"Bukan gadis itu yang aku suka. Tapi kamu yang aku suka. Aku mencintai kamu, Rara. Bukan Dila. Aku menginginkan kamu. Tidak masalah aku mengatakan sekarang, karena mungkin esok aku tidak dapat lagi mengatakannya." Aku diam termangu, entah apa yang harus aku katakan. Bahkan aku sendiri tidak dapat mengelak kalau aku juga mencintainya. Kenapa aku jadi merasa sedih begini sih!
"Sebenarnya, malam itu, saat orang tuaku menawarkan perjodohan dengan anak rekan bisnisnya, aku tidak setuju karena sudah tertarik padamu, Ra. Namun, saat Papa menunjukkan foto gadis itu, dan aku berpikir itu kamu. Itulah kenapa aku mau menerima perjodohan itu. Ya karena aku mengira itu kamu, Ra." Lingga terlihat menarik nafas panjang. Lalu, kembali melanjutkan ucapannya. "Saat ini aku gundah. Aku ingin membatalkan pernikahan ini, tapi Dila sudah begitu besar mencintai dan menaruh harap padaku. Bukan hanya itu, semua juga telah dipersiapkan. Undangan sudah disebar. Tidak mu"Kamu serius mau menyaksikan ijab qobul mereka, Ra? Kalau tidak kuat, kita datang saat resepsi saja," ujar Mama. Kebetulan pagi ini kami sudah rapi dengan pakaian serba putih. Mama memakai Gamis putih bercorak bunga berwarna pink, sementara aku memakai kebaya putih bermodel, dengan bawahan celana Levis warna hitam. "Insya Allah, Rara kuat, Ma. Kenapa tidak kuat? Toh Lingga bukan siapa-siapa, Rara. Lagipula, kami baru pertama kali berkenalan," sanggahku. "Sudah, kalau begitu," ucap Mama. Kami pun mencari taksi agar bisa sampai ke pesta pernikahan adik tiriku itu. ***** "Pak, kita ke gedung merpati 3," ucapku kala kami sudah mend
"Menikahlah dengan Lingga!" Suara Pak Adrian terdengar. Tiba-tiba saja ia masuk kembali bersama Dila dan Tante Tania. Dila dengan wajah lemahnya menatap ke arahku penuh ketidakberdayaan. Terlihat Tante Tania menatap tajam penuh kebencian. Beberapa kali, Tante Tania mengusap air matanya. Meratap putrinya yang tengah dalam kehancuran. "Cepat putuskan! Sebentar lagi akan berdatangan para tamu dan juga penghulu!" sentak Pak Bram. "A--a-ku---." Sungguh, tiba-tiba saja lidahku terasa kelu. Mama juga hanya diam tak bergeming. "Ma," lirihku. Aku pun tidak tega menatap wajah Dila yang penuh kesedihan. "Semua keputusan ada ditangan kam
POV Tania Percuma aku ikut mengemis agar Rara mau menikah dengan Lingga. Tetap saja gadis itu sangat keras kepala. Bagaimana ini? Bahkan perusahaan kami saat ini memang sangat membutuhkan saham dari perusahaann milik Pak Bram. Gagal sudah aku mendapatkan besan dan menantu konglomerat gara-gara kehadiran Amanda. Ingin rasanya aku ini membunuhnya. Ternyata dendam akibat aku main serong dengan suaminya dulu masih ada hingga saat ini. Hanya saja, perselingkuhanku dengan suaminya saat aku masih belum mengenal Mas Adrian. Itu pun sudah cukup lama dan aku hanya bermain-main saja. Karena dengan menjadi simpanan suaminya, aku bisa mendapatkan segala sesuatu yang aku inginkan. Berbeda dengan Mas Adrian yang memang sudah kaya dari asalnya. Initinya, aku menginginkan Rara menikah dengan Lingga supaya Pak Bram tidak m
