Home / All / LANGIT KABUT CAMELIA / Akhir dari Sebuah Liburan

Share

Akhir dari Sebuah Liburan

Author: Emhaf
last update Last Updated: 2021-07-25 19:12:53

            Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.

**

“Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”

“Lagi pula, tak ada yang bisa menghindari kejadian ini kan? Pertemuan kita saja bukan sesuatu yang tak disangka, kurasa.”

“Hmmmm...,” aku mencoba berpikir sejanak, “Kurasa, ini juga yang membuatmu menjadi pilihan pertama dari Mas Kurnia.”

“Lalu? Bagaimana sekarang?”

“Selama kubah waktu ini bercahaya, kita akan aman-aman saja! Tapi, kubah ini menghilang, hanya ada dua pilihan yang kita punya, mengalahkan semua makhluk yang sebeentar lagi akan keluar dari retakan itu atau melarikan diri ke masa yang berbeda.”

“Seperti mimpi saja ya! Kita bisa menjelajahi waktu? Gimana caranya?” matanya berbinar bukan seperti manusia yang hidupnya terancam. Pada sinar bola matanya itu tersimpan kehausan akan petualangan besar yang sudah sejak lama dinantikan.

“Aku sih bisa Mas? Hmmm. Tapi, kalau Mas Gavin gimana ya? Mas bisa meyakini ucapanku gak ya? Tapi, jam pasir di pipimu kosong gak ada isinya,” aku tiba-tiba tenggelam dalam analisa yang tak berujung dan seperti kehilangan semangat, aku tak tahu harus bagaimana. Apakah kami terpaksa harus melawan makhluk-makhluk yang sebentar lagi akan keluar?

“Tunggu-tunggu, sudah kuduga kamu bukan perempuan biasa. Apalagi sejak aku melihat bayanganmu kemarin malam di antara pohon beringin Alun-alun Utara. Lalu, jam pasir di pipiku? Gimana? Aku semakin penasaran ini? Kita bisa menjelajah waktu kan?” serbuan pertanyaannya membuatku tak bisa mengambil napas untuk sekedar berpikir kembali. Ia seperti anak kecil yang menginginkan begitu banyak jajanan.

Belum sempat aku menjawabnya, retakan ruang dan waktu semakin melebar. Dari yang hanya sesayat serupa kedipan kelopak mata, pelan-pelan menjadi sepanjang tongkat pramuka. Ukuran panjang itu membentu garis vertikal dan dari segari itu terjadi sebuah gerakan horizontal, serupa irai dari hotel mewah yang memiliki remot otomatis untuk membukanya. Guratan dari terbukanya garis itu tidaklah selurus penggaris guru matematika, lebih kepada gaya latihan seorang anak TK yang mencoba membuat sebuah garis, namun keseimbangan tangannya yang belum terlatih membuat garis itu tak benar-benar lurus. Bergeriji, bergelombang, dan bebercak – sebab tak ada tinta dari seorang anak TK yang berakhir pada satu tempat saja. Dulunya aku pernah heran, mengapa tak ada keseimbangan daalam gerakan tangan mereka – kini aku justru sadar, anak-anak itu sanggup menguasai apa saja.

“Mas... coba perhatikan pipi kiriku!”

Ketika tatapannya mendekat, kurasa hanya tersisa satu setengah jengkal dari pipiku – ketika itu pula sebuah langkah menimbulkan getaran menakjubkan pada kubah yang melindungi kami. Sekilas, aku pun melihat apakah kubah ini akan mampu melindungi kami dari mereka. Sayatan ruang dan waktu di sekitar kubah ini terlalu banyak, setidaknya ada sepuluh yang bisa kulihat.

“Mana sih Cam?” aku tak berani menoleh kepadanya, ini posisi yang cukup berbahaya.

“Ya di situ Mas!” kukatakan begitu saja, untuk seklai lagi melihat sekeliling kami yang menujukkan setengah tubuh dari makhluk itu telah melewati sayatan ruang dan waktu. Sepasukan berzirah besi merah. Pada sepatu besi mereka terdapat sulur-sulur besi berwarna hitam yang melilit kaki mereka sampai paha atas. Baju zirah merah itu tampak pula memiliki sisik platina yang tajam. Rasa-rasanya dengan hanya menyentuhnya saja, tangan kami bisa berdarah. Hanya ada dua bagian tubuh mereka yang tidak terlihat berbahaya. Sejengkal lengan tangan sebelum pergelangan dan leher mereka.

