Share

Akhir dari Sebuah Liburan

            Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.

**

“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”

“Lagi pula, tak ada yang bisa menghindari kejadian ini kan? Pertemuan kita saja bukan sesuatu yang tak disangka, kurasa.”

“Hmmmm...,” aku mencoba berpikir sejanak, “Kurasa, ini juga yang membuatmu menjadi pilihan pertama dari Mas Kurnia.”

“Lalu? Bagaimana sekarang?”

“Selama kubah waktu ini bercahaya, kita akan aman-aman saja! Tapi, kubah ini menghilang, hanya ada dua pilihan yang kita punya, mengalahkan semua makhluk yang sebeentar lagi akan keluar dari retakan itu atau melarikan diri ke masa yang berbeda.”

“Seperti mimpi saja ya! Kita bisa menjelajahi waktu? Gimana caranya?” matanya berbinar bukan seperti manusia yang hidupnya terancam. Pada sinar bola matanya itu tersimpan kehausan akan petualangan besar yang sudah sejak lama dinantikan.

“Aku sih bisa Mas? Hmmm. Tapi, kalau Mas Gavin gimana ya? Mas bisa meyakini ucapanku gak ya? Tapi, jam pasir di pipimu kosong gak ada isinya,” aku tiba-tiba tenggelam dalam analisa yang tak berujung dan seperti kehilangan semangat, aku tak tahu harus bagaimana. Apakah kami terpaksa harus melawan makhluk-makhluk yang sebentar lagi akan keluar?

“Tunggu-tunggu, sudah kuduga kamu bukan perempuan biasa. Apalagi sejak aku melihat bayanganmu kemarin malam di antara pohon beringin Alun-alun Utara. Lalu, jam pasir di pipiku? Gimana? Aku semakin penasaran ini? Kita bisa menjelajah waktu kan?” serbuan pertanyaannya membuatku tak bisa mengambil napas untuk sekedar berpikir kembali. Ia seperti anak kecil yang menginginkan begitu banyak jajanan.

Belum sempat aku menjawabnya, retakan ruang dan waktu semakin melebar. Dari yang hanya sesayat serupa kedipan kelopak mata, pelan-pelan menjadi sepanjang tongkat pramuka. Ukuran panjang itu membentu garis vertikal dan dari segari itu terjadi sebuah gerakan horizontal, serupa irai dari hotel mewah yang memiliki remot otomatis untuk membukanya. Guratan dari terbukanya garis itu tidaklah selurus penggaris guru matematika, lebih kepada gaya latihan seorang anak TK yang mencoba membuat sebuah garis, namun keseimbangan tangannya yang belum terlatih membuat garis itu tak benar-benar lurus. Bergeriji, bergelombang, dan bebercak – sebab tak ada tinta dari seorang anak TK yang berakhir pada satu tempat saja. Dulunya aku pernah heran, mengapa tak ada keseimbangan daalam gerakan tangan mereka – kini aku justru sadar, anak-anak itu sanggup menguasai apa saja.

“Mas... coba perhatikan pipi kiriku!”

Ketika tatapannya mendekat, kurasa hanya tersisa satu setengah jengkal dari pipiku – ketika itu pula sebuah langkah menimbulkan getaran menakjubkan pada kubah yang melindungi kami. Sekilas, aku pun melihat apakah kubah ini akan mampu melindungi kami dari mereka. Sayatan ruang dan waktu di sekitar kubah ini terlalu banyak, setidaknya ada sepuluh yang bisa kulihat.

“Mana sih Cam?” aku tak berani menoleh kepadanya, ini posisi yang cukup berbahaya.

“Ya di situ Mas!” kukatakan begitu saja, untuk seklai lagi melihat sekeliling kami yang menujukkan setengah tubuh dari makhluk itu telah melewati sayatan ruang dan waktu. Sepasukan berzirah besi merah. Pada sepatu besi mereka terdapat sulur-sulur besi berwarna hitam yang melilit kaki mereka sampai paha atas. Baju zirah merah itu tampak pula memiliki sisik platina yang tajam. Rasa-rasanya dengan hanya menyentuhnya saja, tangan kami bisa berdarah. Hanya ada dua bagian tubuh mereka yang tidak terlihat berbahaya. Sejengkal lengan tangan sebelum pergelangan dan leher mereka.

“Oh yang itu ya?” napas Mas Gavin terasa begitu hangat di dekat piki kiriku.

“Iya Mas yang itu,” bodoh. Tiba-tiba saja aku malah menoleh. Wajahnya terlihat begitu dekat. Napasnya yang menyentuh pelipis matak tak memberiku rasa yang menjengkelkan. Aku justru menikmati hembusan hangat itu, dan itulahyang membuatku semakin malu. Rona merah jambu di pipiku rasa-rasanya sudah menyeruak. Namun, yang membuatku kikuk justru bukan itu, aku melihat rona merah jambu itu di iris matanya yang tampak melebar. Perasaan apa ini? Aku seperti pernah melihat sinar matanya entah di mana dan kapan.

“Lalu?” begitu saja katanya.

“Ah... em... begini... em!” aku tak sanggup menyembunyikan tingkah kikukku lebih lama lagi.

“Lalu?” begitu lagi katanya.

