Home / Horor / Kutukan Wasiat Kakek / Halusinasi Atau Nyata?

Share

Halusinasi Atau Nyata?

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2024-10-31 23:25:40

Alya merasa tubuhnya terguncang keras. Napasnya terengah, tubuhnya terasa berat dan dingin. Tangan yang mengguncang tubuhnya semakin kuat, membuatnya tersentak bangun dengan napas yang masih tersengal.

Pandangannya kabur, dan perlahan, wajah ibunya yang penuh kecemasan terlihat di depannya.

“Alya! Kamu kenapa tidur di sini? Ini 'kan meja rias almarhumah nenekmu! Kenapa kamu sampai ketiduran di sini, Nak?” tanya Tina panjang lebar, keningnya mengerut heran.

Alya hanya duduk terdiam, mengumpulkan kesadarannya yang masih tersisa. Jantungnya masih berdebar kencang, dan perasaan dingin itu seakan masih menyelimuti tubuhnya.

Ia memandang wajah ibunya yang khawatir, tetapi pikirannya melayang-layang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Apakah semuanya tadi benar-benar nyata atau hanya permainan mimpi yang menghantuinya?

"Ya Tuhan ... jadi, tadi hanya mimpi? Kenapa rasanya nyata sekali?!" batinnya.

Dengan kening berkerut dan raut wajah penuh kebingungan, Alya melirik ke arah lemari tua di sudut kamar itu. Lemari itu tertutup rapat, tampak seperti biasa, tanpa tanda-tanda pernah terbuka atau mengeluarkan suara aneh seperti yang ia ingat.

Namun, keanehan dari mimpinya barusan masih terasa begitu nyata. Aroma anyir, suara bisikan, bahkan bayangan sosok menyeramkan yang nyaris menyentuhnya.

Ibunya menatapnya dengan heran. “Alya? Kamu dengar nggak apa yang Ibu tanya?”

Alya menelan ludah, hatinya bimbang. Ia tahu, jika menceritakan apa yang baru saja dialaminya, ibunya pasti akan khawatir. Ia pun memilih untuk tidak jujur, menyembunyikan semua hal mencekam yang baru saja terjadi.

“Eh, maaf, Bu. Aku cuma ngantuk habis mandi. Tadi niatnya mau dandan, tapi nggak sengaja ketiduran di sini,” jawabnya, ragu.

“Nak, jangan tidur di sini lagi, ya? Ini 'kan meja rias almarhumah nenek. Ibu khawatir kalau kamu mengalami sesuatu yang nggak baik,” katanya sambil mengusap kepala Alya lembut. “Kalau kamu merasa ada sesuatu yang aneh atau nggak nyaman, ceritakan sama Ibu.”

Alya hanya mengangguk, berusaha menunjukkan senyuman kecil untuk menenangkan ibunya.

Namun, batinnya tetap bergemuruh, dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.

Ia kembali melirik ke arah lemari tua itu, lalu mengalihkan pandangan ke cermin di meja rias, yang sekarang memantulkan bayangan dirinya dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca.

“Sudah, yuk, kita sarapan. Mungkin kamu memang kelelahan, Nak. Jangan terlalu banyak pikiran, ya,” ujar ibunya seraya menarik tangan Alya dengan lembut, mencoba mengajaknya keluar dari kamar itu.

Namun, langkah Alya terhenti sejenak di ambang pintu.

Dalam bayangan cermin di meja rias, ia melihat sekilas seolah ada sosok lain yang berdiri di belakangnya, mengenakan pakaian serba putih dengan rambut yang tergerai.

Ia terdiam, menatap ke cermin itu dengan saksama, tapi bayangan tersebut hilang dalam sekejap, meninggalkan hanya dirinya yang terpantul dengan wajah ketakutan.

“Ada apa, Alya?” tanya Tina yang sudah lebih dulu berada di luar kamar, menyadari Alya tak ikut melangkah.

“Eh, nggak … nggak ada apa-apa, Bu,” jawab Alya terbata-bata.

Menarik napas panjang dan berusaha menenangkan dirinya, mencoba meyakinkan hatinya bahwa itu hanya halusinasi.

Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Alya tahu ada sesuatu yang salah di dalam rumah ini. Sesuatu yang tersembunyi di antara kenangan masa lalu ataupun peninggalan sang kakek, yang terus berusaha berkomunikasi dengannya melalui mimpi dan bayangan-bayangan seram.

Waktu berlalu hingga matahari beranjak tinggi. Hari itu, Alya memutuskan keluar rumah, memilih menghirup udara segar di halaman belakang karena ia tak ada pekerjaan.

