Dzi baru saja sampai di rumah kediaman keluarganya. Suasana rumah sangat ramai oleh tamu yang akan menghadiri ijab Qabul Amira dengan laki-laki yang ia tidak tahu siapa. Dzi memarkirkan mobilnya di antara mobil-mobil pengunjung. Ia melangkah mendekati pagar dan terus melangkah melewati pintu samping rumah tanpa mempedulikan tatapan beberapa orang kepadanya.
Sampai di dalam, ia segera menuju kamar Amira. Di sana, Kakak perempuannya sedang duduk ditemani ibunya, Nyonya Dzulfikar dan seorang ibu yang membelakanginya. Dzi masuk tanpa salam, lalu memandang ketiga wanita di kamar kakaknya.
“Assalamualaikum.”
Tiga wanita yang sedang berbincang akhirnya menoleh melihat Dzi yang baru saja masuk. Nancy, wanita yang membelakangi pintu masuk yang awalnya tidak dikenali oleh Dzi terpana memandangnya. Dzi juga terpana menyaksikan ibu muda yang selama ini akrab dengannya.
“Saifi?”
Nyonya Dzulfikar yang melihat Nancy terkejut melihat anakny
“Apakah seperti itu?”Nancy mengangguk dengan penuh antusias, sedang Raharja hanya tersenyum. ia sudah tahu bahwa selama ini istrinya salah paham pada Dzi. sudah sejak lama ia tahu bahwa Saifi adalah Dzi, anak Tuan Dzulfikar yang meninggalkan rumah karena menghindari perjodohan dengan Khalid. ia mengawasi setiap pergerakan Dzi dan Khalid dengan mengirimkan mata-mata yang ia sebar di beberapa tempat.“Kalau aku tahu dari dulu, Pah. aku pasti akan secepatnya menikahkan mereka tanpa drama seperti sekarang.”Raharja tersenyum. Ia paham bagaimana tabiat istrinya yang bisa semau sendiri menumpahkan emosinya tanpa berpikir apapun. Karena kepahamannya ia lebih memilih diam dan tidak memberitahu istrinya perihal Dzi dan Saifi. Tuan Raharja ingin, Nancy mengetahui sendiri bahwa mereka adalah orang yang sama sehingga Nancy bisa menyesal dan menyalahkan diri sendiri. Ini ia lakukan agar Nancy lebih waspadan dan hati-hati saat mengambil sikap.
“Ah tentu saja tidak. A-aku hanya ingin ke kamar kecil saja.”Willy mengangguk. ia memandang Dzi yang meninggalkannya dengan tergesa.Dzi melangkah dengan cepat menuju kamarnya untuk menunaikan hajatnya. Setelah beberapa menit, ia segera keluar kamar dengan gontai. Pikirannya melayang jauh, membayangkan betapa dirinya menjadi manusia yang tidak peduli dan tidak dipedulikan oleh keluarga.“Mungkin aku yang terlalu acuh menanggapi cerita Kakak yang selalu mengatakan bahwa aku sama sekali tidak mengenal calon suaminya. Aku pikir ketika aku marah, Kakak akan mendatangiku dan membawa calon suaminya lalu mengenalkannya padaku. Atau tidak, Kakak membuat rencana untuk kami berdua agar bisa saling bertemu. Tapi apa yang terjadi? Aku diabaikan olehnya. Hingga kami bertemu saat ini dan mengetahui kalau Kak Wildan adalah kakak iparku. Oh My God. Mengapa harus serumit ini pikiranku? Kalau kupikir mudah semua pasti mudah. Tidak akan seberat ini.”
“Memangnya siapa dia?”“Yang mana?”Dzi yang sedang merenung tidak fokus dengan pertanyaan Andini. Ia mengerutkan keningnya, mencoba menganalisa arah pembicaraan Andini dan orang yang dimaksud dalam pertanyaannya. Andini memukul lengan Dzi yang masih kebingungan.“Fokusmu ke mana sih? Dari tadi perasaan kamu selalu kehilangan fokus terus. Jangan-jangan kamu sengaja menutupi masalahmu dariku ya? Aku kau anggap apa selama ini? Aku ini sahabatmu, Dzi.”“Iya, maaf. Sebenarnya bukan ingin merahasiakan semuanya darimu. Aku hanya sedang menguji diriku sendiri, Din.”Andini memandang Dzi yang menunduk. ia tahu Dzi memang sedang merasakan beban berat. Beban perasaan yang membuat sahabatnya merasa sedih. Andini mengulurkan tangannya dan mencoba mengelus lengan Dzi, membuat Dzi mendongak dan menatapnya sendu.“Ceritakan padaku siapa pasien yang baru masuk ke Alfitrah. aku yakin kamu pa
Ratri masih berdiri di pintu kamar Dzi. ia sedang berusaha membujuk anaknya agar mau membuka pintu kamarnya. Dzi yang sejak tadi merenung memikirkan sikapnya selama setengah hari di rumahnya, merasa ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Pikirannya kalut memikirkan Khalid dan beberapa urusan lainnya. Ia masih kesal dengan sikap orang-orang di sekelilingnya yang seolah sedang mengolok atas kebodohannya.“Sayang, tolong buka pintunya! Ini Bunda, Sayang.”Dzi masih menatap pintu kamarnya sejenak lalu berdiri dan melangkah menuju pintu. Tangannya gemetar saat embuka kuncin dan menemukan Ratri berdiri sambil memandangnya dengan tatapan lembut.Ratri masuk dan memeluk Dzi yang sedang menutup pintu. Mereka lalu duduk di bed yang sudah sangat acak-acakan. Ratri masih memeluk anaknya sambil terus mengelus punggungnya. Ratri tahu anaknya sedang menanggung masalah berat yang tidak bisa ia selesaikan sendiri. Biasanya Dzi akan tampil menjadi sosok gadis mandiri
