Jay dan Ana sudah tidak berada di penginapan lagi. Keduanya kini tengah berada di pasar tradisional untuk membeli beberapa pakaian. Hal itu diputuskan setelah Ana jujur pada Jay, bahwa ia ketinggalan celana dalam di kamar mandi Darto yang sedang ia jemur. Sehingga merahlah wajah Jay saat Ana membisikinya hal tabu seperti itu. Berarti, sejak menggedongnya semalam, Ana tak memakai pakaian dalam.
"Bang, jangan jauh-jauh!" rengek Ana saat ia memilih beberapa celana dalam obral dari dalam box. Jay mengangguk, sambil terus mengawasi keadaan sekitar. Ana membeli setengah lusin pakaian dalam untuknya dan juga untuk Jay. Setelah dari sana, mereka pindah ke toko daster. Ana membeli 2 buah daster, satu baju kaus, dan juga satu celana boxer selutut untuknya dan juga untuk Jay.
"Bang, dua ratus ribu," bisik Ana saat tangan dan matanya sibuk memilih motif kaus untuk Jay. Ia mendekatkan kaus di tubuh lelaki tegap yang masih setia menunggu dan memegang semua belanjaannya.
Saat ini, Rangga sudah berada di Terminal Lebak Bulus, sesuai arahan dari seseorang yang mengakui mengetahui keberadaan Ana. Jujur, sebenarnya lelaki itu sangat malas, karena kondisinya baru saja pulih. Hingga ia lebih memilih menunggu di dalam mobil saja. Rangga hanya memerlukan dua orang yang menemui lelaki yang berjanji dengannya.Berjanji di terminal dan bila ia nekat turun, maka dapat dipastikan ia akan kembali muntah-muntah. Sukurlah, Tante Hepi baru berangkat ke Thailand untuk urusan bisnisnya selama sepekan, hingga ia bisa bergilir menemui Dini, Eka, dan dua pacar gelap lainnya.Matanya sibuk mencari keberadaan lelaki yang katanya memakai celana pendek dan juga baju kaus hitam, dari balik kaca mobil. Namun sudah lima belas menit menunggu tidak juga muncul lelaki dengan ciri-ciri yang ia cari. Dua orang ajudannya sudah berpencar, mencari seseorang yang dimaksud. Hingga tinggalah Rangga seorang diri di dalam mobil, bak raja."Mbak yakin itu mobilnya?
Keduanya masih saling pandang untuk beberapa saat."Bang, jantung saya kok berdetak ya?" tanya Ana dengan polosnya. Wanita meletakkan tangan kanannya di atas dada."Ya karena masih idup. Ha ha ha ... emang mau gak ada detak jantungya lagi?" tanya Jay yang sudah tergelak sambil menggelengkan kepalanya."Emang kalau gak ada detak jantung kita bisa mati? Bukannya kita mati karena gak ada napas?" tanya Ana lagi dengan wajah polosnya. Jay kembali tergelak. Lelaki itu bangun dari duduknya, lalu meletakkan telapak tangannya di kening Ana."Hangat, Mbak. Belum buang air besar ya? Pantesan anget," ledek Jay sambil terkikik geli. Ana pun akhirnya ikut tertawa. Dalam hati ia berkata, kalau belum buang air yang diperiksa itu pantat, bukan kening. Sepertinya Bang Jay yang benar-benar korslet."Yuk Mbak, ikut saya," ajak Jay yang sudah berjalan lebih dulu tiga langkah mendahului Ana."Mau ke mana?""Mau ziarah ke makam istri saya. Mau ikut nd
"Bohong!" Jay menelan ludah, saat ucapannya disanggah oleh seseorang. Tidak mungkin istrinya yang menyahut dari dalam kuburankan? Ini pasti suara mertuanya. Pelan Jay menoleh ke asal suara, dan sudah ada Ana berdiri tak jauh darinya sambil tertawa terpingkal-pingkal sembari menutup mulutnya."Sial!" umpat Jay kesal sambil memainkan bibirnya."Ketepu yee ....!" ledek Ana lagi kali ini sambil berbalik badan, kemudian berlari sangat kencang meninggalkan Jay yang kesal. Lelaki itu bahkan melemparkan kerikil kecil kepada Ana. Namun sayang tidak kena. Karena Ana sudah kembali berdiri di depan gerbang kuburan."Dek, Abang pergi ya. Kamu gak perlu cemburu sama wanita rada-rada seperti Ana. Kami hanya teman. Bahasa novelnya, friendshit!" ujar Jay sembari menyeringai lebar. Lelaki itu pun mencium batu nisan yang masih terbuat dari kayu. Begitu hikmat dan sahdu. Ana memandang dari kejauhan dengan perasaan sedih.Cinta Jay untuk istrinya sangat jelas terlihat d
