Keesokan harinya, Gibran datang ke rumah orang tua Alya, berharap istrinya itu mau mencabut gugatannya itu. Setibanya di sana, Gibran memarkirkan mobilnya, setelah itu ia pun turun. Pria dengan balutan kemeja berwarna merah maroon mengedarkan pandangannya.
Rumah nampak sepi, bahkan jika dilihat rumah sudah lama tak berpenghuni. Halaman kotor, banyak tumbuh rumput liar. Kondisi rumah juga tak terawat, semenjak menikah dengan Alya, ia memang jarang ke mertuanya itu. Mungkinkah jika mereka pindah.
"Kenapa rumahnya sepi, apa mereka pindah. Tapi rumah ini sepertinya sudah lama tidak berpenghuni, lalu Alya kemana," gumam Gibran. Ia mendesah kecewa, sudah jauh-jauh datang, tapi hasilnya nihil.
"Huft, nomor Alya nggak aktif lagi," gumamnya, seraya menelpon nomor istrinya.
Hampir satu jam Gibran menunggu, tapi hasilnya nihil. Lelah menunggu, akhirnya Gibran memutuskan untuk pulang, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya itu. Namun, tiba-tiba muncul di otaknya untuk menanyakan pada sahabat Alya. Dengan segera Gibran menelpon nomor Linda.
[Halo, Linda ada yang mau aku tanyakan. Kira-kira kamu tahu di mana kedua orang tua Alya tinggal sekarang]
[Bukannya masih di rumah yang sama, oya kenapa nggak tanya sama Alya]
Gibran terdiam, Linda tidak tahu masalah yang menimpa pernikahannya dengan Alya.
[Alya pergi dari rumah, katanya mau ke rumah orang tuanya. Tapi pas aku susul rumahnya kosong, dan sepertinya sudah lama tidak dihuni]
[Maaf, aku nggak tahu. Soalnya udah seminggu aku pergi ke Batam ikut suami]
[Oh, ya sudah terima kasih. Maaf kalau sudah ganggu waktunya]
[Iya, tidak apa-apa]
Setelah itu sambungan telepon terputus, Gibran menghela napas, lalu ia memutuskan untuk ke kantor. Bukan hanya Alya saja yang harus dipikirkan, tetapi kantor pun demikian. Gibran melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.
Setibanya di kantor, Gibran bergegas masuk ke dalam ruangannya. Para pegawai memang berangkat, tetapi melihat wajahnya, mereka tidak memiliki semangat untuk bekerja. Gibran benar-benar pusing memikirkan masalah yang menimpanya itu.
"Kemana lagi aku harus mencari bantuan. Hanya, om Gunawan yang bisa membantu, tapi sayangnya ... ah, aku bisa stres memikirkan ini semua. Belum lagi Alya, kenapa harus cerai." Gibran mengusap wajahnya sedikit kasar.
Tiba-tiba saja ponselnya berdering, dengan segera Gibran meraih benda pipih miliknya itu. Sebelum diangkat, ia mengeceknya terlebih dahulu. Di layar ponselnya tak tertera nama Safira, Gibran mengernyitkan keningnya melihat istri mudanya itu tiba-tiba menelpon.
[Halo, Mas tolongin aku sama, mama dong]
[Tolong kenapa]
[Tolong bayarin tagihan restoran, sama tadi waktu belanja uangnya kurang]
[Berapa]
[Total semuanya cuma delapan puluh lima juta, Mas]
[Apa?! Safira, kamu sudah gila. Berapa kali aku harus bilang sama kamu. Kita harus berhemat, tapi apa yang kamu lakukan sama, mama]
[Ya ampun, Mas. Cuma segitu doang kok]
[Astaghfirullah, kalau keadaannya tidak seperti ini tidak masalah. Tapi kamu ... sekarang kamu sama, mama ada di mana]
[Nanti aku kirim alamatnya]
[Ya sudah]
Setelah itu sambungan telepon terputus, Gibran mengusap wajahnya dengan kasar. Safira benar-benar berbeda dengan Alya, dulu Alya tidak pernah seperti itu. Memang kebanyakan wanita hoby berbelanja, tapi Safira sudah sangat keterlaluan, ditambah dengan ibunya. Benak gibran rasanya ingin pecah.
***
Di sisi lain, saat ini Alya dan Linda serta Nita tengah berkumpul seperti biasanya. Mereka bertiga selalu menyempatkan meluangkan waktu untuk bertemu, meski hanya sebatas ngobrol. Persahabatan mereka memang selalu terjalin dengan baik. Susah dan senang mereka selalu ada, dan saling membantu.
