Share

Merpati Tanpa Sayap
Merpati Tanpa Sayap
Penulis: ICETEA

PERMULAAN

“Ini.. apa? Apa aku kena penyakit mematikan? Kenapa bisa kayak gini?” Eveline panik sejadinya. Wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin yang menguncur membasahi dahi dan lehernya.

“Kenapa.. Ada darah?” Eveline semakin panik.

Sosok cantik bertubuh mungil dengan rambut panjang terurai tengah dibuat ketakutan oleh sesuatu yang baru pertama kali ia rasakan. Sepulang dari sekolahnya, ia segera berlari menuju kamar mandi dan mengunci dirinya selama tiga jam untuk menelaah apa yang tengah menerpa dirinya.

“Celanaku berdarah.. Apa aku kena kanker? Atau tumor? Atau.. gagal ginjal?” kata Eveline lemas.

Raut wajahnya kian panik dengan kepastian yang tidak kunjung ia dapatkan. Pikirannya pun sulit untuk berpikir jernih.

Matanya mengawang ke langit-langit. Dia sangat bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia alami. Hanya dinding kamar mandi yang ia ajak bicara selama berjam-jam. Tanpa ada jawaban yang bisa meringankan beban pikirannya.

BRAKK! BRAKK!

“EVELINE! KELUAR! Ngapain aja kamu di kamar mandi? Kenapa lama banget!” bentak seseorang dari luar. Pintu kamar mandi itu dipukul berkali-kali dengan sangat brutal.

Bentakan itu sontak membuat Eveline merinding ketakutan.

"ANAK KURANG AJAR! Bisanya cuma jadi beban keluarga! Kapan kamu mau berhenti bikin orang tuamu kesal?!” lanjut suara itu.

Eveline yang semula sudah bergidik ngeri, ketakutannya semakin menjadi-jadi dengan adanya bentakan yang memekakkan telinga. Bukan pertama kalinya. Tapi, Eveline tetap tidak menyukainya.

Tapi, Eveline tak punya pilihan lain selain beranjak dari posisi duduknya.

Krieeet ...

Dengan tangan gemetaran, dibukanya pintu kamar mandi itu perlahan. Pintu dari seng yang menyebabkan bunyi khas ketika dibuka dan ditutup.

“ANAK YANG NGGAK TAHU DIUNTUNG!” suara wanita itu meninggi lagi setelah melihat tubuh Eveline basah kuyub tanpa mengenakan pakaian lengkap. Eveline hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan pakaian dalamnya yang sudah terkena air selama berjam-jam.

Penampilan gadis kecil itu benar-benar tidak enak dipandang.

Bu Dewi, ibu Eveline satu-satunya. Ibu yang melahirkan dia. Ibu yang membencinya setengah mati, berdiri di hadapan Eveline dengan mata terbuka lebar. Terlihat jelas dari raut wajahnya bahwa dia sangat marah dan naik pitam. Auranya mengerikan bagai dirasuki ratusan iblis.

“Maaf, Bu. Eveline tadi cuma..,” jawab Eveline lirih.

“APA? APA? BUANG-BUANG AIR!” ucapan Eveline terpotong oleh hardikan ibunya.

Gadis kecil itu hanya bisa menundukkan kepala. Seumur hidupnya, tidak pernah ada keberanian untuk saling bertatap mata dengan ibunya. Terlalu menakutkan.

“Maaf.. Eveline minta maaf, Bu..,” lanjut Eveline.

“Saya nggak butuh ucapan maaf dari kamu! Saya bahkan nggak peduli kamu mau hidup atau mati!” maki Bu Dewi.

Kata-kata kejam itu kembali menusuk-nusuk batin Eveline. Sudah ratusan kali Eveline mendengar kalimat itu. Tapi, masih saja menyakiti batinnya.

BRUKK ...

Saat Bu Dewi dan putrinya masih beradu pandang dalam tatapan yang nanar, sesuatu sedikit mengalihkan perhatian mereka.

