menghindarinya, tetapi ia belum tahu persis alasan di balik semua ini.

“Jelita!” sapa Baruno di geladak kapal. Jelita hanya diam membisu tak menyadari ada Baruno di dekatnya. Ia masih sibuk dengan buku yang ia baca dan earphone yang bertengger manis di kupingnya. Baruno melepas earphone dari telinga Jelita dan memanggil Jelita kembali.

“Hei! Jelita!” panggilnya. Jelita sedikit kaget.

“Jelita, sepertinya kamu harus cerita. Ada kejadian apa tadi pagi di Bukit Renjana?”

“Hhhmm… oh, ngga kok, No! Lupakan saja, lah.” Jelita merebut earphonenya dari tangan Baruno dan kembali memasangnya di telinganya. Acuh.

“Jelita, cerita!” Baruno kembali melepas earphone Jelita. Kali ini dengan lancang ia juga merebut buku yang Jelita baca, menutup dan lalu menyingkirkannya dari Jelita. Jelita melengos malas.

“Sudah, jangan sok suci, pura-pura tidak tahu apa-apa. Ambil saja buku dan earphoneku, ngga ngefek. Aku tetap malas membahasnya!” Jelita berdiri dan berjalan melenggang. Baruno menundukkan kepalanya, tiba-tiba ia merasa sakit kepala. Ia duduk menyandarkan diri dan menarik nafas panjang lalu dihembuskannya pelan-pelan nan lambat. Rani datang menghampiri Baruno. Rani akhirnya memilih untuk membuka suara, ia menceritakan tentang apa yang dilihat Jelita tadi pagi di dalam tenda Baruno. Baruno menyimak dengan seksama, tak mau sedikitpun ia ketinggalan cerita. Sepanjang Rani bercerita, Baruno hanya dapat merutuk dalam hati.

Baruno menyusuri lorong kabin kapal dengan amarah yang membara. Dicarinya bilik kamar Helena saat itu juga. Setelah menemukannya, Baruno mengetuk dengan kasar sembari memerintahkan Helena untuk segera membukakan pintu itu untuknya.

“Helena! Buka! Buka pintunya, Helena! Helena!”

“Duh ada apa sih, No, ribut-ribut?”

Baruno menarik paksa lengan Helena, menggiringnya ke tempat yang lebih sepi. Dilepaskannya tarikan itu dengan sedikit gerakan mendorong. Helena yang belum siap untuk melawan kekuatan Baruno yang lebih besar darinyapun agak terpelanting hingga menabrak tembok.

“Aduh! No, sudah gila kamu, ya?”

“Sudah gila, sudah gila. Kamu tuh yang gila! Sebenarnya kamu ada masalah apa sih denganku dan Jelita?” ditanya Baruno seperti itu, Helena bergeming. Baruno mulai kehilangan kesabarannya, ia menggebrak meja yang ada di hadapannya. Helena bergetar akan gertakan itu.

“Helena, Jawab!” desak Baruno.

“A… aku tidak su… suka melihatmu dengan Je.. Jelita!” Helena gemetar dan bergidik ngeri, matanya sedikit berkaca-kaca. Belasan tahun ia bersahabat dengan Baruno, baru kali ini ia menyaksikan kemarahan Baruno yang membludak karenanya.

“Kenapa? Kamu kira bagus bikin drama seperti itu? Sudah cukup kamu permalukan aku di hadapan semua orang, bahkan aku sudah menganggapnya lalu. Bukannya membenahi diri, kamu malah balik menyerang Jelita saat diskusi di balai. Kamu kira kami semua tidak tahu tujuanmu itu untuk menjatuhkan Jelita? Lalu kamu menyusup ke tendaku untuk membuat fitnah murahan yang bodohnya, itu semua berhasil! Sedari dulu aku mengenalmu, kamu selalu begini, selalu ingin menang sendiri, selalu ingin mengambil kendali. Buatmu, kamu harus jadi yang nomor satu. Semua selalu tentang kamu. Semuanya. Tapi kali ini, Helena, aku tidak mengijinkanmu melakukan itu pada Jelita!”

“Hei, kenapa kamu malah menjadi membela Jelita?”

“Kenapa? Karena Jelita kekasihku!” selepas menjawab itu Baruno mengatupkan mulutnya tak mempercayai apa yang baru saja dikatakannya. Helena tercekat, setengah tak percaya dengan apa yang didengarnya sedetik lalu itu.