"Safira benar-benar gila ya, suami teman sendiri diembat juga," ujar Nita.
"Namanya juga Safira, memangnya kalian lupa, calon suami kakaknya aja pernah dipacarin. Ujung-ujungnya kakaknya gagal nikah," timpal Linda.
"Memangnya, wanita yang satu ini nggak punya muka, mungkin urat malunya sudah putus," sahut Nita. Sementara Alya hanya tersenyum.
"Oya, tadi sebelum aku berangkat ke sini. Gibran sempat nelpon, nanyain kamu, Al," ungkap Linda.
"Apa? Serius kamu, Lin?" tanya Alya.
"Serius, katanya dia juga nyariin kamu ke rumah ayah sama ibumu," jawab Linda.
Alya tersenyum. "Biarin aja, tipe suami seperti Gibran harus diberi pelajaran. Sampai kapanpun Gibran nggak akan nemuin ayah sama ibu."
"Betul, aku bohongin aja kalau aku sama kamu sekarang jarang ketemu. Bahkan aku bilang kalau aku nggak ada di rumah, tapi di Batam ikut suami," jelas Linda. Sontak mereka tertawa, mereka memang selalu kompak.
"Oya, gimana urusan perceraiannya. Lancar nggak?" tanya Nita.
"Alhamdulillah lancar, kalian tahu sendiri kan, Reyhan orangnya seperti apa. Mudah-mudahan kedepannya juga lancar," jawab Alya.
"Wah, bisa-bisa nanti setelah resmi cerai. Langsung digaet deh sama, Reyhan," sindir Linda.
"Apaan, sih. Kamu tuh ya, mana mau perjaka kaya, Reyhan nikah sama janda, hamil pula," sahut Alya. Sementara Linda dan Nita hanya tersenyum.
"Kalau cinta itu nggak mandang apa-apa atuh, Neng. Mau janda, hamil, punya anak, itu nggak jadi masalah," timpal Nita.
"Ish, apaan sih," desisnya, Alya benar-benar malu jika membicarakan hal itu. Dan mungkin saat ini pipinya sudah merah seperti kepiting rebus.
Tiba-tiba saja ponsel Alya berdering, dengan segera ia mengambil benda pipih tersebut. Saat dicek, sebuah panggilan masuk, tertera nama Reyhan di layar ponselnya.
[Assalamu'alaikum, Al kamu hari ini ada waktu nggak]
[Wa'alaikumsalam, memangnya ada apa, Rey]
[Aku mau ngajakin kamu makan siang, bisa nggak? Sekalian mau ngomongin masalah perceraian kamu.
[Em, boleh. Bisa kok]
[Ya udah, aku jemput kamu nanti ya]
[Iya, assalamu'alaikum]
[Wa'alaikumsalam]
"Cie, yang udah janjian. Sepertinya kalian cocok deh," goda Linda.
"Ish, apaan sih. Kamu tuh ya," sahut Alya.
"Ya udah, aku pulang dulu ya," sambungnya.
"Ya elah, buru-buru amat. Baru aja kan sepuluh," sahut Linda.
"Besok kan bisa kumpul lagi, ya udah duluan ya." Alya bangkit dan beranjak pergi. Sementara Linda dan Nita masih duduk menikmati minumannya.
***
Waktu berjalan begitu cepat, pukul setengah sebelas Reyhan sudah tiba di rumah Alya. Pria itu selalu meminta izin pada kedua tua Alya, setiap kali akan mengajak putri mereka keluar bersamanya. Setelah mendapat izin, Reyhan dan Alya bergegas untuk pergi.
"Ya udah, Tante. Kami pergi dulu," ujar Reyhan.
"Iya, hati-hati ya," sahut Yulia.
"Assalamu'alaikum, Ma." Alya mencium punggung tangan ibunya, Reyhan pun sama.
Setelah itu Alya dan Reyhan bergegas masuk ke dalam mobil. Perlahan mobil melaju meninggalkan pelataran rumah mewah milik orang tua Alya. Dalam perjalanan, Alya memilih untuk melihat ke luar jendela, sementara Reyhan tetap fokus untuk menyetir.
