POV TANIA
Tiga hari berlalu ….Setelah sekian lama akhirnya aku kembali lagi ke kota ini, sudah banyak yang berubah. Mbak Lirna dia semakin maju. Hidup anaknya juga enak. Dapat menantu tampan, kaya, berpendidikan. Keluarga Bima juga sangat menyayanginya. Sementara aku dan anakku? Bernasib buruk. Keluargaku hancur, anakku hamil di luar pernikahan. Jujur saja aku iri dengan kehidupan Mbak Lirna. Kenapa dia itu selalu saja beruntung dari aku. Padahal aku yang seharusnya menang. Tapi, sekarang wajahku seperti terlempar kotoran. Wajar aku sebagai manusia biasa iri melihat kebahagiaan keluarganya. Munafik kalau aku bilang tidak sakit hati melihat Mbak Lirna bahagia. Tapi aku bisa apa selain diam dan menonton kebahagiaan mereka. Sedih sih sebenarnya. Sedih karena sekarang aku jadi seperti ini. Melihat kebahagiaan mereka entah kenapa hatiku merasa panas dan menjerit? Aku tidak suka, aku ingin mereka juga menderita sepertiku, tapi takdir berpihak baik padanya.POV DiLA…. Setelah semua orang kembali ke kamar masing-masing, aku kembali memikirkan ucapan Mama. Meminta Lingga segera menikahiku. Gara, anak itu sudah terlelap. Mungkin kini berada di alam mimpi. Bocah kecil tampan itu memang sangat dekat dengan Ayahnya kini. [Malam, Sayang] Orang yang tengah Kupikirkan mengirim pesan. Ah, kebetulan sekali. [Malam, sedang apa kamu] balasku. [Memikirkan untuk bisa segera menikah dengan kamu. Kumpul jadi keluarga yang bahagia.] Membaca pesan darinya membuat bibirku mengulum senyum. [Hum, kalau aku mau menikah bagaimana? Rencana, Gara akan pindah sekolah disini. Dia tidak mau kembali ke Bali.] [Bagus dong. Serius kamu mau nikah meskipun tanpa restu dari orang tuaku?] [Aku serius.] [Demi Gara atau karena kamu cinta sama aku?] Dasar Lingga. [Demi Gara dan karena aku cinta sama kamu. Sepertinya aku memang tidak bisa menjauh dari
POV LINGGA Pagi ini aku sudah utarakan semua keinginanku pada semua orang untuk menikahi Dila. "Kalau memang kamu bersikekeuh untuk menikahi perempuan murahan itu, maka jangan mengakui kami sebagai orang tuamu Lingga," ucap Mama. Aku mengusap wajah gusar. "Mama!" bentak Papa. "Kalau memang itu sudah jadi keputusan Lingga, maka setujui saja pernikahan mereka. Tapi ada syaratnya," ucapnya. "Apa itu, Pa?" sigapku bertanya. "Kalian harus tinggal disini setelah menikah. Dan ya, pernikahan harus dilaksanakan secara diam-diam. Tidak ada mengundang siapapun," ujar Papa. Mama mendelik. "Tapi, Pa. Keyla bagaimana?" tanya Mama melirik Keyla. "Tante, Keyla tidak bermasalah kok. Serius. Tak apa kalau Lingga harus menikah dengan Dila. Lagipula mereka saling mencintai." Keyla menimpali. Perempuan itu memang memiliki hati yang baik. Kak Adi menyunggingkan senyum. "Tak ada masalah
POV DILA Seminggu berlalu …. "Sah!" jawab semua orang yang menjadi saksi pernikahan kami. Pernikahan yang cukup sederhana dan hanya dihadiri oleh penghulu serta keluargaku. Dari keluarga Lingga yang hadir hanya Kak Adi dan Rahma serta anaknya. Tidak nampak kedua orangtua dan Kakeknya. Kak Adi bilang, Tante Tami sedang sakit, dan Om Bram menjaga istrinya. Sementara Kakek pergi ke luar kota. Selesai akad, acara langsung bubar. Karena memang tidak ada acara syukuran sama sekali. Pernikahan ini memang sangat sederhana. Tidak ada riasan mewah ataupun pakaian pengantin yang glamor seperti acara pernikahan Rara yang kulihat di album fotonya. Tapi tidak masalah, apapun itu aku menerimanya dengan lapang, karena aku mencintai Lingga. Kami akan berkumpul menjadi keluarga bahagia. Aku akan merasakan kebahagiaan seperti Rara. **** Sore menyapa, selesai bersiap dan berganti pakaian, Lingga pun mengajak aku serta Gara untuk pindah k
Satu jam berlalu. Aku telah selesai memasak cumi balado, cah kangkung, ayam goreng juga sambal terasi. Tidak tahu mereka suka atau tidak. Karena itu bahan yang ada untuk dimasak. Ada juga bayam dua ikat yang kujadikan sayur bening. Pasti mantap jika dimakan barengan cumi balado. Setelah menyiapkan semua di meja makan, aku kembali ke ruang keluarga kalau misal masakan sudah siap. "Sayang, darimana?" tanya Lingga. Ternyata dia sudah bangun dan juga sudah siap mandi. Nampak Gara juga sudah mandi. "Abis masak untuk makan malam, Mas." Terlontar juga kata Mas untuk orang yang kini sudah menjadi suamiku itu. Sebenarnya, lidahku sedikit kelu. Mungkin karena belum terbiasa. "Wah, pasti enak. Kamu mandi gih. Nanti kita makan malam bersama. Gara sudah mandi sama aku," ujarnya. Aku mengangguk dan segera berlalu ke kamar untuk mandi. ***** "Dila!" panggil Mama. Mama ini, memanggil