"Eh, maaf Tuan," ucap Delon sembari berbalik badan meninggalkan Rangga yang juga tengah kaget. Jangan tanyakan bagaimana malunya Eka saat ini. Untunglah ia sudah memakai bra dan juga menutupi bagian bawah tubuhnya dengan selimut."Mas, i-itu ....""Kamu diam di sini ya. Jangan ke mana-mana! Jangan keluar kamar!" ujar Rangga dengan suara tertahan. Lelaki itu cepat keluar dari kamar untuk menyusul Delon."Delon, tunggu!" panggil Rangga dengan setengah berteriak. Ajudannya itu sudah berada di depan pintu apartemen. Rangga mengejar, lalu menahan lengan lelaki itu."Jangan katakan apapun pada Tante Hepi. Saya akan ganti ponsel kamu dengan yang baru," bujuk Rangga dengan raut wajah memohon. Udara dingin di dalam apertemen ternyata tak mampu mengusir gelisah lelaki itu, saat kepergok dengan salah satu wanitanya. Keringatnya bahkan mengalir dengan sangat deras.Delon diam. Keningnya berkerut nampak tengah memikirkan sesuatu. Haruskah ia bantu pacar b
"Ka, bos aku ada di bawah sama pacarnya," ucap Rangga dengan wajah pucat. Tangannya sibuk membuka seprei, bermaksud menggantinya dengan yang baru. Jangan sampai aroma percintaannya dengan Eka tercium oleh nenek girang. Apalagi hidung Tante Hepi sangat tajam terhadap bau-bau dua satu plus."Trus, Mas?" tanya Eka kebingungan. Dirinya baru saja terbangun dengan tubuh lemas karena habis menikmati peraduan cinta hingga berlabuh berkali-kali. Baru juga dia mengirimkan sejumlah uang yang diminta Rangga. Sudah repot seperti ini. Ada-ada saja. Eka bermonolog."Jangan bengong, Kak. Kamu cepat pake baju! Kita keluar dari sini sebelum bos aku datang bersama pacarnya," umtukas Rangga tak sabar. Dengan tangan gemetar dan dada berdebar takut. Eka pun memakai semua pakaiannya. Lalu ia membantu Rangga merapikan seprei yang baru saja diganti.Tubuhnya mondar-mandir kebingungan, mau ditaruh di mana seprei ini? Karena pasti nenek itu mengecek baunya jika sudah di taruh di tempat sa
Mariana ternyata dibawa ke rumah salah satu kerabat dari Jay. Sepasang kakek dan nenek yang tinggal di rumah sederhana, di pinggiran kota Bandung. Mereka adalah kakak dari orang tua Jay yang telah lama meninggal. Jay memanggil keduanya dengan sebutan Mimih dan Apak.Jay yang datang tiba-tiba, tentulah membuat mereka kaget, karena sejak menikah, Jay tidak pernah lagi mengunjungi keduanya. Bukan karena tak rindu, tetapi almarhum istrinya yang tidak mau di ajak pergi ke kampung Jay, karena kamar mandinya berada di luar rumah. Mimih dan Apak Jay bahkan tidak tahu bahwa istri Jay baru saja meninggal. Mereka mengira bahwa Ana adalah istri dari Jay. Efek mata tua yang mulai rabun, membuat kedua orang tua itu sulit mengenal wajah istri Jay."Kenapa atuh baru kemari?" tanya mimih saat menyuguhkan minuman untuk Jay dan Ana."Banyak pekerjaan, Mih," jawab Jay singkat."Mau nginep lama'kan di sini? Mimih sama Apak kangen sama kamu Jay. Si Neng jadi manis
"Bang Jay! Ih ...."Bugh!"Aarrgh ... aaw! Sakit, Mbak." Lelaki itu terlempar di lantai setelah didorong kasar oleh Ana. Diusapnya bokong yang erasa ngilu karena terbentur lantai semen. Ana buru-buru turun dari ranjang dengan wajah menunduk malu. Bisa-bisanya ia tidur memeluk Jay dengan begitu nyaman. Tak dipedulikannya wajah melongo Jay yang memperhatikan langkahnya yang seger keluar dari kamar."Eh, udah bangun. Cuci muka sana! Mau mandi hadas besar lebih dulu juga boleh," sapa mimih dengan senyuman nakalnya."Hah? Mandi hadas besar kenapa, Mih?" tanya Ana kebingungan. Nyawanya belum berkumpul semua, sehingga akses maksud dari pembicaraan seseorang sedikit lambat ditangkap oleh otaknya."Euleuh ... kura-kura dalam sepatu. Emangnya Mimih gak tahu, kalau semalam kalian, eehm ...." Ana tak menyahut lagi, ia hanya memaksakan senyum kecutnya pada wanita tua di depannya. Lalu berjalan cepat menuju kamar mandi. Lebih baik ia segera mandi, me
Seorang wanita yang memakai baju sweater dipadupadankan dengan rok lipat yang panjangnya hingga betis, kini berjalan memasuki lobi apartemen yang dua hari lalu alamatnya diberikan oleh sang kekesih hati. Sayang sekali ia tidak mengonfirmasi lagi, karena ponsel pacarnya itu tidak bisa dihubungi hingga hari ini. Sehingga ia memutuskan untuk langsung mengunjunginya saja. Karena bisa jadi ponsel pacarnya itu rusak dan mungkin kecebur WC. Mengingat sudah tiga kali ia membelikan lelaki itu ponsel baru.Dini sudah berdiri di depan pintu lift dengan rasa tak sabar dan dada berbedar. Hampir sepekan ia tak bertemu Rangga karena kesibukannya di dunia jahit menjahit. Ya, sejak memutuskan resign dari pabrik, Dini membuka sendiri usaha jahit dan saat ini sudah berkembang cukup baik. Ditambah lagi karena warisan yang diberikan orang tuanya yang ia gunakan sebagai modal untuk mengembangkan usahanya.TingPintu lift terbuka. Dini