Abel memperhatikan cara Jelita memandang Rama yang melangkah dengan pasti itu. Abel paham sekali makna dari tatapan Jelita itu. Dengan mulut yang tidak terkatup sempurna, sorot mata tajam penuh kekaguman dan minim kedipan, Abel dapat menangkap jelas bahwa kawan barunya itu begitu memuja sosok Rama. Abel melirik ke arah Tante Ririn yang sedari tadi menunggu Rama, rupanya Tante Ririn juga sedang memergoki Jelita yang tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari Rama. Tante Ririn dan Abelpun tertawa perlahan, seolah mereka sama-sama mengetahui isi kepala masing-masing.
“Woy, ngeliatin siapa, sih? Hati-hati kalau pandangan kosong nanti bisa kesurupan, lho!” Abel kembali menggoda Jelita yang nyaris tidak berkedip itu. Jelita tergugah dari fokusnya memandangi Rama yang kini telah berdiri di depan kedai.
“Eh? Ngga, Kak. Hhhmm.. Hehe. Eh, itu, ada Rama. Rama sudah datang,” kata Jelita berbisik dan tersipu. Tante Ririn yang memandangi Jelita sejak tadi itupun
Sudah satu jam Jelita berkutat dengan laptopnya, menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Rama dan Bu Novi untuknya pada hari itu. Entah kekuatan dari mana, atau mungkin Jelita juga sudah cukup merasa jengah karena merasa hatinya dipermainkan tanpa tahu tujuan, satu bulan ini Jelita justru lebih fokus pada pekerjaannya ketimbang harus terus menelaah perasaannya terhadap Rama. Berbagai pujian dari para koleganya di lembaga sudah cukup membanjiri hari-hari Jelita selama bekerja di Desa Jatilima. Ternyata dengan tekad bulat dan keinginan untuk fokus berkarya dari pada memberatkan isi hatinya, Jelita mampu untuk mengejar mimpinya. “Gaji kamu sudah masuk ke rekening?” tanya Rama kepada Jelita yang masih sibuk dengan laporan evaluasi itu. Jelita mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, respon itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Rama. Ramapun membalasnya dengan anggukan perlahan dan memberikan dua jempol untuknya. Jelita melanjutka
Rama terbangun dari tidur siangnya yang panjang itu. Di hari Sabtu yang cerah setelah kunjungannya ke kedai lontong sayur Tiara telah selesai ia lakukan demi menggenapi janjinya pada Abel dan Tiara, Rama memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kepenatannya, terutama kelelahan akan usahanya menjawab berbagai pertanyaan dan segala kemungkinan yang diajukan oleh Abel dan Tiara. Sesungguhnya Abel dan Tiara hanya ingin Rama bangkit kembali dari keterpurukan patah hati yang begitu mendalam selepas kepergian Clara dari pelukannya. Tidak mudah bagi Rama yang telah mengumpulkan niat, keberanian, usaha, serta tabungan untuk memberi kejutan melamar Clara di hadapan kedua orang tuanya, tetapi harus berakhir sia-sia. Hingga detik inipun Rama dan Clara tidak pernah saling bertukar cerita ataupun kabar. Keduanya mengetahui informasi terbaru dari masing-masing pihak melalui rekan-rekan kerja mereka. Sama sekali mereka berdua tidak berinisiatif untuk membuka hubungan satu s
Perjalanan pulang dari restoran ke mess pegawai lembaga terasa begitu cepat bagi dua insan yang dimabuk asmara ini. Sepanjang perjalanan, Rama tidak henti-hentinya bercerita betapa ia sangat mengharapkan malam itu untuk terjadi jauh sebelum malam itu benar-benar tiba. “Rama, jujur, kenapa kamu harus memilihku sebagai junior atau asisten kamu?” tanya Jelita denan nada sedikit manja. Rama melirik ke arah Jelita sekilas, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobil yang ia setir itu. “Hhhmmmm…. Mau jawaban jujur atau ngga jujur? Hahaha,” tanya Rama sambil menggenggam jemari lentik Jelita yang duduk di sebelahnya. “Jawaban jujur, dong!” “Pertama, foto kamu cantik. Aku suka sekali dengan profil wajah kamu. Kedua, pengalaman kamu di Desa Balarambe yang kamu tulis di riwayat pekerjaanmu itu, benar-benar membuatku penasaran. Aku sampai mencari tahu banyak tentang program sukarelawan itu, ternyata seleksinya cukup ketat, ya!” jelas Rama. Ia menyungging senyum yang
Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant
Jelita masih terpaku di depan pintu rumah Baruno. Bibirnya kelu membisu. Sesekali Jelita mencoba menelan air liurnya, sembari perlahan mencerna kata-kata yang masih terngiang di telinganya. Namun nampaknya Jelita tidak kuat berlama-lama mematung. Pundaknya bergetar sembari menahan tusukan angin malam, ia mulai terisak. Baruno merengkuhnya. Dipeluknya kekasihnya tersebut dalam-dalam.“Sepertinya susah ya, No…” tangis Jelita pecah dalam dekap Baruno.“Kita masih punya banyak waktu, Ta. Aku mau kita tidak menyerah begitu saja.” Baruno meyakinkan Jelita. Entah sudah berapa kali Jelita berusaha mengimani dan mengamini seluruh janji Baruno untuk mendapatkan restu kedua orang tua Baruno atas hubungan yang telah memasuki tahun kedua ini.Baruno menuntun Jelita masuk ke mobilnya untuk diantarnya pulang. Jelita memasang sabuk pengaman mobil sambil masih menatap lurus ke depan dengan nanar. Sebenarnya setiap kali Jelita berkunju
Mentari pagi menyapa dengan pantulan keemasannya yang membelah birunya laut. Sinarnya yang hangat menembus celah di bilik kamar kabin kapal tempat Baruno terlelap semalam, membuat Baruno merasakan sedikit kesilauan. Pelan-pelan dibuka kelopak matanya yang bulat itu. Dengan dahi yang berkerut dan mata yang belum sempurna terbuka, Baruno melirik jam di ponselnya. Sudah pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Baruno tersadar bahwa ia terlambat mengikuti jadwal senam pagi bersama di geladak utama kapal. Ah, shit, terlambat ikutan senam bareng yang lainnya! rutuknya dalam hati yang setengah peduli.Setelah merapihkan dan melipat sarung yang menyelimuti dirinya semalaman, Baruno mengambil sebotol air mineral dan berjalan menuju sebuah bilik kayu kecil di bagian belakang kapal. Ia mencuci muka dan menyikat giginya sebelum bergabung dengan para rombongan outing yang sedang mengikuti olahraga pagi di geladak utama kapal.“Enam&hel
Suluh, Jelita, dan Baruno adalah tiga orang terakhir yang masuk kembali ke dalam kapal setelah sesi snorkeling usai. Melihat pemandangan mereka bertiga bercanda dan berkejaran di pesisir tadi, nampaknya seisi kapal mulai mencium gelagat kedekatan antara Baruno dan Jelita. Bergegas mereka bertiga membersihkan diri untuk siap melakukan kegiatan sesuai agenda selanjutnya.“Teman-teman sukarelawan sekalian, makan siang sudah disiapkan. Setelah itu sesi bebas, boleh beristirahat. Sedikit lagi kita akan sampai di Pulau Renjana. Nah, sore nanti kita bersiap untuk mendaki bukit Renjana dan bermalam di puncak bukit. Siapa yang sudah tidak sabar?” ucap Pak Miko dari pengeras suara yang diikuti sorak sorai para peserta outing yang sudah berkumpul di geladak utama kapal.“Yes, saya sudah tidak sabar, Pak!” seru Ahmad menimpali.“Ahmad sekarang sudah tidak sabar, Pak, kalau semalam si Ahmad tidak sadar, Pak!” celoteh Baruno m
Jelita dan Baruno berjalan beriringan menuju tempat di mana para peserta outing berkumpul. Di setengah perjalanan mereka, datanglah Suluh menghadang. Raut wajah Suluh nampak lebih ramah dan berhati-hati dari biasanya. Melihat Suluh menghalangi langkah mereka, Baruno mendengus panjang.“No,” sapa Suluh singkat. Baruno menatap Suluh dengan ekspresi enggan seraya mengangkat kedua alisnya, mempersilakan Suluh melanjutkan kata-katanya.“Kenapa, Luh? Ada yang perlu disampaikan? Kalau mau membalas yang tadi, maaf, ngga ada waktu. Males. Permisi.” Baruno berjalan menyingkir melewati Suluh yang menutupi jalan mereka. Jelita was-was, takut kejadian saat pendakian tadi terulang.“No,” nada suara Suluh terdengar lebih tinggi dari sapaan pertamanya tadi. Ia menahan bahu kanan Baruno dengan tangan kirinya, berharap Baruno menghentikan langkahnya.“Ngga usah pegang-pegang! Lepas! Lepasin, ngga?” Baruno setengah membentak.