“Baruno… asal kamu tahu, tidak semuanya tentang diriku. Selama aku kuliah di Singapura, aku tetap selalu ada untukmu. Saat kamu begitu terpukul selepas putus dari Sandra, aku menyempatkan diri pulang ke Jakarta. Demi kamu. Ingat saat ibumu harus dirawat di Singapura? Aku kerap membolos kuliah demi memantaunya di rumah sakit, itu semua demi kamu. Agar kamu di Jakarta selalu tahu perkembangan ibumu. Dan ini, program sukarelawan ini, siapa yang memintaku untuk berpartisipasi? Kamu. Sebenarnya aku bisa saja memilih untuk berlibur dan bersenang-senang selama libur semester ini. Tapi karena kamu yang minta aku temani menjadi tim sukarelawan, maka aku mau. Tidak semua tentang aku No! Ini semua tentang kamu. Selalu kamu.” tangis Helena pecah. Baruno tertegun.

“Helena…”

“Kamu tahu kenapa kamu tidak pernah peduli?”

“Hhhmmm….”

“Karena kamu tidak pernah membalas perasaanku sedari dulu,” ujar Helena sembari tertunduk. Sejujurnya ia malu kalau harus mengakui perasaan terpendamnya itu kepada sang sahabat. Namun menurutnya ini adalah saat yang tepat.

“Helena…” Baruno sedikit merasa bersalah.

“Baruno, betul apa yang kamu bilang. Aku selalu ingin jadi yang nomor satu. Tapi itu hanya di hadapanmu, No. Kenapa? Karena, aku tidak pernah menjadi yang nomor satu bagimu,” ucap Helena perlahan seraya mengusap air matanya. Kini berganti Baruno yang bergeming dan tak mengucap sepatah katapun. Ia sibuk berpikir memproses serangkaian pengakuan Helena ini.

Belasan tahun saling mengenal, tidak pernah sedikitpun terbesit di benak Baruno untuk memacari Helena walaupun gadis itu memiliki begitu banyak pengagum bukan hanya karena manis wajahnya dan penampilannya yang elegan, namun karena kecerdasan dan pembawaannya yang membuat orang lain nyaman berada di dekatnya. Aura yang terpancar dari diri Helena membuat siapapun merasa segan, ia begitu karismatik meskipun sekilas terkesan angkuh. Tetapi bagi Baruno, semua kualitas dalam diri Helena itu tidak cukup menimbulkan getaran yang membuatnya ingin mendekati dan menjalin romansa dengan gadis itu. Helena terlalu kuat untuknya. Helena terlalu mandiri, seolah tidak ada celah dalam diri Helena yang dapat Baruno isi. Di mata Baruno, Helena selalu kokoh berdiri sendiri, itulah mengapa ia selalu mengandalkan Helena terutama dalam kondisi genting, namun tidak pernah mengijinkan Helena untuk menyentuh hatinya.

Tetapi bersama Jelita, Baruno merasa memiliki peran yang dapat membuat Jelita merasa lebih baik. Jelita selalu mengagumi dan mengandalkan Baruno dalam menemukan perspektif yang baru. Mereka berdua saling melengkapi satu sama lain. Rupanya perasaan merasa dibutuhkan ini menjadi candu bagi Baruno.

“No… maaf, aku tidak bisa melanjutkan ini semua. Sepertinya aku mundur dari program sukarelawan ini. Berada di sinipun pada dasarnya bukan kemauanku. Aku hanya ingin menyenangkan hatimu. Tapi ternyata tugasku cukup sampai di sini, sudah ada yang lain yang bisa menyenangkan hatimu.”

“Tidak, Helena! Kamu tidak bisa memutuskan seperti ini!”

“Kenapa tidak? Kali ini aku ingin semua tentang diriku, seperti yang kamu bilang. Sesampainya di Balarambe, aku akan segera mengurus kepulanganku. Biar kucari alasan yang bagus untuk Pak Miko,” Helena melampiaskan kesedihannya dengan amarah. Ia melangkah pergi tanpa mempedulikan Baruno yang hanya bisa diam mematung.

