Seminggu telah berlalu, sejak pertemuannya dengan Alya di resto waktu itu. Kini Gibran mulai berpikir jika anak yang Alya kandung bukanlah anaknya. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, dan mungkin Gibran juga sudah termakan oleh perkataan Safira.
Kini Gibran tidak peduli lagi dengan perceraian itu, bahkan dirinya tidak akan mempersulit jalannya sidang nanti. Saat ini Gibran memilih fokus pada perusahaannya yang terancam bangkrut. Gibran sudah berusaha untuk mencari bantuan, tapi hasilnya tetap sama.
Sudah lebih dari dua puluh perusahaan, yang ia ajak untuk kerja sama, agar bisa menyelamatkan perusahaan miliknya. Namun hanya penolakan yang Gibran terima, rasanya ia seperti kehilangan harga diri. Hendak meminjam uang ke bank, tapi hasilnya juga sama, tidak ada bank yang mau meminjamkan uang.
Gibran tidak tahu harus berbuat apa lagi, otaknya berasa ingin pecah. Terlebih saat melihat kelakuan Safira dan ibunya, yang seperti tidak memiliki perasaan. Dirinya sedang bingung mencari cara untuk menyelamatkan perusahaannya. Mereka malah enak-enakan menghambur-hamburkan uang, untuk sesuatu yang tidak penting.
Seperti siang ini, tiba-tiba ada kurir datang untuk mengantarkan pesanan Safira. Entah barang apa lagi yang dia beli, dan mungkin harganya juga tidak main-main. Karena Safira tipe wanita matre dan selalu mementingkan penampilan.
"Barang apa lagi yang kamu pesan?" tanya Gibran. Matanya tertuju pada bungkusan berukuran sedang yang kini ada di tangan Safira.
"Tas, Mas. Nggak mahal kok, cuma dua puluh lima juta," jawab Safira.
"Ini terakhir kali kamu menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Setelah ini tidak ada lagi belanja atau shoping, ingat itu." Gibran beranjak pergi meninggalkan Safira.
"Huh, pelit banget sih jadi suami. Dulu aja waktu sama, Alya. Apa yang dia minta dibeliin," gerutu Safira. Setelah itu ia pun beranjak masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, di lain sisi Alya tengah duduk santai seraya menikmati sejuknya angin di siang hari. Tiba-tiba saja Alya teringat masa saat bersama Gibran, pria yang pernah mengisi ruang hatinya. Namun, tidak dengan ibu mertuanya, yang hanya manis di luar, persis seperti buah kedondong.
"Gimana, kalian nikah udah dua bulan. Udah ada tanda-tanda belum?" tanya Ratna.
"Belum, Ma. Lagian baru dua bulan. Temen Gibran ada yang sampai lima tahun baru punya anak," jawab Gibran.
Ratna berdecih. "Kamu tahu, Yudha sama Intan nggak, mereka menikah baru sebulan, tapi langsung hamil. Lah kalian, jangan-jangan Alya mandul lagi."
"Ma, Mama jangan samakan kami dengan orang lain dong. Mereka ya mereka, kami ya kami," sahut Gibran yang mulai tersulut emosi.
"Bukan nyamain, tapi memang kenyataannya seperti itu kan," balas Ratna yang tak mau kalah.
"Ma, mungkin belum rezekinya. Insya Allah kalau .... "
"Kalau, Gibran nggak ngotot nikah sama kamu, pasti sekarang sudah nikah sama, Eva. Dan mungkin sekarang mereka sudah punya anak," potong Ratna. Sontak Alya menundukkan kepalanya, dadanya terasa sesak mendengar hal itu.
"Ma, Gibran kan sudah bilang. Gibran tidak mencintai Eva," ujar Gibran yang terlihat marah saat mendengar ibunya mengungkit masalah itu.
Gibran memang sempat dijodohkan dengan Eva, anak dari teman Ratna. Orangnya memang cantik, kedua orang tuanya juga orang berada. Namun, Gibran sama sekali tidak mencintainya, cinta Gibran hanya untuk Alya. Wanita yang ia kenal saat masih kuliah dulu.
"Kamu pikir, menikah itu hanya untuk menikah saja. Enggak kan, tapi harus memperoleh keturunan, mama sudah pengen nimang cucu. Temen-temen, mama udah pada punya cucu semua. Untuk apa punya istri, cantik nggak, mandul, miskin lagi," cibirnya. Ratna sama sekali tidak memikirkan perasaan Alya, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya, sudah seperti cabai.
