Apa kalian suka dengan cerita ini? Jangan lupa beri aku dukungan dengan 5 bintangnya :'
Mobil yang dikendarai Maven melaju di jalan yang sepi. Dia menoleh ke samping di mana Rhea memiringkan kepalanya menghadap ke kaca mobil dengan mata terpejam dan tersenyum. Kembali menatap ke depan, Maven berujar, “Aku pikir kamu akan merasa sangat senang setelah dari acara itu.” “Aku sedang tersenyum.” Maven tidak menanggapi membuat Rhea membuka matanya. Kemudian membuang napas perlahan. “Apakah terlihat jelas di wajahku?” “Tidak juga. Tapi sesuatu mengganggumu, benar?” Rhea terdiam. Dia kembali mengingat permintaan maaf Enzo sebelumnya dan hampir saja memaafkannya. Ketika dia menebak asal maksud permintaan maaf tersebut yang ternyata benar, Rhea kembali mengeraskan hatinya. Rhea sungguh tidak habis pikir dengan pria itu. Menjawab pertanyaan Maven, Rhea hanya bergumam pelan. “Aku pikir kau akan puas dengan hasilnya.” “Aku senang dengan hasilnya. Tapi terlalu berlebihan jika aku puas terlalu dini. Namun,” Kembali menatap ke luar jendela mobil, Rhea kembali tersenyum. “Aku bisa
Di dalam lift bersama dua direktur induk, Enzo menatap pintu lift dengan sabar. Lift tersebut sedang membawa mereka ke lantai atas kantor. Sambil menunggu, dia mendengar pembicaraan dua orang tersebut yang berdiri di sebelahnya. “… Aku melihat proposalnya. Perusahaan finansial itu dalam kondisi yang bagus. Cuma, memang beberapa minggu ini nilai sahamnya turun karena kesehatan pemiliknya. Aku dengar adiknya ingin mengambil alih maka jadi perebutan di sana dengan direksinya.” “Pantas saja Pak Maven ingin mengakuisisinya. Ngomong-ngomong kau sudah membeli saham di sana?” "Tentu saja. Sahamnya turun drastis, itu kesempatanku membelinya." Temannya mengeluarkan ponsel sambil berdecak. "Jangan bilang sekarang sudah naik." "Tenang saja, menurut perkiraanku jika sudah melewati formalitas dan mengumumkannya ke publik, saat itulah nilainya akan kembali dan lebih tinggi." "Aku harus membelinya juga kalau begitu." Pembicaraan yang sudah sering dia dengar seperti itu hanya masuk dan keluar be
Bantuan? Bayaran? Atau apa? Di luar gedung kantor, Enzo mengeluarkan salah satu rokok dari bungkusnya kemudian menyalakannya dengan pemantik. Dahinya berkerut dalam mencoba untuk mencari tahu apakah ada maksud tersembunyi dari Maven yang mengakuisisi Raya Finance. Apa karena dia kasian dengan istrinya? Takut perusaan itu diambil alih oleh pamannya? Tapi bagaimana jika bukan itu? Menatap pohon rindang di depannya, Enzo menghembuskan asap sekali. “Bagaimana jika bukan?” Enzo tanpa sadar menggumamkan isi pikirannya. Enzo kemudian merogoh saku celananya dan menghubungi Andini. Dan tak butuh waktu lama, wanita itu segera mengangkat panggilannya. “Ya, Sayang? Kamu melupakan sesuatu?” “No. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu. Kamu baik-baik saja ‘kan di tempat kerjamu?” “Tentu saja!” Andini di seberang telepon tersenyum lebar. Suaminya sangat perhatian dengannya padahal mereka baru berpisah tidak sampai 2 jam. “Bagaimana denganmu?” Menjentikkan abu rokoknya, Enzo menjawab singkat, “Y
“… Di Celadon, saya ingin para penjual terobsesi dengan pelanggan daripada fokus dengan pesaing, semangat untuk penemuan, komitmen untuk keunggulan operasional, dan pemikiran jangka panjang mereka. Karena itu, saya memiliki strategi baru yang didasarkan pada satu tujuan ambisius: untuk memenuhi setiap kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan pengalaman yang unggul.” Enzo berbicara sangat penuh percaya diri dan lancar di ruang rapat. Di ruang tersebut, sudah ada dewan direksi beserta Maven yang menjabat sebagai CEO dan Tony selaku Komisaris Utama TW Group. Semua orang memandang layar panel datar interaktif di depan sambil mengangguk. Akan tetapi tidak untuk Maven. Pria itu dengan tenang hanya menatap agenda di depannya. Itu sudah biasa. Enzo sering kali melihat Maven seperti ini. Pria itu bukannya tidak suka dengan presentasi karyawannya, hanya saja bagi pria itu membaca dari makalah rapat secara langsung lebih efektif agar mempersingkat waktu. Ketika pria itu membalikkan lembar ber