Sisa perjalanan pulang itu dihabiskan oleh Baruno dengan merenung. Bahkan Jelitapun tak disapanya. Diulangnya kembali pembicaraannya dengan Helena di kepalanya yang masih terasa seperti mimpi. Suara Helena seakan-akan memenuhi benaknya, sedikit berharap pernyataan itu tadi hanya sebatas canda. Baruno terlalu gengsi mengakui bahwa ada sedikit rasa bersalah yang kemudian mulai tumbuh di dadanya.

“Teman-teman, satu jam lagi kapal akan menepi sempurna dan itu tandanya kita sudah sampai kembali di Desa Balarambe. Jika sudah sampai nanti teman-teman diharapkan segera kembali ke akomodasi masing-masing untuk beristirahat ya, kalian pasti lelah sekali. Jangan sampai sakit. Oh iya, Bapak ada dua informasi. Yang satu berita baik, yang satu lagi berita kurang baik. Mau dengar yang mana dulu?” sapa Pak Miko dari pengeras suara. Keletihannya dalam mengorganisir acara outing ini tidak membuat suaranya melemah. Suaranya selalu menunjukkan semangat menggelegar yang dapat terdengar dari segala penjuru sisi kapal.

“Kabar baik dulu saja, deh Pak!” Tama angkat bicara

“Kabar baiknya, kalian bapak berikan waktu libur dua hari. Di hari Rabu, kalian semua berkumpul di kantor yayasan mulai pukul 10.00 pagi dan akan Bapak traktir makan siang. Kita makan sambil kita berdiskusi mengenai program sosial yang akan kita jalankan untuk masyarakat Balarambe.”

“Itu sih keharusan, Pak, bukan kabar baik!” seru Suluh kembali dengan celetukannya seperti sedia kala yang seperti biasa mengundang gelak tawa teman-temannya.

“Lho, bukan begitu. Kalau kalian dengar berita kurang baiknya pasti yang barusan terlihat baik sekali,” kata Pak Miko membuat seisi kapal penasaran.

“Ada apa sih, Pak? Tentang acara perpisahan tim sukarelawan angkatan ini ya?” Maria tergelitik penasaran.

“Bukan, bahkan perpisahan dengan salah satu tim sukarelawan angkatan yang akan datang,” suara Pak Miko memelan. Ia gagal menutupi rasa sedih dan kecewanya. Para peserta outing nampak berbisik-bisik dan saling menyikut. Namun usaha mereka sia-sia, tidak ada satupun dugaan mereka yang benar. Para peserta outingpun mendesak Pak Miko untuk langsung membahas kabar yang disebutnya kurang baik itu.

“Saya sebagai pengurus yayasan sedih sekali menyampaikan hal ini. Bahwa teman kita, Helena Moeis terpaksa harus mengundurkan diri dari program sukarelawan, jabatannya sebagai tim sukarelawan angkatan yang akan datang akan dilimpahkan kepada Baruno.” Baruno menggerutu dalam hati walaupun sebenarnya resiko ini sudah terukur baginya. Siapa lagi yang tahu betul mengenai seluk beluk program sosial yang dicetuskan oleh Helena kalau bukan Baruno.

Di tengah gerutunya, Baruno sayup-sayup mendengar begitu banyak ekspresi kekecewaan, penasaran, kesedihan, bahkan tersirat kemarahan yang dilontarkan oleh para rombongan.

**

Hari yang ditunggu-tunggupun akhirnya tiba. Hari Rabu ini merupakan hari pertama bagi tim sukarelawan yang kini diketuai Baruno untuk mengunjungi kantor yayasan. Kali ini tanpa Helena yang telah memutuskan untuk tidak melanjutkan keikutsertaannya dalam program sosial sukarelawan di Desa Balarambe itu. Oleh karenanya, Helena buru-buru memutuskan untuk hengkang dari desa tersebut tanpa melibatkan siapapun. Tak satupun dari para tim sukarelawan yang persis mengetahui kapan dan dengan moda transportasi apa Helena pergi dari Desa Balarambe menuju Singapura. Yang mereka tahu, kini mereka harus menjalani hari-hari tanpa Helena yang memiliki peran sangat besar dalam tim sukarelawan itu. Mereka tidak punya pilihan lain selain melanjutkan program mereka yang kini diketuai Baruno.

Jelita beserta timnyapun ikut bergabung di hari itu untuk memberikan arahan untuk menyerahkan jabatan serta mengurus kelanjutan program sosial yang sudah ia lakukan selama dua bulan terakhir bagi warga Balarambe.