“Oh yang itu ya?” napas Mas Gavin terasa begitu hangat di dekat piki kiriku.

“Iya Mas yang itu,” bodoh. Tiba-tiba saja aku malah menoleh. Wajahnya terlihat begitu dekat. Napasnya yang menyentuh pelipis matak tak memberiku rasa yang menjengkelkan. Aku justru menikmati hembusan hangat itu, dan itulahyang membuatku semakin malu. Rona merah jambu di pipiku rasa-rasanya sudah menyeruak. Namun, yang membuatku kikuk justru bukan itu, aku melihat rona merah jambu itu di iris matanya yang tampak melebar. Perasaan apa ini? Aku seperti pernah melihat sinar matanya entah di mana dan kapan.

“Lalu?” begitu saja katanya.

“Ah... em... begini... em!” aku tak sanggup menyembunyikan tingkah kikukku lebih lama lagi.

“Lalu?” begitu lagi katanya.

“Haahhh!” sehembus napas berusaha kukeluarkan secara paksa untuk sekedar memberiku waktu sebelum kata-kata bisa kekularkan, “Ketika kita membayangkan suatu masa, akan ada sebutir pasir yang menetes dari satu tabung kaca ke tabung lainnya. Sebutir pasir itu menjadi tiket yang mengantarkan kita ke masa itu. Namun itulah yang kubingungkan, aku tak melihat ada sebutir pasir pun di pipimu Mas.”

Brang... brang... langkah mereka semakin dekat dan tatapan berwarna merah itu bermaksud mengintimidasi kami dengan cara apapun yang mereka mampu. Sebilah tombak merekaa keluarkan dari balik punggung dan dengan sebuah sabetan keras prang... kubah yang meindungi kami pun bergetar.

“Lalu, bagaimana pasir itu bisa muncul pada siluet jam pasir-mu Cam?” ia tak menghiraukan apa yang baru saja terjadi.

“Mas gak takut dengan mereka?”

“Hmmm... takut sih! Tapi, kurasa aku masih bisa melawan mereka,” katanya dengan tatapan mata tajam dan senyum simpul.

“Baiklah! Setidaknya kurasa aku tak perlu mengkhawatirkanmu!” ucapku yang beradu dengan suara getaran kubah yang tak henti-hentinya mereka pukul dengan tombak tajam. Sehelanapas kucoba untuk menenangkan diriku dan menyiapkan sebuah gerakan dalam pikiranku, jika saja sewaktu-waktu kubah ini pecah dan mau tak mau harus melawan mereka. Setelah napas itu, kata-kata berhasil kurangkai, “Aku hanya tahu, aku terlahir dengan siluet jam pasir ini. Dari kecil, kami yang terbiasa berkendara di aliran waktu bisa merasakan butiran pasir itu seperti jatuh dari satu titik ke titik lain di pipi. Tentu saja, ada yang tidak berbentuk jam pasir sepertiku, ada pula yang berwujud sebagai timbangan. Yah, semua makhluk seperti kami memiliki siluet waktu yang berbeda.”

“Hmmm... kurasa aku sudah tahu garis besarnya! Berarti aku juga makhluk waktu ya! Seharusnya aku bisa merasakannya,” ia nampak berpikir dan harus kusela sebelum harapannya terlalu jauh.

“Setiap manusia yang lahir memiliki tanda di tubuhnya kan? Itulah siluet yang kumaksud. Dalam kasus sebagai manusia, tanda lahir bisa berfungsi sebagai jimat, yang membuat manusia itu disegani, ditakuti, dicampakkan, atau yang melahirkan sifat mereka sebagai manusia penuh kebaikan, senyum yang tak tertolak, atau pendendam.”

“Oh... aku semakin tahu sekarang! Baik, kurasa kita bisa melakukannya!”