Tanpa pertanda, sebuah sepatu pantofel tiba-tiba melayang tinggi dan jatuh tepat di dekat Bu Dewi dan Eveline dengan suara yang begitu keras. Membuat jantung Eveline serasa hendak terlepas dari dadanya karena saking kagetnya.

“Aaarrggg.. BERISIK! Diam kalian.. Ahh.. Hahahaha.. DIAM!” timpal Pak Fero, ayah Eveline. Wajahnya sayu dan kemerahan seperti baru ditampar berkali-kali.

Tapi, wajah aneh itu ternyata disebabkan oleh kemabukan Pak Fero yang sudah mencapai puncaknya. Titik di mana laki-laki itu tidak menyadari apa yang ia lakukan dan katakan.

Pak Fero mendekati kedua perempuan yang tengah bertikai dengan mata setengah terbuka dan sebuah botol minuman keras di genggaman tangannya. Ia berjalan sempoyongan dengan kekehan-kekehan kecil yang memuakkan.

Langkah kakinya bagai sebuah batang yang hendak tumbang. Terhuyung-huyung tak tentu arah.

“Ini lagi! Orang yang lebih nggak berguna datang! Kerjaannya cuma bisa mabuk, mabuk, dan mabuk! Bisa nggak sih sekali-kali pulang ke rumah bawa uang yang banyak! Kalau pulang cuma bawa bau menyengat, mendingan kamu tidur di luar!” hardik Bu Dewi sembari menatap suaminya yang sudah bertahun-tahun menjadi budak minuman beralkohol.

Tapi, pria keturunan Jepang itu tidak mengindahkan suara apa pun yang ditujukan padanya.

Pak Fero selalu pulang dengan keadaan yang serupa. Setengah sadar sambil berjalan terseok-seok. Dia selalu menimbulkan keributan dengan perilaku-perilaku anehnya saat mabuk. Hingga besoknya, ia selalu melupakan semua yang terjadi. Banyak hal konyol dan memuakkan yang sering Pak Fero lakukan ketika tengah dibuai pengaruh minuman keras. Tidur di kamar mandi, memasak sepatu dan kaus kakinya dalam sebuah panci, bahkan Pak Fero pernah mencuci mobilnya dengan saus kacang merah.

Esoknya, Pak Fero melupakan apa yang telah ia lakukan. Dia menjalani hidupnya tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Benar-benar menjijikkan. Tingkah konyol itu cukup untuk membuat Bu Dewi naik pitam hingga mengomel sepanjang hari.

Sayangnya, Pak Fero selalu tidak mempedulikan omelan yang ia dapatkan dengan alasan ‘aku kan tidak sadar’.

“Ahahaha.. Hahaha.. Dasar kalian perempuan merepotkan! Kalau bukan karena orang tuaku, kalian sudah aku tinggalkan dari dulu! HAHAHA..,” ucap Pak Fero lagi.

Bu Dewi hanya berkacak pinggang menyaksikan gelagat suaminya yang sudah mirip seperti orang dengan gangguan jiwa.

Tap..

Tap..

Tap..

Tanpa mempedulikan lebih jauh lagi, Eveline berlari menuju kamarnya dengan cepat. Dia ingin menyelamatkan diri dari situasi tersebut. Kepalanya terasa ingin pecah mendengar omelan-omelan yang dilayangkan ibunya.

“HEYYY! Mau kemana kamu!!! Saya belum selesai ngomong!” teriak Bu Dewi.

Sayangnya, Eveline tidak mengindahkannya lagi. Pura-pura tuli. Dia ingin segera mengganti pakaiannya dan keluar dari neraka kecil ini. Neraka yang dibuat oleh ayah dan ibu kandungnya.

"Sialan!" batin Eveline dalam hati tanpa menghentikan langkah kakinya.

Air mata Eveline mulai menitik. Tetesan-tetesan kecil, berubah menjadi sebuah sungai yang tidak dapat dibendung. Air matanya pecah. Di bawah bantalnya, ia luapkan semua kekesalannya. Bingung, takut, marah, sedih, panik, semuanya menjadi satu di dalam kepalanya.