POV Lingga Jika ada seseorang bertanya, bagaimana perasaanmu? Aku akan menjawab, ada senang, dan juga ada sedih. Kenapa senang? Sebab aku tidak jadi menikah dengan perempuan yang tidak aku cintai. Lalu, apa yang membuatmu sedih? Maka aku akan menjawab, gadis yang aku cinta dan inginkan, menolak untuk menikahiku. Apa kamu akan menyerah? Aku akan menjawab, aku tidak akan menyerah. Perasaan cintaku padanya, tidak mungkin salah. Aku tahu, dia menolak pernikahan ini bukan tanpa sebab. Justru, penolakannya, membuatku semakin mengaguminya. Dengan begitu, Rara bukanlah gadis egois, dia masih memikirkan hati perasaan seseorang yang harus dijaga. Seperginya keluarga Pak Adrian dari gedung, semua keluarga meminta maaf pada tamu undangan yang hadir. Namun, mereka memaklumi. Tante Manda seakan pasang badan untuk menjawab pe
POV Tania. Seharian ini, Dila terus mengurung diri di kamarnya, ia sama sekali tidak mau berbicara ataupun makan dan minum. Apa tidak ada rasa lapar bahkan haus di perutnya? Mungkinkah rasa sakit akibat penghinaan yang diberikan oleh keluarga Lingga luar biasa menyakiti hatinya? "Ini bukan salahku! Tapi kenapa mereka menghinaku? Kenapa tidak mereka batalkan secara kekeluargaan? Bukankah mereka itu orang-orang berpendidikan?!" teriak Dila saat aku berada di depan kamarnya untuk memanggilnya makan. "Dil! Makan dulu, Sayang! Ini sudah sangat siang. Dari kemarin kamu tidak ada makan apapun!" panggilku sambil terus mengetuk pintu.
Aneh memang, kalau hanya aku yang dicerca dan disalahkan. Mereka tidak menyalahkan Mas Adrian. Dila sendiri juga seakan menghakimiku. Andai saja dia tahu, ayahnya saat ini tengah bermain curang. Setelah semuanya, apa yang kutakutkan terjadi juga. Curigaku bukan curiga tanpa alasan, beberapa kali aku menemukan nota belanjaan di kantong jas Mas Adrian, harum parfum perempuan yang menempel di pakaiannya, dan terakhir saat siang tadi aku melihatnya tengah bermesraan dengan perempuan lain. Kalau memang hanya sebatas bawahan dan atasan, tidak mungkin perempuan tadi seberani itu. Memang aku bodoh! Bahkan aku lebih paham dunia seperti itu. Dia pikir aku hanya pernah menjalin hubungan dengan pria beristri hanya dirinya? Sebelum dengannya aku juga menjadi simpanan suami orang. Jadi sudah sangat paham dengan reaksi yang seperti itu. *******
" Hati-hati, Ma," ucap Dila saat aku sudah berada di dalam taksi. "Iya. Dah, Sayang!" "Jalan, Pak. Ke jalan Surya permai," ucapku. "Baik, Bu." ®®®®®®®®®®®®®®®®®®®® Malam ini aku tengah menunggu kepulangan Mas Adrian seperti biasa. Hari sudah hampir pukul 24.00 malam, tapi dia masih belum kembali. Kalau kemarin dia sebut aku curiga tak beralasan, sekarang dia akan sebut apa jika pulang? Krek! Terdengar suara pintu terbuka. Se
Malam ini aku merasakan juga dinginnya sel penjara. Siang tadi setelah mengurus jenazah Ayahnya, Dila dan Rara datang menjengukku. Betul saja dugaanku, mereka berdua menyalahkan tindakanku yang tidak bisa berpikir panjang. Bagaimana lagi? Bahkan ini sangat menyakitkan. Penipuan Mas Adrian selama delapan tahun begitu menyakitkan. Yang kukira suamiku itu hanya milikku, ternyata milik perempuan lain di luar sana. Lagi dan lagi, Dila menyalahkanku. "Meskipun Papa melakukan kesalahan, tidak seharusnya Mama melakukan itu!" ucapnya siang tadi penuh tangis air mata. Aku paham, meskipun dia bilang membenci, tapi hatinya menyayangi. "Bahkan aku adalah seorang anak yang belum merasakan bagaimana kasih sayang dari seorang ayah." Teringat ucapan Rara, aku jadi merasa bersalah. Malam ini, aku masih terjaga, terus memikirkan Mas Adrian. Aku bodoh, seharusnya aku tidak melakukan itu. Tapi aku tidak mau disakiti. Siapa dia bisa berbuat seenaknya