Prang... kubah yang melindungi kami pun pecah dan sejurus langkah sebilah tombak hendak memotong leher Mas Gavin. Slep... dalam sebuah gerakan ringkas ia menunduk dalam posisi push-up. Slap... tanpa memberi kesempatan Zirah Merah itu pun mendapatkan tendangan dari lompatan yang ditumpu kedua tangan Mas Gavin.

“Bagaimana kalau kita pergi ke tahun 2015, Festival Teater Yogyakarta, 23 September tepatnya. Kau bisa ke sana kan?”

“Mas Gavin yakin bisa melakukan lompatan waktu?” pertanyaanku hanya dibalasnya dengan senyuman.

Prang... ketika sebilah tombak itu hendak menyentuhku datang, aku melakukan sebuah langkah horizontal, membuat waktu di sekitarku berhenti. Begitu saja dan aku memposisikan diri di belakang Zirah Merah yang menyerangku. Splash... sebuah pisau transparan kumunculkan dari telapak tanganku, kutusukkan ke punggungnya dan Zirah Merah itu pun tersungkur.

“Wow... jadi begitu caranya!” kata Mas Gavin sembari melakukan tendangan memutar untuk mematahkan leher lawan yang hendak melemparkan tombak ke arahnya.

Burmmmm... seorang bertubuh besar dengan zirah yang serupa pasukan lainnya pun datang, memberikan tatapan yang lebih tajam kepada kami. Dari tombaknya itu keluar semburan api yang membuat aspal menjadi debu.

“Kurasa, sudah saatnya kita melompat Cam!”

“Sekali lagi, Mas Gavin yakin?”

“Ayo melompat Cam!” ucapnya dengan sebuah senyum simpul.

Swush.

**

Swush.

Aku sudah sampai di waktu yang ia maksudkan. Taman Budaya Yogyakarta, keramaian yang menyenangkan – begitulah yang kupikirkan. Di antara keramaian itulah, aku meihat sosoknya, rasa khawatir yang sebelumnya ada pelan-pelan lenyap. Sehembus udara hendak melewaati rongga mulutku. Ketika itu, aku bermaksud menyapanya. Namun, ada yang janggal, Mas Gavin yang kukenal sekarang tidak berambut gondrong, tidak juga memakai bando untuk menjegah rambut panjangnya itu berkibar bebas. Mas Gavin yang kukenal sekarang berambut cepak dan rapi. Gawat, sepertinya ia tidak berhasil melompat.

“Hei...!” suara yang datang bersama sentuhan di bahu kananku itu membuat napasku terbata. Di sisi lain, aku tak mau berharap apakah yang kubayangkan akan menjadi nyata. Pertanyaan ringkasku barusan pun berhenti tanpa jawaban.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Jam Pasir di Ujung Perburuan

    Sudah empat dari sepuluh makhluk yang terkumpul. Nantinya, setelah semuanya terkumpul akan terbit sepuluh pilar yang menyangga perputaran waktu. Sekarang, semua yang tampak aman dalam aliran waktu hanyalah jalur semu. Rasa aman dan nyaman hanyalah dimiliki oleh para makhluk yang ketakutan. Sementara, mereka yang paham bahwa tak ada yang aman dalam setiap langkah dapat menerima keabadian. Mengapa demikian? Bisa kubayangkan pertanyaan itu yang akan dilontarkan semua makhluk. Tidakkah kau, kalian, berpikir bahwa dalam rasa aman yang ada hanyalah rayuan? Padahal, kapan saja kau bisa tersandung kerikil kecil dan terluka karenanya. Padahal, dalam sebuah tidur panjang siapa saja bisa menghadapi kematian. Paddahal, dalam setiap makanan bisa jadi menimbulkan penyakit bukan?Lihatlah para makhluk penghuni lipatan dimensi, ketika kesepuluh pilar itu telah berkumpul, akan kutunjukkan siapa Aku!

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Elang dan Landak Hari ini Bersahabat

    Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Para Pemburu yang Membisu, Para Pemburu yang Menyeringai

    Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Lentara di Persimpangan Jalan

    Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Dari Sini Kita Baru Benar-Benar Melangkah

    Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Deja Vu

    Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status