Share

Chapter 4: Cepat Hajar Dia!

"Jet itu tiba-tiba mengalami gangguan dan jatuh tak jauh dari bandara, Tuan Muda. Sekarang ini, evakuasi sedang dilakukan," ucap Edgar pelan.

Glenn tertawa. "Kau pikir aku akan percaya atas apa yang baru saja kau katakan?"

Edgar tertunduk dalam. Glenn berkali-kali menggumamkan dia tidak percaya tapi saat ia menyaksikan berita yang disiarkan secara langsung tersebut, ia tak bisa lagi mengelak dari kenyataan.

Jelas sekali disebutkan di berita tersebut jika jet pribadi yang membawa kedua orangtuanya dan beberapa kru pesawat itu telah ditemukan dan jenazah pun telah berhasil dievakuasi.

"Tuan Muda," panggil Edgar.

Glenn kesulitan berkata-kata. Tetapi ia tetap menyeret dirinya ke lokasi itu dan menyaksikan jenazah kedua orangtuanya dengan matanya sendiri.

"Siapkan pemakaman!" perintahnya pada bawahan ayahnya tersebut.

Glenn tampak terdiam sepanjang pemakaman itu digelar. Ia tak membalas ungkapan duka cita dari semua orang yang datang ke pemakaman itu.

Fero, asisten pribadinya tersebut begitu paham akan keadaan tuan mudanya saat ini dan memilih tetap berada di sampingnya.

Hanya selang beberapa jam dari upacara pemakaman itu, seorang pengacara keluarga besar Brawijaya, Angga Nayara tiba di sana.

"Apa maksudmu?" tanya Glenn yang masih mengenakan pakaian berkabungnya itu dengan marah.

Edgar membungkuk, "Sesuai perintah dari Tuan Andi, Tuan Muda. Jika terjadi sesuatu dengan beliau, pengacara harus segera mengumumkan surat wasiat."

"SINTING!" Glenn langsung berdiri.

"Aku tak mau menemuinya. Suruh dia kembali lain hari!" ujar Glenn tegas.

Edgar berkata, "Maaf, Tuan Muda. Tapi keluarga Anda yang lain sudah tiba dan sedang menunggu Anda untuk turun."

"Keluargaku yang lain? Maksudmu?"

"Tuan Satria dan keluarganya, Tuan Muda," ucap Edgar.

Glenn menghela napas panjang, "Apa yang mereka inginkan? Apakah mereka pikir mereka akan mendapatkan harta ayah ibuku?"

“Benar-benar tidak bisa dipercaya!” ujar Glenn sambil mengelengkan kepalanya, tidak mengerti.

Edgar terdiam. Ia hanya menunduk.

"Baiklah, kalau begitu. Kita lihat apa yang mereka mau," ucap Glenn kemudian.

Ia pun turun dari lantai empat dan menemui orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai keluarganya itu.

Begitu ia masuk, paman, bibi serta dua sepupunya segera menoleh ke arahnya. Angga Naraya pun ikut berdiri dan menyambutnya.

Dari semua orang itu, Glenn hanya mengangguk pada salah satu sepupunya, Armold. Saudara sepupunya yang memang tak pernah memiliki masalah dengannya sejak ia masih kecil.

Bahkan, bisa dikatakan mereka cukup dekat saat mereka masih belia. Hubungan mereka agak renggang saat Arnold dikirim belajar ke Amerika sementara ia dikirim ke Inggris.

Namun, selain karena jarak dan frekuensi pertemuan mereka yang minim, tak ada hal lain yang membuat hubungan mereka memburuk.

"Aku tidak akan bertanya bagaimana keadaanmu karena sudah pasti kau sangat kacau," ujar Arnold.

Glenn hanya mengangguk dan duduk di tempatnya. Ia tak melirik pada paman bibinya serta Narendra sama sekali. Ketiga orang itu pun hanya bisa menahan diri mereka meski sangat kesal sekali.

"Maaf, Tuan Muda. Saya terpaksa harus menyampaikan hal ini lebih awal."

"Hm."

"Ini karena perintah langsung dari Tuan Andi, Tuan Muda," lanjut Angga.

"Ya. Cepat saja!" ucap Glenn.

Angga mengangguk paham dan segera memulai.

Pikiran Glenn mulai melayang kembali ke saat-saat terakhir percakapannya dengan kedua orangtuanya selagi Angga mulai membaca surat wasiat itu. Pikirannya terbelah. Namun, ia terperanjat kaget saat ia mendengar kata-kata yang menurutnya tidak masuk akal.

"Coba ulangi bagian pembagian itu!" ujar Glenn syok.

Satria dan Astuti Brawijaya terlihat tersenyum puas.

"Semua kekayaanku akan aku berikan pada adikku satu-satunya, Satria Brawijaya," ulang Angga.