Di Alfitrah, Khalid yang sedang mendapat kunjungan dari mama dan papanya masih merasa dongkol sebab mamanya selalu memaksanya untuk menerima Saifi sebagai istrinya. Khalid benar-benar tidak habis pikir pada mamanyayang sangat tidak memiliki rasa empati kepadanya. Dia sedang terbaring lemah karena kecelakaan. Khalid juga sudah mengatakan kalau kecelakaannya karena dirinya mencari Dzi yang hilang entah kemana.Khalid sudah mencoba menerangkan bagaimana kondisinya hari ini yang terpuruk karena kehilangan kekasihnya. Khalid menarik nafas dalam. rasasakit di sekujur tubuhyang sejak kemarin datang tidak sebanding dengan sakit hati yang ia rasakan karena ketidakpahaman orang tuanya atas perasaan dan keinginannya.“Apakah kau masih ingin di rawat di sini, Sayang? Biar Mama panggilkan Saifi untuk menjagamu, Ok?’Khalid menggeleng.“Tidak usah, Ma. Aku sama sekali tidak mau dirawat siapapun kecuali Dzi. hanya dia yang boleh mendampingiku dal
Pagi hari, ketika Dzi dan Tuan Dzulfikar baru saja menyelesaikan olah raga paginya di taman belakang, setelah melakukan pertandingan tiga set memanah, Dzi dan Tuan Dzulfikar melepas lelahnya di gazebo di sudut halaman.“Kemampuanmu boleh juga, Dzi. Ayah kira setelah absen dua tahun kamu sudah kehilangan kemampuan memanahmu. Ah, ternyata Ayah keliru. Kau masih bisa mengalahkan Ayah yang setiap hari berlatih ini.”Dzi tersenyum. ia membungkuk, melepaskan sepatu ketsnya dan membersihkan pasir yang menempel di sepatunya. Sejak masih di sekolah dasar ia selalu unggul dalam memanah. Bidikannya jitu dan selalu tepat di posisi fokus angka sempurna. Hanya beberapa bidikan yang menyasar di angka sembilan atau delapan.“Jangan salah, Ayah. Dzi kan hanya vakum di rumah. Di Alfitrah, Aku masih berlatih kok. Kubeli tanah di belakang klinik dan kubangun lapangan seperti di sini, jadi aku masih bisa berlatih memanah dan berkuda.”Tuan Dzulfi
Dzi segera mengecek panggilan masuk. Lima kali Willy memanggilnya dengan panggilan video dan lima kali dengan panggilan suara. Dzi segera mengusap wajahnya. ia menelpon balik nomor Willy namun panggilannya ditolak. Ia segera menelpon Andini, namun beberapa kali panggilannya tidak terhubung. Dzi nampak sangat khawatir. Ia segera memandang ayah dan kakaknya.“Kelihatannya ada yang genting di Alfitrah, Ayah. Dzi harus segera pergi sekarang.”Tuan Dzulfikar, Wildan dan Amira mengangguk. mereka tidak dapat menahan Dzi sama sekali. Meski hanya untuk memberi pesan kepadanya agar hati-hati di jalan. Dzi segera berlari ke kamarnya dan mengganti pakaiannya tanpa membersihkan badannya terlebih dulu. Ia berniat mandi di apartemennya di Alfitrah. ia segera keluar rumah dengan Expander miliknya.Setengah jam kemudian, mobil warna hitam sudah berhasil parkir di tempat parkir khusus Direktur Utama rumah Sehat AlFitrah. ia segera berlari ke ruang dokter Willy dengan
Di ruang perawatan Khalid di pagi yang sama, Nancy masih kesal. Pasalnya beberapa menit lalu ia mengunjungi dokter Willy di ruangannya, namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas keberadaan Dzi. Willy belum mau membuka suaranya. Ia hanya mengatakan agar bersabar sebentar karena Saifi sedang dalam urusan yang tidak bisa diganggu siapapun.Willy tidak mengatakan kalau Dzi sudah datang ke Alfitrah dan menemuinya. Ia sengaja membiarkan Dzi untuk menyiapkan dirinya dengan mandi dan sarapan. Willy melihat tubuh Dzi semakin kurus karena memikirkan masalah percintaannya dengan Khalid. ia tidak rela ketika Dzi sedang makan dan istirahat, ada orang lain mengusik bosnya.“Kau kenapa, Mama? Sejak tadi bukannya duduk malah mondar mandir kesana kemari. Apakah kau sedang menahan hasrat ingin kencing?”Nancy melototkan matanya. Ia benar-benar ingin mencakar wajah suaminya yang tidak pernah tahu kalau dia sedang berakting. Ia selalu bersikap serius men