POV TANIA Ini sudah dua Minggu aku tinggal di rumah Mbak Lirna tanpa Dila. Tinggal bersama mereka disini kenapa menimbulkan kecemburuan sosial. Bima dan Rara, meski keduanya belum dikaruniai seorang anak tapi rumah tangga mereka sangat bahagia. Semoga saja Dila juga merasakan hal yang seperti Rara dan Bima rasakan. Terlebih Dila telah memiliki Gara. Bocah kecil lucu yang sangat tampan. "Gara, Nenek rindu sayang." "Tania! Ayo coba lagi. Kamu sudah hampir bisa jalan," teriak Mba Lirna membuatku kembali tersadar. Setiap pagi, aku dan Mbak Lirna memang selalu terapi jalan. Disini aku juga seperti nyonya besar. Tidak kekurangan apapun dan semua kebutuhan dicukupi oleh Kakak tiriku itu. "Tania! Ayo," teriaknya lagi. Aku pun jalan tertatih menghampirinya. Dengan terpaksa pun, aku mengulas senyum ke arahnya. Aku kalah dari Lirna! Semua gara-gara Mas Adrian! Hikz … sumpah batinku menangis seperti ini. Tak suka aku dengan kebahagiaan
POV DILA Sore ini aku masih berada di rumah Mas Bima dan enggan beranjak pulang. Rasanya aku ingin lebih lama berada di sini. Di rumah mertuaku, aku sama sekali tidak nyaman. Sungguh, aku ingin cepat pergi dari sana. Ingin aku ceritakan kisah rumah tanggaku pada mereka. Tapi bagaimana perasaan suamiku nantinya. Jujur, aku inginkan rumah tangga bahagia seperti Rara dan Mas Bima. Penuh suka cita dan keromantisan. Aku tidak tahu kalau syarat tinggal bersama mereka akan menyiksaku seperti ini. "Hari ini kita makan malam bersama gimana?" tanya Rara. "Nggak usah bawa Gara. Biar kalian bisa habiskan waktu berduaan. Kaya kami gini jadi berasa menikmati masa pacaran dulu," lanjutnya. "Gimana, Yang?" Aku bertanya pada Lingga. Lingga mengelus pucuk kepalaku. "Boleh juga," ucapnya. Akhirnya kami pun memutuskan untuk makan malam bersama di luar nanti. *** Malam menyapa waktu juga sudah menunjukkan pukul 7 malam. S
Tok … tok … tok …!" "Mama….!" panggil Gara. Aku segera mengusap air mata dan beranjak membuka pintu. Sebelum keluar, aku bercermin sebentar. Nampak di kaca mataku sangat sembab. "Iya, Sayang," jawabku seraya membuka pintu. "Mama, aku lapar. Tadi aku mau makan bareng dedek Ica, tapi nggak boleh sama Nenek," ucapnya menunduk. Anakku terus memegangi perutnya. Sejenak dadaku terasa sesak. Mama mertuaku benar-benar sudah kelewatan. "Tadi waktu dedek Ica makan, nggak ada Tante Rahma, Sayang?" tanyaku. "Nggak ada, Ma. Tante Rahma lagi muntah-muntah," ucapnya polos. "Ya udah, kita makan yuk ke dapur," ajakku. *** "Jangan ambil nasi itu! Saya tidak ikhlas makanan saya dimakan oleh kalian!" cegah Mama yang Tiba-tiba muncul di dapur. Aku menyunggingkan sebelah bibir tersenyum kecut. Sedikit aku gelengkan kepala menatap ke arahnya. Tatapan yang tak habis pikir dengan sikap semacam itu. Menjijikkan! Tak b
Akhirnya akupun memilih untuk mendengarkan percakapn mereka hingga seleseai terlebih dahulu. "Jujur aku mencintai istriku. Namun, aku juga masih ada rasa untukmu. Lantas bagaimana sekarang? Aku tidak ingin rumah tanggaku hancur," ujar Lingga. "Brengsek. Laki-laki brengsek," gumamku. 'Tega sekali kamu Mas ….' "Aku juga tidak ingin keluargaku hancur. Tapi rasaku padamu masih besar, Kak …," ucap Asta. "Kak, aku ingin kamu. Biarkan semua mengalir dengan sendirinya. Aku tidak mampu untuk tidak bisa memikirkanmu. Aku ikhlas meski kutahu ke depannya aku akan tesisih dan tersakiti. Biarkan aku terus mencintaimu. Aku mencintaimu, Kak," lanjutnya terdengar memaksa. Tak kuat aku pun menoleh ke belakang. Dapat kulihat mereka saling berpegangan tangan dengan erat. Setelah obrolan berlanjut diantara keduanya, mereka pun sama-sama mengambil keputusan untuk tetap melanjutkan hubungan yang salah itu. "Aku tahu, ini sangat salah. Tapi aku tak mampu