Mata Glenn menatap tak percaya, "Tidak mungkin. Pengacara, kau pasti salah membaca."

"Tidak, Tuan Muda. Memang begitulah isinya," ucap Angga.

“Mana mungkin?” ulangnya syok.

Narendra Brawijaya berkata, “Kenapa? Kau tidak terima?”

Glenn memandang sinis ke arah Narendra yang kini sedang tersenyum lebar.

Glenn ingin tertawa sekarang. Sepertinya ayah dan ibunya begitu sangat membencinya sampai-sampai mereka mencoret dirinya dari daftar alih waris mereka. Dan yang paling menyebalkan adalah, ayah ibunya malah memberikan semua harta mereka pada Satria Brawijaya yang notabene terlihat sebagai seorang penjilat sejak awal.

Apakah orangtuanya sudah tidak waras?

Glenn sangat marah saat ini. Ia mungkin akan terima jika harta ayah ibunya itu disumbangkan pada panti asuhan atau semacamnya. Itu jelas lebih masuk akal, sesuai dengan karakter orang tuanya yang memang ia tahu suka sekali melakukan kebaikan-kebaikan semacam itu.

"Sudahlah, Glenn. Kau harus terima," ujar Astuti.

Satria ikut berkata, "Ini pasti karena kau yang tak bisa mengelola perusahaan. Makanya sudah Paman katakan kalau kau seharusnya-"

"Tutup mulut Paman!" potong Glenn.

"Heh, berandal. Jaga bicaramu!" bentak Narendra.

Glenn mendekat ke arah Narendra, "Kenapa? Kau sekarang merasa senang karena keluargamu mendapatkan harta keluargaku?"

"Kau-"

"Kak, sudahlah," ujar Arnold menahan lengan Narendra yang hampir berniat memukul Glenn.

Satria berujar, "Tadinya Paman ingin membiarkanmu untuk tetap tinggal di sini untuk menghargai kakakku. Tapi sepertinya kau tidak pantas.”

“Tidak pantas kata Paman? Keluarga Paman yang tidak pantas mendapatkan semua harta keluargaku. Kalian TIDAK BERHAK!”

Glenn menatap nyalang pada Satria Brawijaya. Tatapannya berapi-api.

Satria tidak lagi menahan diri, "Sepertinya kau tak bisa menjaga tingkah lakumu, baiklah lebih baik kau pergi dari sini."

Glenn tertawa nyaring, "Punya hak apa Paman berani mengusirku dari rumahku sendiri?"

Satria menjawab, "Apa kau lupa isi surat itu tadi, Glenn?"

Glenn terbungkam. Satria langsung saja tersenyum lebar, "Semuanya menjadi milik Paman. Tentu Paman bisa mengusirmu dari sini sekarang juga."

BUGH!

Glenn melayangkan tinjunya pada Satria.

"Ayah!" seru Narendra kaget.

“Dasar tidak tahu diri!” ujar Glenn marah luar biasa.

Narendra dan Arnold menghampiri Satria dengan cepat, membantu pria itu berdiri tegak lagi.

"Kurang ajar. Pengawal, beri dia pelajaran!" Narendra memerintah.

“Jangan, Bang!” ujar Arnold.

“Jangan katamu? Berandal sialan ini sudah berani menghajar ayah kita, Arnold!” ujar Narendra sambil menuding ke arah Glenn dengan jari telunjuknya.

“Tapi tidak perlu sepert ini!” ujar Arnold lagi.

Astuti yang sedikit ketakutan berkata, “Arnold, kau mau jadi anak durhaka dengan malah membela orang sepertinya? Ayahmu baru saja dipukul.”

Arnold terdiam.

Glenn berkata, “Paman Satria pantas dipukul, Bibi.”

“Kau-“

“Ibu, tidak perlu mengajaknya berbicara,” potong Narendra.

Satria menghela napas. Ia lalu memerintah, “Pengawal, usir dia dari sini!”

Tak ada satu pun yang berani bergerak.

Narendra jengkel sehingga ia berkata lagi, “Pengawal, hajar dia!”

Glenn tertawa pelan lalu berkata, "Mereka anak buah ayahku, Ren."

Narendra membelalak marah, ia menunjuk ke semua pengawal yang berdiri mengelilingi mereka saat ini. "Kalian semua mulai detik ini anak buah kami. Apa kalian tidak dengar isi surat wasiat yang baru saja dibacakan oleh pengacara keluarga Brawijaya?"

Semua pengawal itu terlihat kebingungan. Mereka sangat bimbang. Mereka tentu mendengar tapi untuk menghajar Glenn tentu mereka kesulitan. Glenn merupakan tuan muda mereka dan mereka telah mengabdikan diri mereka selama bertahun-tahun.

"CEPAT HAJAR DIA DAN USIR DARI SINI!" bentak Narendra sudah tak sabar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Alfin Ranawijaya
baguslah...mati kau glenn
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status