Share

PART 7 (AUTHOR'S P.O.V)

Lega akhirnya ketika Ana berhasil mengembalikan kembali rekaman CCTV kantor itu ke tempat penyimpanannya. Dengan langkah pasti wanita itu pun kembali ke ruangannya. 

 

Beberapa staf yang menempati satu ruangan dengannya nampak menyapanya ramah saat dia datang. Itu pemandangan yang sudah biasa di kantor itu. Sekretaris pribadi direktur, apalagi dengan status masih single dan memiliki paras cantik akan jadi sasaran karyawan lain untuk berlomba mendekati. Dekat dengan sekretaris kesayangan bos, artinya punya akses lebih ke atasan mereka. Setidaknya mereka bisa mengandalkannya untuk menyampaikan segala keinginan lewat wanita kesayangan itu. 

 

Tapi ini baru hari kedua Ana memulai pekerjaannya. Sepertinya masih terlalu dini bagi mereka untuk mengatakan bahwa dia akan menjadi kesayangan seperti desas-desus yang beredar. 

 

"Livia, pulang kerja kita mau hangout di White Park Cafe. Kamu mau gabung sama kita kan?" tanya Linda, yang meja kerjanya tepat disampingnya. 

 

Ana mengembangkan senyum terbaiknya memandang satu per satu wajah-wajah wanita yang kini menatapnya penuh pengharapan. 

 

"Apa itu acara wajib?" tanyanya berpura-pura polos.

 

"Iya lah. Kalau kamu nggak ikut, rahasia kamu dengan boss nggak akan aman di tangan kita," sahut Linda lagi dengan senyuman menggoda. 

 

"Sayangnya, aku tidak punya rahasia apapun dengan boss," kata Ana terkekeh ringan. 

 

"Livia, ayolah. Biar kamu nggak stress sama kerjaan. Aku bisa menerawang kalau sebentar lagi kamu akan jadi bintang di kantor ini. Bintangmu nggak akan mudah redup kalau kamu gabung sama kita-kita. Ingat ya? Istri boss itu bisa melakukan apa saja untuk menyingkirkan staf-staf yang dia tidak suka. Kalau kamu gabung, kita akan jagain kamu." Itu suara Tiara, wanita centik berkacamata tebal yang jika bicara mirip seorang peramal. Serius tapi justru terlihat kocak. 

 

"Oke, aku ikut kalian," Ana menjentikkan jemarinya pada ketiga wanita di ruangan itu. Dan ketiganya; Linda, Tiara, dan Sonya langsung tersenyum puas. Lalu mereka pun kembali ke meja kerja masing-masing. Sementara Ana mulai memutar otak lagi. Apa yang akan dilakukannya setelah ini? Semalam Bondan memperingatkannya untuk berhati-hati. Afika bukan lawan yang lemah. Dia memang wanita di belakang layar, tapi kendalinya sangat besar pada Adjie. 

.

.

.

Jam sudah menunjukkan waktu makan siang saat para staf di ruangan Ana mulai meninggalkan ruangan untuk menuju ke kantin. Ana sendiri sedikit heran karena sepagian Adjie sama sekali tidak menghubunginya. Padahal menurut teman-temannya, 3 jam yang lalu lelaki itu sudah sampai di kantor. 

 

Diliriknya pesawat telepon internal di atas meja kerjanya. Ditunggunya beberapa menit sampai jarum jam tepat menunjuk pukul 12 lebih 5. Dan saat akhirnya tidak ada suara apapun terdengar dari benda itu, Ana pun beranjak bangkit, mengambil dompet dari dalam tasnya dan bermaksud keluar dari ruangan. Namun sebelum sempat dia keluar dari kursi kerjanya, tiba-tiba seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu mengagetkannya. 

 

"Pak Direktur?" Mulut Ana membulat. Mau apa lelaki itu ke ruangan staf?

 

"Ikut aku, Livia!" perintah lelaki itu tanpa basa-basi.

 

"Sekarang, Pa-ak?" tanya Ana sedikit gugup. 

 

"Iya," sahutnya cepat. Lalu bergegas meninggalkan tempatnya berdiri. 

 

Meski masih keheranan, Ana pun segera menyambar tasnya setelah mengembalikan dompet ke dalamnya. Lalu berjalan cepat menyusul sang atasan. 

 

Adjie nampak tak banyak bicara saat Ana berhasil menyusulnya saat sampai di depan lift. Bahkan di dalam lift yang hanya berisi mereka berdua, lelaki itu pun hanya membisu. Sesekali terdengar dia hanya berdehem dengan posisi tangan kanan dimasukkan ke saku celananya. Ana sedikit bingung dengan sikap suaminya itu. Namun, dia sedang berperan sebagai bawahan di sini. Dia tidak boleh terlalu lancang untuk mengurusi apa yang sedang dirasakan oleh atasannya. 

 

Saat lift membawa mereka ke lobby kantor, Adjie pun bergegas keluar dan langsung disambut security yang sudah bersiap di samping mobil mewahnya. 

 

"Masuk, Liv!" perintahnya lagi. Dan Ana pun segera masuk ke dalam mobil yang telah menunggu mereka di depan lobby itu.

 

"Apa ada acara bertemu klien, Pak?" tanya Ana saat mobil Adjie mulai meluncur meninggalkan kantor. 

 

"Apa aku harus ketemu klien dulu untuk bisa mengajakmu keluar?" 

 

"Bukan begitu maksud saya, Pak."

 

"Kita akan makan siang. Setelah itu langsung ke  tempat Donovan."