"Percuma Gibran datang ke sini, tapi hanya untuk mendengar hal tidak penting seperti ini. Alya ayo kita pulang." Gibran menarik tangan Alya dan mengajaknya untuk pulang.
"Dasar, anak durhaka. Ingat ya, tiga bulan lagi nggak ada kabar atas kehamilan Alya. Mama akan nikahkan kamu dengan Eva, ngerti!" teriak Ratna. Namun Gibran sama sekali tidak menanggapinya.
Di dalam mobil Alya memilih untuk diam, wanita berambut panjang itu masih kepikiran dengan kata-kata ibu mertuanya yang kelewat pedas. Sementara Gibran memilih fokus untuk menyetir, sesekali ia melirik istrinya yang tetap diam sejak keluar dari rumah ibunya itu.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Gibran dengan lembut.
Alya menggelengkan kepalanya. "Nggak apa-apa, Mas. Hanya kepikiran kata-kata, mama tadi."
"Kamu nggak usah mikirin kata-kata, mama. Mama orangnya memang seperti itu." Gibran berusaha untuk meyakinkan istrinya.
"Tapi yang dikatakan, mama benar. Kalau .... "
"Ststst, aku nggak suka kamu seperti itu. Seandainya saja kita tidak diberi kesempatan untuk menjadi orang tua, aku nggak akan pernah ninggalin kamu," ungkap Gibran. Alya tersenyum mendengar pengakuan suaminya itu. Gibran memang sosok suami yang penyabar, penyayang dan penuh dengan perhatian.
"Al, Alya," panggil Yulia. Sontak Alya terlonjak kaget. Dan detik itu juga Alya menyeka air matanya yang sempat menetes.
"Eh, Mama. Ada apa, Ma?" tanya Alya.
"Katanya mau ke rumah, ayah sama ibu, jadi nggak," jawab Yulia.
"Jadi, Ma. Memangnya sekarang," sahut Alya.
"Iya, sekalian nanti mampir ke butik. Mama punya baju bagus untuk kamu," balas Yulia.
"Ya udah, Alya siap-siap dulu ya, Ma." Alya bangkit dari duduknya dan beranjak masuk ke dalam.
***
Gibran sudah menyerah, perusahaannya kini sudah bangkrut, bahkan kini sudah menjadi milik orang lain. Agar tidak dituntut oleh para karyawannya, Gibran terpaksa menjual aset-aset perusahaannya. Bahkan karena masih kurang, ia menjual dua unit mobilnya. Tak peduli jika harus jatuh miskin, asal tidak masuk ke dalam bui.
Setibanya di rumah, Gibran melihat ibunya yang tengah duduk seraya membuka satu persatu barang belanjaannya. Gibran mengusap wajahnya dengan sedikit kasar, sudah berapa kali ia bilang untuk berhemat, tapi sepertinya ucapannya itu dianggap angin lalu.
"Mama habis belanja lagi, shoping lagi?! tanya Gibran dengan menahan amarahnya.
" Kamu lihat dong, ada banyak barang seperti ini. Ya tentu saja, mama habis shoping," jawab Ratna tanpa mengalihkan pandangannya.
Gibran menghembuskan napasnya. "Ma, kita sudah bangkrut. Jadi, Gibran mohon tolong buang kebiasaan, Mama yang seperti ini. Buang-buang duit untuk sesuatu yang tidak penting.
Sontak Ratna bangkit. " Apa?! Kamu nggak lagi bercanda kan. Bagaimana mungkin bisa bangkrut, kamu pasti cuma ngeprank, mama kan."
"Terserah, Mama mau percaya apa nggak. Aset perusahaan sudah, Gibran jual saja tidak cukup untuk membayar gaji karyawan. Sebab itu, dua mobil yang ada di depan ikut, Gibran jual," jelasnya. Sementara Ratna hanya diam, mungkin ia terkejut.
"Safira mana, Ma?" tanya Gibran.
"Safira pergi, mama nggak tahu pergi kemana," jawab Ratna.
Gibran hanya mengangguk, setelah itu ia melangkahkan kakinya menuju ke kamar. Gibran berharap, semoga setelah ini bisa mendapatkan pekerjaan. Agar rumah yang ia tempati tidak sampai dijual. Karena rumah itu banyak sekali kenangan indah bersama dengan Alya.