Suasana di halaman belakang terasa sunyi, hanya angin lembut yang sesekali berhembus, membawa aroma tanah yang lembab. Di sini banyak pepohonan rindang, Alya yakin bisa cukup menenangkan pikirannya.

Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Paman Suhadi yang tengah membungkuk di salah satu sudut halaman. Tampak sibuk mengubur sesuatu di bawah pohon mangga tua yang sudah lama dianggap angker oleh keluarga.

"Hah, apa itu?!"

Bungkusan putih yang dilihatnya tampak besar dan mencurigakan, hampir seukuran tubuh anak kecil. Alya merasa darahnya berdesir, nalurinya berbisik bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Alya berusaha mendekat, tapi tubuhnya seperti tertahan oleh rasa takut. Hatinya berdebar kencang ketika melihat gerak-gerik Paman Suhadi yang tampak terburu-buru, seperti menyembunyikan sesuatu.

Bungkusan itu sudah setengah terkubur, hanya sedikit menyembul dari dalam tanah. Sesaat, Alya merasa seperti mencium bau bangkai yang samar tercium dari arah bungkusan itu, membuat tenggorokannya terasa kering dan perutnya mual.

"Astaga. Itu bangkai hewan atau apa, sih? Bentuknya kok, kayak ...."

Paman Suhadi menoleh tiba-tiba, seolah merasakan kehadiran keponakannya. Wajahnya tampak gelap, seperti ada sesuatu yang berat dan kelam yang disembunyikannya.

Mata mereka bertemu, dan Alya langsung mengalihkan pandangan, berusaha menahan napas, merasa ketakutan sekaligus bingung karena ketahuan.

“Lho, Alya … ngapain kamu di sini?” tanya Paman Suhadi dengan nada datar nan tajam, tatapannya menelisik penuh curiga.

“Oh, cuma jalan-jalan aja, Paman,” jawab Alya, mencoba bersikap biasa, meski suaranya sedikit bergetar.

Paman Suhadi hanya mengangguk, tetapi tatapannya tetap menusuk, membuat Alya merasa seakan-akan ia telah menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya.

Alya segera berbalik, melangkah pergi dari halaman belakang itu. Kakinya berlari pelan menuju dapur, jantungnya masih berdetak kencang, dan pikirannya dihantui rasa penasaran yang bercampur dengan kengerian.

Ia mengambil segelas air minum, meneguknya dengan harapan rasa gugup di dadanya akan sedikit mereda.

Namun, tepat saat meletakkan gelas di atas meja, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang membuat tubuhnya membeku seketika.

"Ya Tuhan ...!" pekiknya dengan mata membelalak kaget.

Di atas meja dapur, tergeletak pisau pemotong daging yang masih berlumuran darah segar. Darah itu menetes jatuh ke lantai, meninggalkan jejak yang samar, tetapi juga cukup nyata.

Bau anyir yang pekat langsung menyergap indera penciumannya, membuatnya mual dan merinding dalam waktu bersamaan.

"Bu Rahma!" Alya berteriak memanggil Asisten Rumah Tangga yang sedang berada di luar dapur.

Tak lama kemudian, Bu Rahma muncul dengan ekspresi heran. "Iya, Non Alya? Ada apa?"

Alya menunjuk pisau itu, suaranya tercekat saat bertanya, "ini ... bekas apa, Bu? Kenapa bisa banyak sekali darahnya? Baunya sangat menyengat. Apa ini habis dipakai untuk memotong daging? Daging apa yang darahnya kental banget kayak gini? Kenapa nggak dibersihkan?"

ART itu terdiam sejenak, raut wajahnya tampak canggung, seolah menimbang apakah ia harus menjawab atau tidak.

Namun, akhirnya, ia membuka suara, "itu tadi dipakai Pak Suhadi, Non. Katanya jangan dibersihkan, biar nanti Pak Suhadi sendiri yang bersihkan."

Alya tersentak mendengar jawaban itu. Pikirannya langsung melayang pada apa yang dilihatnya tadi di halaman belakang.

Rasa takut kini semakin menggulung di dadanya, membuat napasnya memburu tak karuan. Apa yang sebenarnya dilakukan Pamannya? Dan darah ini ... apa mungkin ada hubungannya dengan yang dikubur tadi?

"Semuanya makin aneh dan nggak masuk akal. Aku bisa gila lama-lama!" batinnya berteriak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ghea
buat Alya kuat dong thor
goodnovel comment avatar
Cahyanii98
ngeri bgt bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 74

    Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 73

    Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 72

    Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 71

    “Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 70

    Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 69

    Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 68

    Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 67

    Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 66

    Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status