Share

PART 6 (AUTHOR'S P.O.V)

"Kok baru pulang sih jam segini, Pa?" Afika menyambut suaminya dengan wajah cemberut di pintu kamar tamu. Hampir semalaman dia tidak bisa tidur menunggu suaminya itu pulang. 

 

"Kan sudah kubilang aku lagi sama Bondan bahas proyek baru, Ma."

 

"Iya, tapi apa nggak bisa siang aja. Kenapa mesti malem-malem gini sih meeting? Sampai hampir pagi." Afika makin cemberut.

 

"Jangan curigaan terus dong, Sayang. Aku jadi nggak nyaman kerja kalau terus dicurigai seperti ini." Adjie mulai protes. Kebiasaan Afika jika dia pulang telat memang seperti itu, curiga dan selalu mengomel. 

 

"Bukan sama sekretaris baru kamu itu kan?" sindir Afika.

 

"Siapa? Livia?"

 

"Nggak tau lah siapa namanya itu." Afika melengos. Lalu mengikuti suaminya berjalan menuju kamar mereka.

 

"Nggak usah cemburu gitu. Livia itu saudaranya Bondan. Bondan yang merekomendasikannya ke perusahaan kita,"jelas aqdjie sambil mulai melepas dasi dan kemejanya.

 

"Tapi Joe kayaknya seneng sama orang itu. Sepertinya wanita itu mengingatkan pada ibunya. Seharian tadi anakmu itu nggak berhenti mengoceh soal mantan istrimu, Pa." 

 

Adjie berdecak, sekilas memandang ke wajah sang istri yang sudah berbaring lagi di tempat tidur mereka.

 

"Joe itu hanya anak kecil. Nggak usah diambil pusing, Ma. Lagipula kamu lihat sendiri kan Ana sama Livia. Menurut kamu apa ada mirip-miripnya? Enggak kan?" Adjie terkekeh pelan.

 

"Ya memang enggak. Tapi kan sekretaris baru kamu itu cantik, Pa."

 

"Ooooh, jadi Mama cemburu nih?" godanya.

 

"Bisa nggak sih ambil sekretaris yang lain aja, J

jangan dia. Nggak usah juga yang cantik. Bikin masalah aja nanti," ujar wanita yang sekarang sudah bergelung dengan selimut tebalnya itu sewot.

 

"Dari dulu sekretarisku kan memang cantik-cantik termasuk kamu. Tapi kamu nggak pernah cemburu kayak gini lho sebelumnya, Ma. Kenapa sekarang jadi gini?" Lagi-lagi Adjie terkekeh menggoda sang istri.

 

"Yang lainnya ggak secantik yang sekarang. Lagipula dia single kan? Dua sekretarismu sebelumnya semua sudah berkeluarga. Beda dong,"protes Afika.

 

"Hmmmm, jadi maunya gimana?"

 

"Pecat aja lah, cari yang lain. Biar aku yang seleksi nanti."

 

"Nggak bisa gitu dong, Ma. Ini referensi dari Bondan. Nggak enak lah aku. Lagian proyek kami yang mau jalan bakalan besar nanti. Masa' gagal hanya karena masalah sepele aku memecat saudaranya? Nggak lucu ah."

 

"Bodo ah, Pa. Pokoknya aku nggak suka wanita itu jadi sekretaris kamu. Rasanya ada yang aneh aja sama wanita itu."

 

"Tuh kan malah kamu yang mulai aneh. Ada apa sih? Apa cuma gara-gara Joe bilang dia mirip sama mamanya trus kamu jadi uring-uringan kayak gini? Kamu masih cemburu sama Ana? Orangnya udah nggak ada lho." Adjie terus saja berusaha menggoda Afika agar berhenti dari amarahnya.

 

"Nggak tau ah bodo'." Wanita itu pun segera membalikkan badan membelakangi arah sang suami. 

 

"Ya udah tidur aja. Ngantuk itu kamu kayaknya, Ma," kekeh Adjie untuk kesekian kali.

 

Saat Afika sudah tidak menyahut kalimatnya lagi, Adjie pun mulai menuju kamar mandi privat mereka untuk membersihkan diri.

 

Pikirannya segera saja melayang pada Livia. Andai saja tadi Bondan tidak mengajak saudaranya itu pulang bersamanya, malam ini Livia pasti sudah menjadi miliknya. Jadilah sia-sia saja kamar hotel mahal yang sudah dipesannya itu malam ini. Dia harus pulang ke rumah dan kembali mendengar Afika mengoceh seperti biasa. 

 

Satu tahun hidup bersama wanita yang mendukungnya untuk menyingkirnya istri pertamanya itu, ternyata tak lantas membuat Adjie menjadi puas. Hidup satu atap dengan Afika setiap hari, melihat segala tingkah lakunya yang menurutnya kadang terlalu cerewet dan pengatur semakin lama justru membuatnya sedikit tidak betah di rumah. Satu hal lagi kenyataan tentang vonis dokter yang menyatakan bahwa Afika tidak akan bisa memberikannya keturunan membuat Adjie merasa tidak sempurna menjadi seorang suami dan laki-laki. Jiwa penguasa dan ketamakannya mulai memberontak. 