Semua yang ia rasakan, membuat Eveline semakin menguatkan sumpahnya untuk meninggalkan rumahnya suatu hari nanti. Saat dia sudah mampu hidup di atas kedua kakinya sendiri.

Kini, Eveline tidak ingin mempedulikan apa yang ayah dan ibunya bicarakan di luar kamarnya. Tersisa omelan dan bentakan yang entah apa maksudnya. Pertikaian Bu Dewi dan suaminya memanglah sudah menjadi makanan sehari-hari.

Sophia merebahkan tubuhnya di kasur mungilnya. Mengatur pikirannya agar tidak semakin terjerembab pada angan-angan negatif. Gadis kecil itu hanya ingin menumpahkan rasa sakit hatinya di atas tempat tidur kecilnya.

                                                                                          ***

“Eve, kenapa kamu baru datang kesini? Biasanya kan kamu pulang sekolah langsung nyariin Linda. Kadang-kadang kamu masih pakai seragam juga langsung ikut makan di sini,lho,” tanya Tante Yosina, satu-satunya tetangga yang selalu membukakan pintu lebar-lebar untuk Eveline.

“Iya Tante. Tadi Eveline di rumah dulu. Tadi di rumah juga ada ayah sama ibu,” jawab Eveline pelan.

Karena Eveline tertidur saat menangis tadi, dia baru sempat ke rumah Tante Yosina saat suasana sudah hampir petang. Sangat terlambat dari biasanya.

“Ayah mabuk lagi, Eve? Ibu marah lagi?” Tanya Tante Yosina lagi.

Eveline hanya mengangguk. Dia tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Tante Yosina bahkan lebih banyak mengetahui kehidupan keluarga kecil Eveline dari pada Eveline sendiri.

Tante Yosina adalah seorang wanita berusia 37 tahun yang sejak lahir sudah tinggal di samping rumah Elle. Dahulunya, dia adalah seorang laki-laki bernama Yosi Kurniawan. Sayangnya, jiwa dan kepribadiannya adalah seorang wanita yang baik hati dan lembut. Insting keibuannya, kelembutan hatinya, cara pandangnya terhadap dunia, ia akui bahwa sisi wanita yang mendominasi dirinya. Alhasil, dia memutuskan untuk bertransformasi menjadi seorang wanita yang cantik di usianya yang ke 22 tahun.

“EVELINEEE… Ayo makan bareng aku. Mama Yosina masak tumis ayam,lho. Enak banget! Kamu pasti belum makan kan?” suara Linda terdengar nyaring dan gembira. Dia menghampiri Eveline dan Tante Yosina yang tengah mengobrol di depan pintu rumah.

Suara langkak kaki Linda yang nyaring pun sudah menggambarkan keceriaan gadis itu. Membuat Eveline ikut bahagia pula.

“Iya Eve.. Makan sama Linda, ya. Kamu di rumah udah makan? Makan lagi yuk,” ajak Tante Yosina.

“Belum, Tante. Tadi ibu masak udang goreng. Eveline kan alergi seafood dari kecil. Tapi kayaknya ibu nggak pernah ingat soal itu,” jawab Eveline padat.

Tante Yosina mengelus rambut Eveline yang lembut. Ada rasa iba menyelimuti hati Tante Yosina. Melihat sosok lemah yang ditelantarkan oleh orang tua kandungnya, membuat perasaan Tante Yosina ikut teriris.

“Ya sudah, mumpung Linda juga belum makan, kalian makan bareng ya,” jawab Tante Yosina.

Seulas senyum muncul dari wajah Eveline. Dengan perasaan sumringah, dia menerima ajakan Tante Yosina dan Linda. Seperti biasanya. Rumah ini, bagai rumah kedua untuk Eveline. Saat keadaan rumah tidak terkendali, satu-satunya pelariannya adalah Tante Yosina dan Linda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status