Di sisi lain, Alya dan Ratna tengah dalam perjalanan, jalanan yang begitu padat, membuat mereka harus ekstra sabar. Banyak kendaraan yang berlalu-lalang memenuhi jalan raya, entah itu mobil dan kendaraan lainnya.
"Kamu haus?" tanya Ratna.
"Ma, itu ada penjual es doger. Beli dulu sebentar ya," ujar Alya, seraya menunjuk penjual es doger yang berada di seberang jalan.
"Biar, mang Ujang saja yang beli ya," satu Yulia.
"Alya aja, Ma. Kan deket, nggak jauh," balas Alya.
Yulia nampak berpikir. "Ya sudah, tapi kamu hati-hati.
" Mang, kita nepi dulu," ujar Yulia.
"Baik, Nyonya," sahut mang Ujang. Dengan segera mang Ujang menepikan mobilnya.
"Hati-hati ya, Sayang," ucap Yulia, saat melihat Alya turun dari mobil.
"Iya, Ma." Alya tersenyum. Setelah itu ia melangkahkan kakinya ke seberang jalan.
Alya berjalan dengan terus memperhatikan ke arah kanan dan kiri. Namun tiba-tiba saja, ada sebuah mobil berwarna silver melaju dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba saja mobil itu menabrak tubuh Alya, sontak yang melihat kejadian itu menjerit. Tubuh Alya terlempar sejauh lima meter. Yulia menjerit saat melihat tubuh putrinya terpental.
"Alya." Yulia keluar dari mobil dan langsung berlari menghampiri putrinya.
Yulia langsung meletakkan kepala putrinya di atas pangkuannya. Darah keluar dari kepala dan hidungnya. Semua orang yang berada di tempat itu datang mengerumuninya. Sementara mobil yang menabraknya sudah kabur. Yulia terkejut saat melihat darah keluar dari pangkal pah* Alya.
Waktu terus bergulir, setelah melewati hari demi hari, hingga bulan demi bulan. Kini penantian Alya dan Reyhan telah terbayar, tepat pukul tujuh pagi Alya melahirkan seorang putri yang sangat cantik. Wajahnya sangat mirip dengan Alya, tetapi hidung dan matanya mewarisi ayahnya."Lihat, Sayang. Wajahnya mirip banget sama kamu, cantik." Reyhan menggendong putrinya dan duduk di sebelah istrinya."Tapi hidung sama mata mirip sama kamu," ucap Alya seraya memandangi wajah putrinya."Iya lah, kan papanya tampan," sahut Reyhan dengan penuh percaya diri."Ish, biasa aja kok," balas Alya. Seketika Reyhan mencubit gemas hidung istrinya."Ih, sakit tahu." Alya memegangi hidungnya, dengan bibir cemberut."Nggak usah cemberut, jelek tahu." Reyhan mengacak-acak rambut panjang istrinya.Selang beberapa menit, pintu ruangan terbuka terlihat Yulia dan Widya masuk ke dalam. Kedua wanita itu segera menghampiri cu
Satu bulan telah berlalu, pukul sebelas malam Alya terbangun dari tidurnya, tangan kanannya meraba sebelahnya yang kosong. Detik itu juga, kelopak mata Alya terbuka sempurna, wanita hamil itu bangkit dan menelisik sudut kamarnya mencari sosok suaminya."Mas, Mas, Mas Reyhan!" teriak Alya. Lalu bangkit dari tempat tidur."Mas." Alya kembali berteriak."Iya, Sayang sebentar!" teriak Reyhan dari ruang kerjanya.Selang lima menit Reyhan masuk ke dalam kamar, terlihat jika istrinya tengah mondar-mandir tak jelas. Reyhan berjalan menghampiri istrinya, seketika Alya memeluk tubuh suaminya. Reyhan merasa jika ada sesuatu yang sang istri inginkan."Ada apa, hem?" tanya Reyhan."Mas, aku pengen makan martabak telor," jawab Alya. Seketika Reyhan menghela napas, sudah diduga."Sayang ini .... ""Aku pengennya sekarang, Mas. Kalau nolak nanti anak kamu ileran, mau." Alya memotong ucapan suaminya.&nb