 

Usai membersihkan diri dan berganti pakaian dengan piyamanya, Adjie bergegas menuju kamar sang buah hati. 

 

Di dalam kamarnya, dilihatnya Joe sedang tertidur pulas di tempat tidurnya dengan memeluk guling berbentuk robot yang sampai sekarang tak pernah bisa lepas darinya. 

 

Guling itu dulu Ana yang membelinya saat Joe masih dalam kandungan. Lalu menjadi teman tidur Joe hingga dia tumbuh besar. Setiap malam benda itu yang menemaninya dan menjadi yang tersulit dipisahkan dari anak semata wayangnya itu. Bahkan saat akhirnya Ana pergi untuk selamanya, dan Afika mulai menyingkirkan benda-benda yang berhubungan dengan Ana di rumah ini, hanya benda itu yang tidak bisa diambil dari Joe. 

 

Pernah suatu ketika Afika memaksa pengasuh Joe untuk mengambil benda kesayangan itu dan membuangnya. Tapi kemudian hari berikutnya Joe demam dan terus saja mencari guling robotnya. Beruntung sang asisten rumah tangga yang mengasuh Joe dari kecil itu dengan cerdas menyimpan benda itu dan tidak melaksanakan perintah sang nyonya untuk membuangnya ke tempat sampah. Hingga Joe akhirnya bisa tidur dengan nyenyak lagi. Sejak itulah, Afika tak lagi mempermasalahkan benda kesayangan anak tirinya itu. 

 

Dengan lembut, Adjie mengusap pipi sang buah hati, lalu membenarkan letak selimutnya yang berantakan. Memandang Joe memang selalu mengingatkannnya pada sosok Ana. Bukan pada perasaan cintanya, karena sesungguhnya Adjie memang tak pernah mencintai wanita itu. Satu-satunya alasan dia menikahi Ana adalah harta warisan yang ditinggalkan orang tua Ana pada anak perempuan semata wayang itu. 

 

Ana dan Afika adalah sahabat dekat saat mereka kuliah. Seluruh kehidupan Ana semuanya diketahui oleh Afika. Hingga kemudian muncullah ide gila Afika untuk merebut apa yang dipunyai sahabatnya. Adjie adalah kekasihnya yang diajaknya untuk bekerja sama menyingkirkan Ana dengan cara menikahinya terlebih dahulu. 

 

Bukan rasa cinta yang membuat Adjie terkadang masih mengingat istri pertamanya itu. Tapi lebih karena rasa iba melihat anak lelakinya yang sudah tidak memiliki ibu kandung lagi sejak Ana dinyatakan meninggal waktu itu. Kadang hatinya teriris saat Joe menanyakan keberadaan sang ibu. Kerinduan anak itu seolah tak pernah hilang pada sosok Ana. Dan mungkin itulah kenapa dia tidak pernah bisa dekat dengan Afika sampai detik ini. 

 

Mungkin juga, karena Afika dan Ana adalah dua sosok yang memiliki karakter sangat berbeda. Ana adalah sosok wanita yang lemah lembut, penurut dan penyayang. Sementara Afika lebih keras dan mudah tersulut emosi. 

 

"Papa," Adjie mengerutkan dahinya saat menyadari ternyata anak lelakinya telah membuka mata di depannya. 

 

"Hei, kenapa bangun, Jagoan?" sapanya pada Joe. 

 

"Papa kenapa pulangnya lama? Joe menunggu papa." Suara serak khas bangun tidur anak itulah yang membuat Adjie selalu rindu. 

 

"Ada apa menunggu papa?" 

 

Joe kemudian bangkit dan membuka laci nakas di sebelah tempat tidurnya. Mengambil satu barang yang disimpannya di dalam laci itu. Lalu menyerahkannya pada sang papa. 

 

"Apa ini?" Adjie manerima benda itu dan mengamatinya dengan seksama. 

 

"Bibi tadi siang bersih-bersih kamar Joe, lalu menemukan itu. Kata Bibi, itu milik mama. Benar, Pa?"

 

Mendengar cerita Joe, Adjie semakin serius mengamati benda itu. Adjie tidak pernah melihat benda itu sebelumnya. Atau dia memang tidak pernah memperhatikannya selama ini?

 

"Bukalah, Pa. Ada foto mama sama aku di dalam situ," kata anak itu. 

 

Adjie pun segera membuka benda itu. Rupanya sebuah kotak musik. Saat benda itu dibukanya, suara musik classic segera mengalun mendayu memenuhi ruangan. Sementara ditengahnya foto Ana yang sedang menggendong Joe bayi terbingkai dengan benda semacam acrylic bening berputar-putar seolah sedang menari dengan iringan musik. Dan entah kenapa hati Adjie mendadak bergetar menyaksikan semua itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status