"Ini tanda dari leluhur, Nak. Tolong mengertilah ...."
Alya mendesah panjang setelah mendengar perkataan ibunya, semua itu terasa seperti takhayul belaka baginya. Dengan nada menahan kesal, ia berkata, “Bu, kita ini hidup di zaman modern! Mana mungkin leluhur-leluhur itu masih bisa mengganggu kehidupan kita?” Ibunya berusaha menahan Alya, tapi ia melepaskan diri dan berjalan kembali ke kamarnya tanpa memedulikan teriakan ibunya yang meminta agar ia berhenti. Setibanya di kamar, Alya menyambar handuk dan perlengkapan mandi, berniat mandi di kamar mandi yang ada di kamar almarhum Kakek Suroto. Kamar mandi di sana lebih jarang digunakan, sehingga ia berharap akan lebih tenang. Suasana kamar almarhum kakeknya terasa sunyi, lebih dingin dari biasanya, seolah ada hawa asing yang mengintip dari sudut-sudut ruangan. Ia menutup pintu kamar mandi dengan sedikit perasaan tak nyaman, tapi ia mengabaikannya. Setelah menghidupkan shower, ia memejamkan mata, membiarkan air hangat mengguyur tubuhnya. "Belum juga tujuh hari kematianmu, Kek. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Seakan-akan kedamaian rumah ini ikut pergi bersamamu," batinnya. Di tengah guyuran air, aroma anyir perlahan menyeruak, membangkitkan rasa tak enak di dadanya. Semakin lama, baunya semakin menyengat, menusuk hidung, mirip seperti bau darah. Sekilas, ia merasa air yang mengalir terasa lebih kental, nyaris seperti cairan pekat yang mengalir pelan di kulitnya. Pikiran buruk mulai mengganggu, membuatnya membuka mata perlahan. Namun, begitu ia melirik ke arah shower, tak ada yang aneh, airnya bening seperti biasa. "Ah, hanya perasaanku saja." Menarik napas lega, tapi sudut matanya tiba-tiba menangkap sesuatu. Sesosok tinggi besar berdiri di sudut kamar mandi, berpakaian serba putih, dengan wajah yang kabur, samar-samar terlihat di bawah rambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Alya menahan napas, jantungnya berdegup kencang. "Mungkin ini cuma salah lihat, masih ada busa di mataku,” batinnya, menahan diri agar tak langsung berteriak. Dengan tangan gemetar, ia mengusap wajahnya, memastikan setiap busa shampo hilang dari matanya. Setelah merasa bersih, ia membuka mata lebar-lebar, berharap sosok itu hanyalah bayangan semu. Saat ia menoleh ke sudut kamar mandi, sosok tersebut benar-benar sudah menghilang. Ia mencoba mengatur napas, tapi aroma yang lebih kuat kini menyeruak masuk. Bukan lagi aroma anyir, melainkan bau melati yang menyengat, datang entah dari mana. Seketika, bulu kuduk Alya berdiri, dan rasa dingin menjalar di sepanjang tulang belakangnya. Ia tak lagi merasa nyaman, seolah ada sesuatu yang menunggu di dalam kamar mandi itu, mengintainya dalam diam. "Ya Tuhan ... apa lagi ini? Apa ibu naruh bunga melati lagi?" Alya bergegas menyelesaikan mandinya, tubuhnya bergetar akibat hal menyeramkan yang baru saja dialaminya. Ia cepat-cepat mengenakan pakaian, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdentum keras, seperti ketukan berirama yang mengisi kesunyian pagi ini. Di depan meja rias tua milik mendiang neneknya, Alya duduk dan mulai berdandan. Namun, saat menatap cermin, sosok menyeramkan berbaju putih dengan wajah penuh bercak darah dan rambut panjang tergerai tampak di sana, seolah tertarik angin. Jantung Alya seakan terhenti. Sosok itu terlihat menjijikkan, wajahnya dipenuhi luka koreng, dan sepasang mata melotot tajam, mengerikan. "Ini masih pagi. Nggak mungkin ada hantu, dulu juga nggak pernah ada apa-apa. Ah, apa aku sudah terlalu capek sampe sering halusinasi gini?!" Alya memejamkan mata sejenak, berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi. Saat ia membuka mata, sosok itu telah hilang, tetapi masih meninggalkan bekas ketakutan di hatinya. "Ini semua hanya ilusi." Belum sempat ia