Share

Pertemuan Dua Masa

Allahu Akbar... Allahu Akbar...

Laa Ilaa Ha Illallah

Sentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.

Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.

Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukankah sosok itu sama?

Air kran bersungai di kedua kakiku, membangkitkan geraknya yang mula-mula. Keduanya tahu, seusai sujud keempat dan salam sapa kepada Tuhan sebelum kokok ayam membuka tabir langit, kakinya harus melangkah.

Setelah semua aliran itu usai langkahku menuju peraduan dengan menyerahkan rangkaian sujud kepada Tuhan tak boleh kugunakan untuk memikirkan hal lain. Inilah saatnya aku berserah kepada-Nya, tentang segala ingatan yang tentu saja adalah milik-Nya. Kepada kuasa-Nya untuk menunjukkan segala macam yang dirahasiakan.

**

Sebuah aliran basah dengan bau tak sedaplah yang sejatinya membangunkanku. Cahaya di kamarku tetap terang seperti sebelumnya. Rasa tak nyaman di punggungku, bagaimana pun ini kebodohanku. Bisa-bisanya tertidur di atas meja hanya karena memikirkan seorang lelaki yang bahkan sepertinya baru kukenal namanya. Tapi, memang aneh sih gelagatnya sangatlah tak asing. Lama sekali, jauh di pembukaan petualanganku sebagai pesuruh di dimensi para penjaga waktu.

Hari-hari yang kuhabiskan hanya untuk menanti kapan datangnya retakan terakhir untuk kutambal, sehingga purnalah tugasku dan aku bisa memilih untuk melakukan apa saja. Banyak yang tergiur untuk tetap berada dalam satuan pasukan waktu, menerima gaji yang besar dengan tiga kali kesempatan cuti setiap retakan waktu yang ditambal. Ditambah lagi, keabadian, membuat mereka bisa memilih usia prima yang mana yang diinginkan. Pada usia prima itu mereka boleh berkelana ke berbagai dimensi, ya untuk bersenang-senang, kesempatan tiga kali dalam satu retakan untuk melakukan apa saja yang dikenal manusia bumi sebagai dosa.

Pasukan penjaga waktu itu tak memiliki tata aturan tentang dosa. Ketika mereka melakukan kesalahan di masa cuti, mereka boleh me-reset kejadian sehingga seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ah, aku lebih menyukai perjalanan tanpa batas dengan segala ketidakpastian di depannya. Kurasa, aku tipe makhluk yang mudah bosan dengan rasa aman. Perasaanku inilah yang menuntunku mengganti baju tidurku dengan sebuah jaket tebal. Sepasang sepatu cokelat kusiapkan, lengkap dengan kaus kaki berwarna krem. Aku siap melakukan sebuah perjalanan, yang bahkan aku tak tahu apa yang ada di depanku nantinya.

**

Dari arah selatan, Gavin melajukan motornya dengan tak pernah lupa memasang pandangan ke kanan dan ke kiri. Ia benar-benar manusia yang tak mau kehilangan kesempatan mengetahui informasi apa saja di sekitarnya. Sejak lelaki berjiwa kabut ini dipenjarakan di alam mimpinya, sejak saat itu pulalah kewaspadaannya mulai bermunculan. Ia bahkan memutuskan ikut berlatih silat hanya untuk bersiap jika saja akan ada seseorang atau sesuatu yang mengingatkan pada kenangan kelamnya akan mengancam hidupnya sekali lagi. Lelaki yang membenci ketakberdayaan ini membiarkan angin laut selatan yang tipis-tipis mnghembusnya ke utara.

Dari arah utara, lengkap dengan baju tebal yang hampir tak menyisakan tiupan angin gunung Merapi untuk mengusiknya, Camelia melajukan motornya dengan perasaan was-was. Seorang perempuan yang melajukan motor sebelum matahari manampakkan wajahnya memang cenderung menghadirkan sebuah nuansa yang menakutkan. Namun, apa yang bisa ia lakukan untuk menyelesaikan rasa penasarannya, selain berjalan menuju setiap tanda tanya hidupnya.

“Bertemulah kalian pada tempat yang sejatinya kalian sangkakan! Dari tempat itulah waktu yang mencatatkan nama kalian akan benar-benar berdetak!”