Satu tahun telah berlalu, pernikahan Alya dan Reyhan semakin hari semakin romantis. Setiap bahtera rumah tangga pasti ada saja rintangannya, dan mungkin saat ini mereka tengah menikmati indahnya menjalin hubungan pernikahan.Sementara itu, Silvi yang dulu mengejar-ngejar cinta Reyhan, kini dia menyerah, rasanya percuma mencintai pria yang sudah beristri. Bahkan kini Silvi memilih untuk rujuk dengan Dony---suaminya demi putri mereka.Berbeda dengan Andin, kini wanita itu tengah mendekam di balik jeruji besi, lantaran untuk menebus perbuatannya. Ternyata, setelah diselidiki mobil yang menabrak Alya adalah mobil milik Andin. Wanita itu sengaja karena merasa sakit hati, lantaran Reyhan lebih memilih Alya.Setahun sudah, Gibran meninggalkan istri serta putrinya, yang masih sangat membutuhkannya. Gibran meninggal lantaran kecelakaan saat hendak menjemput ibunya, dan sebelum Gibran menghembuskan napas terakhirnya, ia berpesan jika kornea matanya akan
Kini mereka sudah berkumpul di rumah sakit, Reyhan dan ibunya, serta kedua orang tua Alya kini mereka ada di ruang rawat Alya. Wanita berambut panjang itu kini terbaring tak berdaya, dengan beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya.Reyhan tidak menyangka jika kejadian buruk kembali menimpa sang istri. Terlalu banyak penderitaan yang Alya alami, Reyhan merasa jika dirinya belum mampu menjadi suami yang baik dan berguna untuk Alya. Untuk kejadian ini, Gunawan dan Reyhan sudah melaporkannya kepada pihak polisi, semoga pelaku segera ketemu.Sementara itu, Gibran merasa bersalah, gara-gara menolong Kania, kini Alya yang harus menanggung semuanya. Gibran berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Alya. Meski sekarang Alya bukan lagi istrinya. Namun, bagaimanapun wanita itu pernah menjadi bagian dari hidupnya, pernah menemani hidupnya."Al, kamu pasti bisa melewati semua ini. Maafkan aku, gara-gara kamu menolong Kania, kini kamu yang harus me
Reyhan terdiam mendengar permintaan Silvi, lagi-lagi ia melirik istrinya. Namun, Alya membalasnya dengan tatapan tajam, melihat tatapan istrinya. Ia sudah paham jika Alya melarang dirinya untuk pergi. Lagi pula, Reyhan juga tidak akan bertindak konyol. Untuk bekerja saja, ia memilih mengalah."Silvi maaf, aku tidak bisa. Kamu lihat sendiri kan, aku rela tidak kerja demi bisa menjaga Alya. Jadi tidak mungkin aku ninggalin istriku ini, kamu kan bisa meminta tolong sama orang lain." Reyhan menolak permintaan Silvi. Jujur, ia merasa kurang suka dengan sikap wanita itu yang terlalu berlebihan."Kamu tega ngomong seperti itu, Rey aku .... ""Silvi, aku sudah membantumu untuk bisa lepas dari Doni, dan mendapatkan hak asuh atas putri kalian. Tapi untuk yang ini, tolong kamu meminta bantuan pada orang lain. Jangan semuanya kamu bergantungkan kepadaku, aku sekarang sudah menikah, aku harus bisa menjaga hati istriku." Reyhan memotong ucapan Silvi. Hal ini benar
Kania membuka pintu utama rumahnya, dan detik itu juga, matanya membulat sempurna. Saat melihat seorang wanita dan anak kecil sudah berdiri di depan pintu. Ia tidak menyangka jika dia bisa nekat datang ke rumahnya."Kamu, mau ngapain datang ke sini?" tanya Kania. Sorot matanya menunjukkan rasa tak suka pada wanita yang ada di hadapannya itu. Yang tak lain adalah mantan istri Gibran.Safira tersenyum. "Aku ke sini ingin bertemu dengan mas Gibran. Memangnya kenapa.""Sayang, siapa yang datang?" tanya Gibran seraya berjalan menghampiri istrinya.Sontak Gibran terkejut, saat melihat mantan istrinya yang tengah bertamu ke rumahnya. Sebisa mungkin Gibran bersikap seperti biasa, ia masih ingat seperti apa kelakuan Safira yang sesungguhnya. Kebohongan yang sudah diperbuat oleh Safira, masih terus berputar di benaknya."Ada urusan apa kamu ke sini?" tanya Gibran seraya berjalan mendekati Kania istrinya."Aku ke sini cuma