Setelah hampir satu jam setengah,kini mereka tiba di restoran yang tak lain adalah milik orang tua Alya. Usai memarkir mobil, keduanya bergegas tutun, setelahnya mereka melangkahkan kakinya masuk ke dalam resto. Hampir semua meja penuh, untung mereka punya meja khusus yang selalu digunakan untuk keluarga Gunawan.
Setelah duduk, Alya dan Reyhan segera memilih menu makanan yang akan mereka makan. Cukup lama mereka menunggu, setelah pesanan datang, keduanya bergegas menyantapnya. Dari kejauhan, ternyata ada yang tengah memperhatikan mereka. Selang lima menit orang itu datang menghampiri Alya dan Reyhan.
"Alya, jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku," ujar seorang pria yang tak lain adalah Gibran. Sontak Alya dan Reyhan menoleh ke sumber suara tersebut.
"Eh, kalian. Sedang apa di sini?" tanya Alya dengan santai.
"Seharusnya aku yang tanya sama kamu, sedang apa kamu di sini. Oh, apa ini alasan kamu pergi dari rumah, agar bisa bertemu dan berselingkuh dengan pria lain iya!" bentak Gibran.
Plak, satu tamparan mendarat di pipi Gibran. "Jaga bicara kamu ya, aku bukan wanita murah*n. Aku bukan wanita yang suka dengan mengganggu kebahagiaan orang lain. Tidak seperti wanita yang ada di sampingmu itu, yang sukanya sama suami orang."
"Alya! Kamu nyindir aku." Safira hendak menampar Alya, tetapi dengan cepat Reyhan mencekal pergelangan tangan Safira, lalu mengibaskannya dengan kasar.
"Jaga bicara kalian, saya bukan pria selingkuhannya. Karena dia adalah klienku." Reyhan angkat bicara.
"Klien apa, wanita miskin seperti dia bisa apa. Sok-sokan banget jadi orang," sergah Ratna.
"Saya pengacara yang akan mengurus perceraiannya dengan, pak Gibran," jelas Reyhan. Sontak mereka terkejut mendengar hal itu.
"Haha, aku tidak percaya, mana mungkin dia sanggup menyewa pengacara. Untuk hidup saja susah." Ratna tertawa, meremehkan apa yang Alya lakukan.
"Tidak ada yang tidak mungkin," sahut Reyhan.
"Palingan, Alya bayar kamu dengan menyerahkan tubuhnya, iya kan," timpal Safira.
Plak, satu tamparan keras mendarat di pipi Safira. "Jaga bicaramu, aku bukan wanita seperti itu. Apa kamu tidak sadar dengan apa kamu lakukan, kamu sudah menusukku dari belakang, kamu sudah menikungku, kamu sudah merebut suamiku, dan sekarang kamu menuduhku berbuat hina seperti itu. Kamu bisa terkena hukuman, atas pencemaran nama baik, yang tergolong dalam pasal 310 ayat (1) KUHP. Kamu mau dipenjara."
Sontak Safira bungkam, mendadak wajahnya pucat pasi, mungkin Safira takut dengan gertakan yang Alya lakukan. Bukan hanya Safira saja yang takut, Ratna pun demikian.
Waktu terus bergulir, setelah melewati hari demi hari, hingga bulan demi bulan. Kini penantian Alya dan Reyhan telah terbayar, tepat pukul tujuh pagi Alya melahirkan seorang putri yang sangat cantik. Wajahnya sangat mirip dengan Alya, tetapi hidung dan matanya mewarisi ayahnya."Lihat, Sayang. Wajahnya mirip banget sama kamu, cantik." Reyhan menggendong putrinya dan duduk di sebelah istrinya."Tapi hidung sama mata mirip sama kamu," ucap Alya seraya memandangi wajah putrinya."Iya lah, kan papanya tampan," sahut Reyhan dengan penuh percaya diri."Ish, biasa aja kok," balas Alya. Seketika Reyhan mencubit gemas hidung istrinya."Ih, sakit tahu." Alya memegangi hidungnya, dengan bibir cemberut."Nggak usah cemberut, jelek tahu." Reyhan mengacak-acak rambut panjang istrinya.Selang beberapa menit, pintu ruangan terbuka terlihat Yulia dan Widya masuk ke dalam. Kedua wanita itu segera menghampiri cu
Satu bulan telah berlalu, pukul sebelas malam Alya terbangun dari tidurnya, tangan kanannya meraba sebelahnya yang kosong. Detik itu juga, kelopak mata Alya terbuka sempurna, wanita hamil itu bangkit dan menelisik sudut kamarnya mencari sosok suaminya."Mas, Mas, Mas Reyhan!" teriak Alya. Lalu bangkit dari tempat tidur."Mas." Alya kembali berteriak."Iya, Sayang sebentar!" teriak Reyhan dari ruang kerjanya.Selang lima menit Reyhan masuk ke dalam kamar, terlihat jika istrinya tengah mondar-mandir tak jelas. Reyhan berjalan menghampiri istrinya, seketika Alya memeluk tubuh suaminya. Reyhan merasa jika ada sesuatu yang sang istri inginkan."Ada apa, hem?" tanya Reyhan."Mas, aku pengen makan martabak telor," jawab Alya. Seketika Reyhan menghela napas, sudah diduga."Sayang ini .... ""Aku pengennya sekarang, Mas. Kalau nolak nanti anak kamu ileran, mau." Alya memotong ucapan suaminya.&nb
Satu tahun telah berlalu, pernikahan Alya dan Reyhan semakin hari semakin romantis. Setiap bahtera rumah tangga pasti ada saja rintangannya, dan mungkin saat ini mereka tengah menikmati indahnya menjalin hubungan pernikahan.Sementara itu, Silvi yang dulu mengejar-ngejar cinta Reyhan, kini dia menyerah, rasanya percuma mencintai pria yang sudah beristri. Bahkan kini Silvi memilih untuk rujuk dengan Dony---suaminya demi putri mereka.Berbeda dengan Andin, kini wanita itu tengah mendekam di balik jeruji besi, lantaran untuk menebus perbuatannya. Ternyata, setelah diselidiki mobil yang menabrak Alya adalah mobil milik Andin. Wanita itu sengaja karena merasa sakit hati, lantaran Reyhan lebih memilih Alya.Setahun sudah, Gibran meninggalkan istri serta putrinya, yang masih sangat membutuhkannya. Gibran meninggal lantaran kecelakaan saat hendak menjemput ibunya, dan sebelum Gibran menghembuskan napas terakhirnya, ia berpesan jika kornea matanya akan
Kini mereka sudah berkumpul di rumah sakit, Reyhan dan ibunya, serta kedua orang tua Alya kini mereka ada di ruang rawat Alya. Wanita berambut panjang itu kini terbaring tak berdaya, dengan beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya.Reyhan tidak menyangka jika kejadian buruk kembali menimpa sang istri. Terlalu banyak penderitaan yang Alya alami, Reyhan merasa jika dirinya belum mampu menjadi suami yang baik dan berguna untuk Alya. Untuk kejadian ini, Gunawan dan Reyhan sudah melaporkannya kepada pihak polisi, semoga pelaku segera ketemu.Sementara itu, Gibran merasa bersalah, gara-gara menolong Kania, kini Alya yang harus menanggung semuanya. Gibran berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Alya. Meski sekarang Alya bukan lagi istrinya. Namun, bagaimanapun wanita itu pernah menjadi bagian dari hidupnya, pernah menemani hidupnya."Al, kamu pasti bisa melewati semua ini. Maafkan aku, gara-gara kamu menolong Kania, kini kamu yang harus me
Reyhan terdiam mendengar permintaan Silvi, lagi-lagi ia melirik istrinya. Namun, Alya membalasnya dengan tatapan tajam, melihat tatapan istrinya. Ia sudah paham jika Alya melarang dirinya untuk pergi. Lagi pula, Reyhan juga tidak akan bertindak konyol. Untuk bekerja saja, ia memilih mengalah."Silvi maaf, aku tidak bisa. Kamu lihat sendiri kan, aku rela tidak kerja demi bisa menjaga Alya. Jadi tidak mungkin aku ninggalin istriku ini, kamu kan bisa meminta tolong sama orang lain." Reyhan menolak permintaan Silvi. Jujur, ia merasa kurang suka dengan sikap wanita itu yang terlalu berlebihan."Kamu tega ngomong seperti itu, Rey aku .... ""Silvi, aku sudah membantumu untuk bisa lepas dari Doni, dan mendapatkan hak asuh atas putri kalian. Tapi untuk yang ini, tolong kamu meminta bantuan pada orang lain. Jangan semuanya kamu bergantungkan kepadaku, aku sekarang sudah menikah, aku harus bisa menjaga hati istriku." Reyhan memotong ucapan Silvi. Hal ini benar
Kania membuka pintu utama rumahnya, dan detik itu juga, matanya membulat sempurna. Saat melihat seorang wanita dan anak kecil sudah berdiri di depan pintu. Ia tidak menyangka jika dia bisa nekat datang ke rumahnya."Kamu, mau ngapain datang ke sini?" tanya Kania. Sorot matanya menunjukkan rasa tak suka pada wanita yang ada di hadapannya itu. Yang tak lain adalah mantan istri Gibran.Safira tersenyum. "Aku ke sini ingin bertemu dengan mas Gibran. Memangnya kenapa.""Sayang, siapa yang datang?" tanya Gibran seraya berjalan menghampiri istrinya.Sontak Gibran terkejut, saat melihat mantan istrinya yang tengah bertamu ke rumahnya. Sebisa mungkin Gibran bersikap seperti biasa, ia masih ingat seperti apa kelakuan Safira yang sesungguhnya. Kebohongan yang sudah diperbuat oleh Safira, masih terus berputar di benaknya."Ada urusan apa kamu ke sini?" tanya Gibran seraya berjalan mendekati Kania istrinya."Aku ke sini cuma
Dokter itu terdiam seraya menatap pria yang ada di hadapannya. "Maaf, kami .... "Reyhan semakin merasa panik dan khawatir, saat dokter yang menangani istrinya menggantung ucapannya. Reyhan hanya bisa berdoa semoga istri serta calon anaknya dalam keadaan baik. Meski kemungkinan besar, itu tidak mungkin terjadi."Tolong jelaskan, Dok," ujar Reyhan."Kami harus melakukan tindakan operasi, karena detak jantung bayi yang ada di dalam perut istri, Bapak lemah," jelas Dokter Irma.Bagai disambar petir di siang hari, mendengar hal itu, persendian Reyhan berasa lemas. Haruskah ia kehilangan calon anaknya, haruskah Alya mengalami hal buruk itu untuk kedua kalinya. Reyhan tidak biasa membayangkan jika itu sampai terjadi."Tolong lakukan yang terbaik untuk istri dan calon anak kami, Dok." Reyhan pasrah, apa pun yang akan terjadi nantinya. Reyhan hanya bisa berdo'a, semoga keajaiban terjadi."Baik, kalau begitu, Bapak ikut
Waktu terus bergulir, hubungan Alya dan Reyhan semakin hari semakin romantis. Saat ini Reyhan tengah menikmati perannya sebagai seorang suami dan calon ayah butuh ekstra kesabaran dalam menghadapi sikap istrinya yang berubah-ubah. Tak jarang, Reyhan harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak.Seperti malam ini, saat Reyhan tengah sibuk dengan pekerjaannya. Alya terus saja mengganggunya, entah itu meminta di pijit kakinya, dan masih banyak lagi. Beruntung, Reyhan termasuk orang yang penyabar, tetapi orang juga mempunyai batas kesabaran."Sudah ya, aku selesein kerjaan dulu, biar nanti tinggal nemenin kamu tidur," ujar Reyhan seraya bangkit dari duduknya."Tapi jangan lama-lama," sahut Alya."Iya, nggak lama kok." Reyhan mencolek hidung istrinya. Setelah itu ia beranjak menuju meja kerjanya.Baru saja Reyhan menjatuhkan bobotnya di kursi, tiba-tiba Alya sudah memanggilnya lagi. Reyhan menghela napas, entah apa lagi
Alya tidak menyangka jika Gibran bisa senekat itu, bukankah pria itu tengah berada di atas pelaminan. Namun kenapa tiba-tiba Gibran ada di toilet, mungkinkah pria itu mengikuti mantan istrinya. Takut terjadi fitnah, Alya mengibaskan tangan mantan suaminya itu."Sayang, aku .... "Plak, satu tamparan mendarat tepat di pipi kanan Gibran. "Aku nggak suka dengan cara kamu yang seperti ini. Ingat, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan satu hal, kamu sudah menikah, bagaimana perasaan Kania, jika melihat suaminya masih saja menggoda mantan istrinya.""Alya, aku tidak rela kamu bahagia dengan pria lain. Aku masih sangat mencintai kamu, tolong kembali lagi padaku. Aku janji akan .... "Plak, Alya kembali menampar pipi mantan suaminya itu. "Hubungan kita sudah berakhir, dan semua ini terjadi juga karena ulah kamu. Aku bahagia menikah dengan mas Reyhan, dia pria baik, tegas, dan punya pendirian."Gibran terdiam mendengar penuturan mantan istri