**

Lampu kota pelan-pelan padam. Satu per satu seolah menutup tirai yang kulalui. Dalam sejenak perjalananku, kuingat lampu kamar kos sudah kumatikan. Sekedip mataku mencari apakah masih ada yang kulupakan di kamar kosan. Ah, lagian aku sudah sejauh ini. Jalanan terbagi menjadi dua untuk membebaskan kendaraan dari arah utara ke selatan dan begitu pula sebaliknya. Pepohonan yang melambai tersebab angin dari dua arah yang berbeda, mereka menguap dengan stomata yang malas untuk kucari di mana lokasi tempatnya.

Saat itulah, lirikan mata kananku berhenti pada sebuah lampu kota yang masih enggan meredupkan cahayanya. Lelaki yang tak kusangka akan muncul kembali setelah kehidupan malamku dipenuhi tanda tanya. Usahaku untuk mencari jawaban seolah diperlihatkan semesta dengan kehadirannya yang memberhentikan motor sejenak. Sebotol air mineral ia teguk pelan-pelan. Gerakan otot lehernya itu membuatku terhenti, tepat di seberangnya, berada di bawah pohon yang menahan kantuk paginya.

**

Ternyata tidur di pelataran masjid tidak membuatku sesegar biasanya. Padahal, ketika dulu masih menjadi santri, beralaskaan tikar yang bolong-bolong pun aku tak apa. Seolah, semakin berumur, sel-sel kuat dalam tubuhku berlunturan. Namun, di sisi lain, sel-sel yang masih mau bertahan membangun kekuatan yang bisa diperhitungkan. Belum jauh aku berjalan, aku hanya berlari ke utara dengan laju motorku yang kubiarkan melambat. Aku sedang mencari jawaban dalam deru motor dan terpaan angin yang membawaku, entah ke mana.

Masih pagi, segala pertanyaan yang sengaja kucari jawabannya ini membuatku letih dan dahaga. Aku berhenti pada sebuah lampu kota yang masih menyala. Warna jingganya merasuk dalam keringnya kerongkonganku yang meraung untuk segera dibasahi dengan segelas air. Kubuka tas pinggangku, yang kutemukan hanyalah seperdelapan air mineral dari ukurannya yang seharusnya, 600 ml. Ketika setetes dari sisa air mineral itu mengalir di pipi kananku, pandanganku pun mengarah kepada sosok yang tak asing. Perempuan yang menjadi serangkaian tanda tanyaku. Ia berada di seberang jalan dan memandang ke arahku.

Tanpa perlu menyapa, kami bersepakat untuk melangkah menuju arah yang kami tatap.

**

Tanpa perlu banyak tanda, langkah pertamaku dan dia sama-sama menuju pada sebuah persimpangan.

Pada persimpangan itu, lampu kota sudah tak lagi menyalakan sinarnya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa malu kecuali dengan syal yang kuusahakan menutup merah pipiku. Sesekali, syal itu pula yang kugunakan untuk menutup bibirku yang beberapa kali menyunggingkan senyum. Aku tak mau ia melihatku seperti perempuan murahan yang kegirangan.

**

Sebisa mungkin bibirku kukatupkan agar ia tak tahu apa yang hendak kukatakan. Mengusahakan untuk mengkakukan otot pipi bagiku sangatlah menyakitkan. Bagaimanapun, tekstur mukaku dibuat untuk dipenuhi dengan senyuman. Arkh, aku harus terlihat sangat kelaki-lakian.

**

Plar... plar...

Lampu kota yang tadinya mati tiba-tiba menyala dalam pendaran yang tak biasa. Selingkar batas pertemuan langkah mereka menjadi gelap. Namun, tidak pada tatapan mereka. Dengan kewaspadaan yang semakin besar Gavin menyiapkan kepalan tangan kanannya. Dengan langkah yang semakin tegap dan kehilangan senyuman malunya, Camelia mengawasi sekitarnya. Ia tahu apa yang akan terjadi.

Krek... krek...

Mereka dikelilingi oleh retakan ruang di antara waktu mereka melangkah. Dari tatapannya, Gavin tahu ia akan menemukan sesuatu yang tak pernah disangkakan, namun sekaligus tak asing baginya.

“Camelia, apakah ini nyata? Aku bukan orang gila yang berimajinasi kan?”

“Sama sekali tidak Mas Gavin! Sama sekali tidak! Kalau sudah begini, kita tak lagi bisa menghindari gejolak arus deras dari waktu. Padahal, kukiran sudah berakhir masa tugasku!”

“Maksudmu Cam?”

“Kurasa kau akan senang mengetahuinya sembari merasakannya bukan?”

Gavin mengangguk dengan mantap. Tanpa perlu pikir panjang keduanya sudah berada dalam lingkaran nada kesepakatan,

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status