“Haahhh!” sehembus napas berusaha kukeluarkan secara paksa untuk sekedar memberiku waktu sebelum kata-kata bisa kekularkan, “Ketika kita membayangkan suatu masa, akan ada sebutir pasir yang menetes dari satu tabung kaca ke tabung lainnya. Sebutir pasir itu menjadi tiket yang mengantarkan kita ke masa itu. Namun itulah yang kubingungkan, aku tak melihat ada sebutir pasir pun di pipimu Mas.”

Brang... brang... langkah mereka semakin dekat dan tatapan berwarna merah itu bermaksud mengintimidasi kami dengan cara apapun yang mereka mampu. Sebilah tombak merekaa keluarkan dari balik punggung dan dengan sebuah sabetan keras prang... kubah yang meindungi kami pun bergetar.

“Lalu, bagaimana pasir itu bisa muncul pada siluet jam pasir-mu Cam?” ia tak menghiraukan apa yang baru saja terjadi.

“Mas gak takut dengan mereka?”

“Hmmm... takut sih! Tapi, kurasa aku masih bisa melawan mereka,” katanya dengan tatapan mata tajam dan senyum simpul.

“Baiklah! Setidaknya kurasa aku tak perlu mengkhawatirkanmu!” ucapku yang beradu dengan suara getaran kubah yang tak henti-hentinya mereka pukul dengan tombak tajam. Sehelanapas kucoba untuk menenangkan diriku dan menyiapkan sebuah gerakan dalam pikiranku, jika saja sewaktu-waktu kubah ini pecah dan mau tak mau harus melawan mereka. Setelah napas itu, kata-kata berhasil kurangkai, “Aku hanya tahu, aku terlahir dengan siluet jam pasir ini. Dari kecil, kami yang terbiasa berkendara di aliran waktu bisa merasakan butiran pasir itu seperti jatuh dari satu titik ke titik lain di pipi. Tentu saja, ada yang tidak berbentuk jam pasir sepertiku, ada pula yang berwujud sebagai timbangan. Yah, semua makhluk seperti kami memiliki siluet waktu yang berbeda.”

“Hmmm... kurasa aku sudah tahu garis besarnya! Berarti aku juga makhluk waktu ya! Seharusnya aku bisa merasakannya,” ia nampak berpikir dan harus kusela sebelum harapannya terlalu jauh.

“Setiap manusia yang lahir memiliki tanda di tubuhnya kan? Itulah siluet yang kumaksud. Dalam kasus sebagai manusia, tanda lahir bisa berfungsi sebagai jimat, yang membuat manusia itu disegani, ditakuti, dicampakkan, atau yang melahirkan sifat mereka sebagai manusia penuh kebaikan, senyum yang tak tertolak, atau pendendam.”

“Oh... aku semakin tahu sekarang! Baik, kurasa kita bisa melakukannya!”

Prang... kubah yang melindungi kami pun pecah dan sejurus langkah sebilah tombak hendak memotong leher Mas Gavin. Slep... dalam sebuah gerakan ringkas ia menunduk dalam posisi push-up. Slap... tanpa memberi kesempatan Zirah Merah itu pun mendapatkan tendangan dari lompatan yang ditumpu kedua tangan Mas Gavin.

“Bagaimana kalau kita pergi ke tahun 2015, Festival Teater Yogyakarta, 23 September tepatnya. Kau bisa ke sana kan?”

“Mas Gavin yakin bisa melakukan lompatan waktu?” pertanyaanku hanya dibalasnya dengan senyuman.

Prang... ketika sebilah tombak itu hendak menyentuhku datang, aku melakukan sebuah langkah horizontal, membuat waktu di sekitarku berhenti. Begitu saja dan aku memposisikan diri di belakang Zirah Merah yang menyerangku. Splash... sebuah pisau transparan kumunculkan dari telapak tanganku, kutusukkan ke punggungnya dan Zirah Merah itu pun tersungkur.

“Wow... jadi begitu caranya!” kata Mas Gavin sembari melakukan tendangan memutar untuk mematahkan leher lawan yang hendak melemparkan tombak ke arahnya.

Burmmmm... seorang bertubuh besar dengan zirah yang serupa pasukan lainnya pun datang, memberikan tatapan yang lebih tajam kepada kami. Dari tombaknya itu keluar semburan api yang membuat aspal menjadi debu.

“Kurasa, sudah saatnya kita melompat Cam!”

“Sekali lagi, Mas Gavin yakin?”

“Ayo melompat Cam!” ucapnya dengan sebuah senyum simpul.

Swush.

**

Swush.

Aku sudah sampai di waktu yang ia maksudkan. Taman Budaya Yogyakarta, keramaian yang menyenangkan – begitulah yang kupikirkan. Di antara keramaian itulah, aku meihat sosoknya, rasa khawatir yang sebelumnya ada pelan-pelan lenyap. Sehembus udara hendak melewaati rongga mulutku. Ketika itu, aku bermaksud menyapanya. Namun, ada yang janggal, Mas Gavin yang kukenal sekarang tidak berambut gondrong, tidak juga memakai bando untuk menjegah rambut panjangnya itu berkibar bebas. Mas Gavin yang kukenal sekarang berambut cepak dan rapi. Gawat, sepertinya ia tidak berhasil melompat.

“Hei...!” suara yang datang bersama sentuhan di bahu kananku itu membuat napasku terbata. Di sisi lain, aku tak mau berharap apakah yang kubayangkan akan menjadi nyata. Pertanyaan ringkasku barusan pun berhenti tanpa jawaban.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status