“Jelita, apakah seluruh tim angkatan yang baru sudah melaksanakan tugasnya dengan baik?” tanya Pak Miko di sela-sela waktu makan siang.

“Sudah, Pak!”

“Baik. Minggu depan kamu dan tim sukarelawan angkatanmu sudah pulang ke Jakarta ya?”

“Iya, Pak. Tim yang sekarang semuanya bagus, Pak. Bahkan sepertinya mereka sudah dapat melaksanakan program sosial sendiri tanpa bantuan dari kami,” kata Jelita.

“Wah kalau benar begitu, jangan-jangan kamu ingin buru-buru pulang ke Jakarta?”

“Hehehe ngga juga, sih, Pak. Saya suka di sini, asri dan penduduknya ramah sekali. Sangat berbeda dengan Jakarta,” tutur Jelita sembari menyudahi makan siangnya dengan tatapan menerawang ke depan. Melihat pemandangan itu, Daisy menyikut Maria, lalu keduanya saling berpandangan. Daisy yang sudah termakan oleh fitnah Helena mengenai kedekatan Jelita dan Pak Miko nampaknya sudah menyebarluaskan berita itu ke hampir seluruh tim sukarelawan baik yang termasuk dalam angkatanya maupun angkatan yang diketuai oleh Jelita.

“Tuh kan, dia ngga mau pulang. Betah deh kayanya sama Pak Miko. Hahaha,” bisik Daisy ke telinga Maria. Mereka berduapun terkekeh.

“Eh ada apa kalian? Sepertinya sedang membicaraan hal yang seru. Bagi-bagi dong!” ternyata walaupun tak sanggup mendengarnya dari tempat duduknya, Jelita mengamati betul tingkah Daisy dan Maria. Dari situ Jelita mulai sedikit menyadari bahwa ia menjadi bahan perbincangan Daisy dan Maria.

“Hehe… Ng… nggak kok, Ta!” Daisy tergagap dan menjawab dengan senyum yang dipaksakan. Jelita semakin mencium sesuatu yang mencurigakan. Namun untuk saat ini, ia enggan mengulik dan mempermasalahkan hal tersebut. Benaknya sudah terlalu penuh menampung segala kekesalan yang tersisa, ditambah dengan berjuta pertanyaan tentang alasan kepergian mendadak Helena, dan sikap Baruno yang lebih dingin kepadanya dibandingkan sebelumnya. Jelita percaya seluruh rangkaian kejadian yang terjadi secara bertubi-tubi itu tentu saling berkaitan satu sama lain.

Jelita berjalan ke arah pekarangan belakang kantor yayasan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman yang membuat suasana kantor itu menjadi semakin asri. Kantor yayasan berjarak tidak jauh dari pusat kota, namun karena kantor ini terletak di area yang datarannya lebih tinggi dari jalan utama, maka siapapun yang berada di kantor itu dapat melihat pemandangan laut dari kejauhan dan halaman kantor yayasan itu menawarkan spot terbaik untuk menikmati pemandangan itu.

Jelita berjalan dengan sedikit melompat menyusuri bebatuan kecil yang membentuk jalur setapak di halaman belakang kantor yayasan. Tanpa disadarinya, Baruno dan Tama yang sedang duduk memojok di ujung halaman memperhatikan tingkah jenaka Jelita itu. Tawa kecil kedua pemuda itu ternyata terdengar oleh telinga Jelita.

“Ngapain, Neng lompat-lompat kaya bocah?” goda Tama yang disahut oleh tawa Baruno. Jelitapun meringis salah tingkah mengetahui tingkah konyolnya dilihat diam-diam oleh Tama dan Baruno.

“Eh, ada Tama dan Baruno. Hehehe… Tak apa, iseng aja, lagi suntuk, nih!” Jelita mencari alasan seadanya.

“Sini, duduk sini Ta, di sebelah Baruno!” ajak Tama menawarkan bangku kecilnya untuk diduduki Jelita. Tama seolah mengetahui bahwa diantara Jelita dan Baruno ada yang berbeda. Maka saat kesempatan itu tiba, Tama tak segan memberikan waktu bagi Jelita dan Baruno untuk berbicara empat mata.

“Memang kamu mau kemana, Tama?” tanya Jelita. Tama menggeleng sambil tersenyum. Tama bangkit dari bangkunya dan pergi meninggalkan mereka berdua. Baruno menatap Jelita cukup lama.

“Jelita, duduk, sini…” Baruno seolah menegaskan tawaran Tama tadi. Jelita berjalan menuju bangku kecil di sebelah Baruno.

“Hi, No! Hhhmmm… apa kabar? Sudah beberapa hari ini kita tidak mengobrol, ya,” ujar Jelita sedikit kikuk. Baruno tersenyum tipis, tak bisa memungkiri ia amat rindu oleh canda dan tawanya bersama dengan Jelita.

“Hehe, iya. Anyway, kamu sudah bersiap pulang? Senin minggu depan?” dengan sedikit hati-hati Baruno bertanya kepada Jelita.

“Iya, No. Sisa libur semester ini biar aku habiskan di Jakarta saja, bersama teman-teman dan keluarga.”

“Yah, jauh deh, kita!” tutur Baruno tak bersemangat.

“Iya. No. Tapi terima kasih ya!”

“Terima kasih untuk apa?”

“Untuk perkenalan kita, mungkin sepulang dari sini semuanya akan berbeda. Tapi tak apa, aku sih sudah cukup senang mengenalmu. Nanti kalau kita bertemu di kampus, jangan pura-pura tidak mengenalku ya. Hahaha.” Jelita tidak dapat menyembunyikan mimik kekawatiran yang tergambar jelas pada rautnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sedikit cemas apabila hubungannya dengan Baruno hanya berstatus cinta lokasi.

“Memangnya siapa yang akan melupakanmu begitu saja?” Baruno mendesak penjelasan.

“Bukan gitu, No…”

“Beberapa hari belakangan ini seperti ada yang mengganjal buatku. Akupun masih berhutang penjelasan dan cerita padamu. Maaf kalau aku terkesan menghindarimu. Apa kamu masih marah kepadaku?” tukas Baruno memotong perkataan Jelita yang belum selesai.

“Tidak apa, No. Lupakan saja. Toh aku sebenarnya tidak punyak hak marah kepadamu. Kamu kan…. hhhmm… kamu kan… kita kan…. Kita kan bukan sepasang kekasih. Seharusnya terserah kamu juga mau tidur dengan siapa di tenda, kan? Maaf ya, No” kata Jelita dengan ragu dan penuh perasaan bersalah.

“Kamu mau punya hak marah terhadapku?”

“Maksudmu?”

“Aku mau kamu punya hak marah kepadaku. Aku mau kamu memprotesku apabila kamu cemburu. Aku mau kamu mencariku dalam keadaan apapun dan kapanpun!” tegas Baruno.

“Bagaimana bisa aku punya hak untuk….”

“Jelita, mulai detik ini, kita adalah sepasang kekasih!” Baruno tidak membutuhkan jawaban Jelita, ia dapat menjamin seratus persen bahwa Jelita mau menerima cintanya.

“Baruno…”

“Berjarak denganmu, ternyata cukup menyiksaku. Dan hari itu, Helena memang sengaja menyusup ke dalam tendaku. Aku bisa pastikan diantara aku dan Helena tidak ada apa-apa!”

Baruno kemudian menceritakan seluruh rangkaian kejadian yang membuat kepala Jelita penuh dan bertanya-tanya selama beberapa hari terakhir. Hati kecilnya dapat bernafas lega, namun rupanya ia masih membutuhkan ketegasan dan validasi dari Baruno bahwa perkataannya untuk menjadikannya kekasih pemuda itu adalah benar keputusan Baruno, bukan pernyataan sesaat.

“Kata-katamu tadi, yang memintaku untuk menjadi kekasihku, apa itu benar?” kali ini Jelita tidak membutuhkan jawaban, ia hanya membutuhkan kepastian sekali lagi. Tangannya kini digenggam lembut namun erat oleh Baruno seraya menganggukkan kepala. Jelita mengamati jemari lentiknya yang bersatu berselingan dengan jemari Baruno. Buatnya, genggaman itu sudah menunjukkan lebih dari sebuah kepastian. Mereka berpandangan dan saling bertukar senyum.

“Cieee… pegang-pegangan tangan. Kalian jadian, ya? Cieee!” rupanya Tama masih memperhatikan mereka. Digoda seperti itu, tidak biasanya Baruno hanya diam dan tersenyum simpul. Karena kini celetukan itu memang benar adanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status