menenangkan diri sepenuhnya, suara ketukan lembut kini terdengar dari arah lemari tua milik sang kakek. Ketukan itu awalnya pelan, tapi semakin lama semakin keras, menembus kesunyian yang membuat bulu kuduknya kembali meremang. Alya menatap lemari itu, berusaha mengendalikan rasa ingin tahunya. "Siapa yang mengetuk? Logikanya nggak mungkin di dalam sana ada orang." Ketukan itu seolah mengundangnya, menariknya ke dekat lemari. Suara itu semakin mendesak, seolah ada sesuatu yang terkurung di dalamnya, meminta untuk keluar. Dengan langkah ragu, Alya beranjak dari duduk dan berjalan mendekat. Lemari itu tiba-tiba goyang, dan pintunya terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan kotak kayu tua yang seharusnya sudah diletakkan dengan aman di dalamnya, terbungkus tumpukan baju. Alya terperanjat, mulutnya menganga. "Aku ingat jelas menaruhnya di dalam!" Darahnya berdesir dingin saat melihat kotak kayu itu berada tepat di depan matanya, seolah menantangnya untuk membuka dan melihat apa yang ada di dalamnya. Rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk, membentuk kegelisahan yang mendalam. Dengan tangan bergetar, Alya meraih kotak kayu itu, berusaha memberanikan diri. Aroma melati yang menyengat menyeruak, menyelimuti udara sekelilingnya, menambah suasana mencekam. "Isinya masih sama, surat yang aku nggak tahu siapa yang nulis. Sama gelang perak yang mungkin milik nenek. Tapi kenapa tiba-tiba muncul lagi di hadapanku seperti kemarin?" gumamnya ragu. Saat ia membuka surat itu, suara berbisik halus kembali terdengar di telinganya, kali ini lebih jelas. "Nduk ... sudah waktunya ...." suara itu sangat lirih berembus layaknya angin, menggetarkan jiwanya, membuat napasnya tercekat. Lampu kamar tiba-tiba berkedip-kedip, menciptakan bayangan menyeramkan di sekelilingnya. "Ayo sama kami, Nduk, cah ayu ...." Suara itu diikuti cekikikan yang entah dari mana asalnya, Alya hanya mampu diam mematung mencengkram kuat kotak kayu itu. Kepalanya mendongak, bayangan sosok berbaju putih muncul kembali di sudut ruangan, lebih jelas dari sebelumnya. Kini sosok itu melayang perlahan ke arahnya, wajahnya masih kabur dan senyumnya menampakkan sesuatu yang sangat mengerikan. Dengan perasaan mencekam, Alya terpaksa memejamkan matanya, berharap semua ini hanya mimpi buruk. "Ya Tuhan ... tolong aku!" teriaknya dalam hati. Detik berikutnya, matanya terbuka lagi, sosok itu semakin dekat, dan aroma melati semakin menyengat, menggantikan udara segar. Alya terperanjat dan berusaha mundur, tapi kakinya terasa berat, seolah terikat pada lantai yang dingin. "Ayo ikut kami, cah ayu ... awakmu wangi. Wes ditunggu sama yang lain. Ayo, Nduk ...!" Sosok itu tersenyum, dan saat itu juga, lampu padam total, menyisakan kegelapan yang pekat dan mencekam. "A-apa ini, Ya Tuhan ...," batinnya, masih menganggap ini hanya halusinasi semata. Alya memilih memejamkan mata, batinnya melayangkan doa berharap bisa menembus langit dan Tuhan akan menolongnya. Detik waktu berjalan sangat lambat, kesunyian semakin erat memeluknya saat tangan dingin berbau anyir menyentuh pipinya. Air matanya menitik, takut akal sehatnya hilang mendapati kengerian yang tak bisa diterimanya. "Mau datang sendiri, atau kami jemput untuk ritualnya, Nduk? Darahmu wangi, dan tubuhmu yang masih suci ini ... akan menjadi inang untuk kami kembali hidup!" Tawa menggelegar mengiringi bisikan itu, membekukan tubuh Alya dalam kengerian yang tak terperi.Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban
Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.
Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga
“Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram
Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me
Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah