“Mas, jangan tidur.” Aku memanggilnya ketika melihat ia merebahkan tubuh di ranjang.
“Memang kenapa? Saya lelah seharian tadi bertemu klien.”
“Ini sudah mau Magrib. Sebaiknya, Mas salat dulu, lalu makan malam.”
“Salat?”
“Iya ... salat. Kenapa? Kok, kelihatan bingung?”
Mas Gio yang sedang telentang dengan dua tangan bertumpang tindih di bawah kepala mengubah posisinya mejadi setengah duduk.
“Kenapa? Kamu tidak salat?”
Dia hanya bergeleng-geleng menjawab pertanyaanku. Aku dibuatnya semakin bingung.
“Selama ini?”
Dia juga hanya mengangguk membenarkan tebakan asalku.
“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.”Aku spontan berseru menyebut nama Allah.
“Siapa yang meninggal?” Ya, ampuun ... dia malah bertanya dengan polosnya.
Ya, Allah apa benar ia suamiku? Salah apa aku sampai ditakdirkan dengan lelaki tampan, kaya, garang dan tak pernah salat seperti ini? Aku berharap mendapatkan suami
“Mas, jangan tidur.” Aku memanggilnya ketika melihat ia merebahkan tubuh di ranjang.“Memang kenapa? Saya lelah seharian tadi bertemu klien.”“Ini sudah mau Magrib. Sebaiknya, Mas salat dulu, lalu makan malam.”“Salat?”“Iya ... salat. Kenapa? Kok, kelihatan bingung?”Mas Gio yang sedang telentang dengan dua tangan bertumpang tindih di bawah kepala mengubah posisinya mejadi setengah duduk.“Kenapa? Kamu tidak salat?”Dia hanya bergeleng-geleng menjawab pertanyaanku. Aku dibuatnya semakin bingung.“Selama ini?”Dia juga hanya mengangguk membenarkan tebakan asalku.“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.”Aku spontan berseru menyebut nama Allah.“Siapa yang meninggal?” Ya, ampuun ... dia malah bertanya dengan polosnya.Ya, Allah apa benar ia suamiku? Salah apa aku sampai ditakdirk
Dengan senang hati aku bergegas pergi menuju kantor. Langkahku menjadi lebih ringan karena berbekal secuil informasi yang kudapatkan tadi. Sedikit demi sedikit, aku akan terus menggali informasi walaupun aku tak tahu ini untuk kepentingan siapa.“Rimar ....” Seseorang menyentuh bahuku saat hendak meninggalkan tangga terakhir bangunan rumah sakit. Aku menoleh cepat.“Eh ... Pak Adit?” Aku terperangah.“Apa yang kamu lakukan di rumah sakit? Ini, kan, jam kerja.”“Aah ... i-itu saya sedang kurang sehat, Pak. Jadi, saya minta resep dokter dulu.” Duh, aku jadi terpaksa berbohong. Apa aku ajak Pak Adit saja untuk menyelediki Mbak Sari? Lumayan, kan, bisa meringankan bebanku.“Sudah dapat resepnya?”“Sudah, Pak. Ngomong-ngomong Bapak sedang apa di sini?”“Saya ada janji bertemu orang di dekat sini, tapi mendadak orangnya berhalangan dan menunda pertemuan sian
“Emm ... Rimar. Bisa saya minta bantuan kamu?” Ia melepas kacamatanya dan bertanya dengan serius.“Boleh. Apa yang bisa saya bantu, Pak?”“Silakan duduk dulu.” Aku belum menuruti perintahnya dan malah berjalan mundur. Sementara itu, dia membuka-buka lacinya mencari sesuatu, lantas berdiri menghampiri aku yang masih berdiri. Mau apa dia?“Permisi, Rimar.”“Maaf, Pak.” Apa maksudnya permisi? Apa yang akan dia lakukan?“Permisi ... Rimaar. Saya mau membuka lemari di belakangmu.”“O-oh. Maaf.” Aku langsung menyingkir dari hadapannya. Malu sekali aku karena sudah berpikiran yang tidak-tidak. Aku memperhatikan Pak Adit membuka-buka pintu lemari besi dan mengambil segepok amplop putih yang bertumpuk di antara banyaknya map.Ia meletakkannya di meja, kemudian kembali bergelut dengan pekerjaannya. Tak lupa ia mencantolkan kaca mata di hidungnya yang seper
“Itu ... Mbak Sari, kan, Mas?” Aku menunjuk ke arah kanan depan yang agak jauh dari mejaku.Mas Gio menoleh, tanpa berkata-kata dia langsung mengambil langkah tanpa ragu. Sementara itu, aku mengikuti langkah cepatnya. Tanpa ekspresi apa pun, Mas Gio berjalan menghampirinya. Akan ada kejutan seperti apa hari ini?Dengan jarak yang semakin dekat, aku merasa ada yang janggal. Perawakan, paras, suara, dan ... sebuah geretan. Sekilas otakku berpusat pada suatu lokasi; penginapan serta pukulan itu. Hatiku mengerut seketika. Aku pun beringsut ketika tersadar dan kembali dari sebuah kejadian. Inisial “L”, gumamku.Bergegas aku duduk membelakangi di kursi terdekat tanpa menghampiri mereka. Aku hanya menyelisik dengan jarak tak lebih dari dua meter. Seharusnya, cukup untuk hanya mendengar percakapan mereka dengan jelas“Selamat siang, Pa?”“Oh, Gio?! Apa kabar, ayo duduk.” Kudengar suara kursi bergeser.
Dia menyeringai.Langkah kaki ini refleks bergerak mundur dengan tangan membentur daun pintu karena terkejut. Gejolak di dalam dada seketika bergemuruh hebat.“P-p-pak? A-ada apa?” Bibirku bergetar memaksakan diri untuk bertanya.Tanganku yang lain mengepal di dada, mencengkeram kain kerudung. Di depanku, pria tua itu berdiri kaku masih dengan seringainya dan tak bergerak sedikit pun. Justru, sikapnya itu semakin membuatku dilanda kepanikan.Mataku beredar mencari keberadaan orang lain selain kami. Namun, tak kutemukan seorang pun. Nahas! Ia mengikuti arah pandanganku untuk memastikan tak ada orang lain juga di sekitar sini, kemudian ia kembali melihatku dengan tatapan bengisnya yang mengerikan.Tangannya bergerak memegang erat bahuku.“Kamu Rimar? Perkenalkan, saya Akala Palevi.”Tunggu! Akala? Lalu inisial L itu apa? Bahkan dalam namanya tak ada satu pun berinisial L. Mbak Sari pasti memiliki makna ters
“Rimar, bukannya tadi kamu pergi dengan Sergio? Kenapa kamu lari? Apa dia melakukan sesuatu yang buruk?”“Kalau boleh jujur ... iya.”Pak Adit mendadak menginjak pedal rem sampai membuatku terlonjak, untung saja seat belt sudah terpasang kuat melintang di badanku.“Hal buruk apa? Dia menghina kamu?” Sebuah pertanyaan yang tegas keluar dari mulutnya.“Lebih dari itu, Pak.” Lebih tepatnya, Mas Gio sama sekali tak pernah menganggapku sebagai keluarganya. Siapa yang tidak tersinggung mendengarnya? Dia seolah lupa dengan apa yang telah dilakukannya kemarin malam. Dia menikmatinya sendiri, aku ingat betul.“Jangan bilang ... dia melecehkanmu?”“Bisa dibilang seperti itu. “Kali ini, pedal gas diinjaknya dalam-dalam membuat mobil berwarna silver yang dikemudikannya melesat jauh dan menempuh kecepatan hampir tujuh puluh kilometer perjam. Aku memegang handle di
Suara pintu mobil ditutup terdengar cukup keras yang berasal dari belakangku dan Mbak Sari.“Adit, Apa benar yang kudengar?”Selain aku yang terperangah, rupanya Mas Gio juga terkejut dengan apa yang baru saja dilontarkan Pak Adit. Apa aku juga tidak salah dengar? Mungkin saja ucapannya hanya candaan demi mendengar sesuatu yang penting dari Mbak SariMas Gio melangkah tegap ke arah kami. Kenapa dia memarkirkan mobil di tengah-tengah begitu? Mentang-mentang sultan, dia bisa berbuat semaunya.Di antara kami bertiga tidak ada yang menyadari kedatangan Mas Gio. Maka dari itu, Pak Adit bisa berbicara mengenai perasaannya seperti tadi. Aku tidak yakin dengan ucapannya, siapa pun bisa berbicara seperti itu. Namun, dalam hati siapa yang tahu?Mbak Sari menghampiri Mas Gio, menyambut dengan rangkulan di pinggang serta menggenggam tangannya. Kali ini, dia berperan sebagai istri yang manja. Padahal, tidak pernah kulihat dia bermanja-manjaan
“Rimar, kamu enggak ketemu Gio?” Mama mertuaku menghampiri dan bertanya.Aku menggeleng dengan perasaan bingung. “Memangnya, Mas Gio belum kembali dari tadi pagi?” Seketika, aku juga ikut cemas memikirkannya.“Belum, Rimar. Kami sudah menghubungi semuanya, tapi tidak ada yang tahu keberadaannya.”Aku melirik waktu yang ditunjukkan di arlojiku, sudah hampir jam setengah sembilan malam. Ke mana perginya dia?“Mama sudah hubungi hubungi nomornya?”“Sudah, tapi masih dialihkan sampai sekarang, Rimar.”Walaupun sikapnya seperti itu, tapi kalau sampai tidak ada kabar begini, aku jadi ikut cemas.“Ma, Rimar pergi dulu. Rimar coba cari di tempat lain, ya?”Aku segera melangkah lebar dan cepat. Mama mertuaku memanggil-manggil supaya aku pergi diantar dengan mobil saja karena waktu sudah malam, Ditambah lagi, aku adalah wanita yang sedang hamil. Namun, ak