Hari sudah sangat malam ketika Maven kembali. Begitu dia masuk ke rumah, kepala pelayan yang seorang wanita paruh baya segera menghampirinya dengan langkah lebar dan cepat. Namanya Yana.“Anda pulang cukup larut malam ini, Pak.” “Hm.” Maven memberikan jasnya kepada Yana.“Apa Anda ingin makan malam atau kopi?” Yana sudah tahu kebiasaan Maven. Tiap hari Maven pulang, pria ini tidak akan langsung istirahat melainkan mengurung dirinya di ruang kerja seolah pekerjaannya tidak pernah ada habisnya. “Aku sudah makan malam dengan klien. Kopi saja.” Maven kemudian melihat arloji di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 10 malam lalu bertanya, “Rhea sudah tidur?”“Bu Rhea ada di ruang santai lantai atas, masih bekerja saya rasa.”Maven mengangguk singkat. “Bawakan kopiku ke sana.”Yana tersenyum dan menunduk sopan kepada Maven yang menaiki anak tangga. “Baik.”Di lantai 3, sesuai perkataan Yana, Rhea ada di ruang santai yang posisinya berada di antara kamar Rhea dan kamarnya. Kedua kak
Mobil yang dikendarai Albar melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya. Di kursi penumpang bagian belakang, Maven duduk sambil melihat jadwalnya.Matanya kemudian menangkap hari yang tertera di sana, Sabtu. Hari di mana Rhea akan pergi ke kediaman kakeknya.Maven melihat jam tangan yang menunjukkan waktu sore dan bertanya-tanya, apakan Rhea sudah pergi?Lalu tanpa diminta ingatan malam itu, obrolannya bersama Rhea menghampirinya.“Um, Henry itu ... orang yang seperti apa?”“Bagaimana hubungannya dengan istrinya?” Ada kerutan samar di antara alis tebal pria itu. Akhir-akhir ini, Maven selalu memikirkan alasan apa dibalik pertanyaan Rhea.Rhea tidak pernah membuka obrolan tentang keluarganya kepada Maven. Wanita itu juga tidak pernah bertanya tentang Tony ataupun silsilah keluarga Williams. Akan tetapi, dia malah menanyakan orang seperti Henry.“Apa yang dilakukan Henry akhir-akhir ini?” Maven bertanya.“Dia mengunjungi Bu Gemma dan Pak Tony hampir setiap hari setelah pulang bekerja.
Beberapa menit sebelumnya ....Setelah mendengar jawaban Albar, Maven semakin memikirkan pertanyaan Rhea. Kemudian bergulir ke waktu yang lebih lama lagi, di malam ketika mereka makan malam bersama di rumah Tony. Dan sekarang, Maven memahaminya.Maven memejamkan matanya dan menghela napas dingin. Dia memijit pelipisnya lalu bergumam rendah, “Dia benar-benar mencari masalah.”Albar melirik ke belakang karena tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan bosnya. “Sir?”Maven membuka matanya menampilkan tatapan dingin dan gelap. “Ke rumah kakek.”“... Bagaimana dengan pertemuan selanjutnya?”“Atur ulang jadwal hari ini. Jika dia menolak, lupakan saja kerja samanya.”Tidak menunggu waktu lama, Albar segera mengangguk. Dia segera berbelok menuju ke arah sebaliknya lalu menghubungi sekretaris Pak Lukman untuk membatalkan pertemuan mereka sebentar lagi. Begitu dia tiba. Benar saja apa yang firasatnya perkirakan. Henry sungguh berani mendekati istrinya.Kembali ke masa sekarang, raut wajah Hen
Keluar dari kamar, Rhea menahan Maven membuat pria itu menatapnya.“Kamu yakin suaraku tidak terlalu nyaring tadi? Pasti banyak yang mendengarnya saat melewati kamar.”“Percaya padaku. Tidak ada yang mendengarnya.”“Lalu kenapa kakek berkata seperti tadi?”“Apalagi yang akan kamu pikirkan ketika sepasang suami-istri mengurung diri mereka di dalam kamar cukup lama?”“Uhm ... itu ....” Anggap saja apa yang Maven katakan benar, tetap saja dia malu. “Bagaimana kalau kakek menggodaku di depan para pelayan?”Maven tersenyum tipis ketika mendengar suara kecil istrinya. Dia mengamit tangan Rhea lalu berkata, “Tenang saja. Apa yang kita lakukan itu hal yang normal dalam pernikahan. Kita ini suami istri. Mereka tidak mungkin membicarakan kita yang aneh-aneh di belakang.”Rhea mendengus pelan. “Kamu seorang pria, tidak tahu bagaimana para wanita bergosip kalau sudah berkumpul.”Maven mengeluarkan kekehan hangat. Dia menggenggam jemari halus dan rapuh Rhea lalu mengajaknya berjalan. “Kamu terlalu