 

"Ke kantor Pak Donovan Prasetya?" Ana mengerutkan dahi. Seingatnya jadwal untuk bertemu dengan orang itu masih lumayan lama.

 

"Iya." 

 

"Tapi schedulenya masih nanti jam 15.00 Pak."

 

"Justru kita bisa menghabiskan waktu makan siang lebih lama kan?"

 

"Oooh, baiklah. Maaf kalau saya terlalu banyak bertanya," kata Livia penuh penyesalan. 

 

Hening sesaat dan kemudian terdengar helaan nafas Adjie yang begitu berat.

 

"Kamu memang benar-benar mirip Ana. Joe tidak salah."

 

"Maaf, Pak? Ana?" Livia berpura-pura tidak mengerti apa yang dikatakan sang atasan. 

 

"Istri pertamaku, yang meninggal."

 

"Oooh. Maaf, saya tidak tau dan tidak bermaksud untuk ...." ana menghentikan kalimatnya saat dilihatnya Adjie menatapnya.

 

"Dia memang terlalu penurut. Tapi persis seperti kamu, sedikit sedikit minta maaf."

 

"Itu karena saya bawahan Anda, Pak. Saya tidak seharusnya lancang. Itulah sebabnya kenapa saya harus minta maaf," sahut Ana mencoba meluruskan.

 

"Begitu ya? Hanya karena kamu bawahanku jadi kamu tidak berani padaku?" Adjie meicingka mata ke arah wanita d sampingnya.

 

"Mmmm ... maksud saya," 

 

"Bagaimana jika kamu adalah istriku? Apa kamu akan berubah jadi penentang? pembangkang?"

 

"Bukan begitu maksudnya Pak. Tentu saja seorang istri harus takut pada suaminya. Selama itu masih dalam koridor yang baik. Lain halnya jika suaminya memintanya berbuat tidak baik. Istri berhak untuk menentang."

 

"Sepertinya kamu berasal dari keluarga baik-baik, Liv."

 

"Tida juga, Pak. Hanyq saja orang tua saya selalu mengajarkan seperti itu. Seorang istri harus patuh pada suaminya, karena itu kewajiban."

 

"Lalu kenapa kamu belum menikah? Dengan pengetahuanmu tentang rumah tangga yang sebaik itu. Kamu cantik, juga cerdas. Nggak mungkin kan kamu tidak punya pacar?" 

 

"Pacar pernah, Pak. Tapi mungkin karena belum berjodoh. Jadi kami putus."

 

"Oooh begitu. Bagaimana dengan sekarang?"

 

"Maksud bapak?"

 

"Siapa pacar kamu?"

 

"Saya tidak sedang berpacaran, Pak." 

 

Adjie terkekeh senang mendengar jawaban Livia.

 

"Aku harap juga begitu. Selama kamu terikat kontrak dengan perusahaanku, kuharap kamu tida sedang memiliki hubunga dengan siapapun."

 

"Tapi saya tidak melihat ada peraturan seperti itu di surat kontrak kerja yang saya tandatangani, Pak," ujar Ana menyelidik. Dia benar-benar ingin memastikan bahwa suaminyaini sekarang telah jatuh dalam jeratannya.

 

"Itu gampang, bisa diatur. Aku akan membuatnya besok." Adjie pun lagi-lagi terkekeh. Ada binar bahagia di matanya saat meyakini bahwa Livia memang sedang sendiri. 

 

"Kita sampai," kata Adjie saat mobil berhenti di depan lobby sebuah hotel. 

 

Adjie mengajak Livia menikmati makan siang di roof top restaurant sebuah hotel ternama di kota itu. Sebuah pemborosan, pikir Ana. Hanya sekedar makan siang dengan sekretaris, suaminya itu bahkan menyewa ruangan khusus yang super mewah. Apa ini salah satu cara Adjie untuk mengesankannya? 

.

.

Satu jam kemudian di ruangan kerja staf khusus, suasana nampak tegang saat tiba-tiba seorang wanita cantik dengan sorot mata tak bersahabat masuk tanpa permisi. Semua staf berdiri dengan gugup dengan kepala menunduk.

 

"Dimana sekretaris pribadi direktur?" Suara Afika menggema ke segenap ruangan. 

 

"Sedang keluar bersama Pak adjie, Buk. Ada jadwal ketemu dengan Pak Donovan Prasetya." Tiba-tiba Linda bersuara. Dua sahabatnya yang berdiri tak jauh darinya saling lirik satu sama lain. Mereka keheranan bagaimana Linda bisa tahu jadwal direktur?

 

"Ooh, ya sudah. Silahkan lanjutkan pekerjaan kalian." Lalu wanita itu pun berlalu dengan langkah cepatnya meninggalkan ruangan.

 

"Gila kamu, Lin. Gimana bisa kamu tau kemana Livia dan Pak Adjie pergi?" tanya Sonya tak habis pikir.

 

"Tuh!" tunjuk Linda ke meja Ana. Dan terbahakkan dua sahabatnya. Ternyata ada catatan kecil Ana yang tak sengaja ditinggalkannya di atas meja tentang jadwal meeting sang direktur dengan seorang kliennya.

 

"Lagian kalau pun Livia pergi bersenang-senang dengan Pak Adjie pun aku nggak akan bocorkan sama si nenek lampir itu. Biarkan saja." Linda terkekeh riang.

 

"Dasar kamu, Lin." Sonya menoyor bahu sahabatnya.

 

"Kesel tau gak sih. Lihat aja mukanya sok berkuasa gitu. Pengen banget aku lihat dia nangis darah karena lelakinya direbut orang. Dasar nenek lampir," gerutu Linda.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status