''Kenapa Dir?'' tanya Gavin saat tiba di meja di mana Kania dan Indira duduk, ''Ada masalah apa sih, kok keknya gawat banget...''
''Sini, duduk dulu!'' seru Indira sambil menepuk bangku di sebelahnya, ''Mau pesen makanan enggak?''
''Kenapa, lu mau traktir gue?!'' seru Gavin bertanya saat menempelkan bokongnya di bangku.
''Ngarep, bayar ndiri! Gue nawarin doang...'' sahut Indira acuh.
''Humph, dasar!'' seru Gavin menyahut kesal, ''Ya udah, entar dulu, gue pesen makanan dulu.''
''Gih, sono!'' sahut Indira di sertai kekek tawa geli Kania melihat dua orang yang sebetulnya saling tertarik satu sama lain tapi keduanya gengsi untuk mengakuinya. Kania menik
114 Perasaan ArunaIsak tangis berusaha diredam oleh Aruna yang masih patah hati karena merasa kecewa dengan suaminya. Sejak perdebatannya dengan Ardan tadi pagi, dia masih mengurung diri di dalam kamar.''Gue cuma kuatir ama dia, kenapa di tanggepinnya begitu?!''''Emang salah kalo gue kasih perhatian buat lakik gue?!''''Lagian... apa sih yang dikasih sama Pak Juna sampe muka Bang Ardan kek gitu?''Aruna masih sibuk dengan pertanyaan yang terucap untuk yang kesekian kalinya. Entah di dalam hati atau terucap diantara keluhan dan gumamannya selama introspeksi di dalam kamar.''Runa, lohor udah lewa
114 Perasaan ArunaIsak tangis berusaha diredam oleh Aruna yang masih patah hati karena merasa kecewa dengan suaminya. Sejak perdebatannya dengan Ardan tadi pagi, dia masih mengurung diri di dalam kamar.''Gue cuma kuatir ama dia, kenapa di tanggepinnya begitu?!''''Emang salah kalo gue kasih perhatian buat lakik gue?!''''Lagian... apa sih yang dikasih sama Pak Juna sampe muka Bang Ardan kek gitu?''Aruna masih sibuk dengan pertanyaan yang terucap untuk yang kesekian kalinya. Entah di dalam hati atau terucap diantara keluhan dan gumamannya selama introspeksi di dalam kamar.''Runa, lohor udah lewa
115 Kegelisahan Ardan Dengan pernyataan tegas dari Karissa, jika itu adalah Ardan yang dulu, mungkin dia tidak akan gentar. Tapi, Ardan yang sekarang, tidak lagi bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Tapi, ada istri dan sepasang anak kembar yang telah di amanatkan kepadanya. Tentu saja, apa yang diperlihatkan Karissa sekarang membuat hati Ardan tersentak. Tapi, apapun itu tantangannya, Ardan bukan seorang amatir. Dia mengerti dengan apa yang sedang menjadi kegelisahan hatinya sekarang. Tapi jauh sebelum dia memegang tanggung jawabnya sekarang, ada misi dan tugas yang dia sendiri telah berkomitmen untuk menyelesaikannya meski nyawa adalah taruhannya. Ardan berdiri lalu menatap Karissa, ''Okey
116 Indra ''Ndra, ini gak bener, kan?!'' seru Deon menegur Ardan yang baru saja tiba di lobi gedung tempat di mana Dhani berada. ''Lo nungguin gue?!'' sahut Ardan santai, dia mengacuhkan Deon yang melihatnya dengan tatapan kecewa sekaligus marah. ''Ndra, jawab gue!'' seru Deon dengan segera berdiri di hadapan Ardan memotong jalurnya, ''Apa bener laporan yang gua dapet?'' ''Menurut lo?'' jawab Ardan balik bertanya dengan sebelah alisnya naik seolah menantang Deon. ''Ndra, berhenti maen-maen!'' seru Deon sambil meotot menatap Ardan, ''Selama ini banyak yang ngeraguin elo... tapi gue enggak pernah gubris.'' ''Jadi salah gue, gitu?!'' sahut Ardan yang masih santai menghadapi Deon yang
117 Lolos''Kemana dia?!'' seru Casdi saat semua anak buahnya mulai berkumpul, ''G0blok! Kalian segini banyaknya... cuma satu orang kalian enggak bisa dapet...''''Sorry bos, gedung juga udah di kepung, semua alternatif jalan keluar udah kita tutup... tapi, mau gimana lagi...''''Alah, alesan aja kalian!'' seru Casdi segera memotong ucapan salah satu anak buahnya, ''Cari, hari ini juga abisin dia!''''Tapi, bos...''''Gue enggak mau tauk,'' sahut Casdi yang lagi-lagi dia memotong ucapan anak buahnya, ''Segera, cari dia sampai dapet! Gua enggak peduli, idup apa mati. Yang penting kita dapetin dia...''*****''Huft...'' dengus Eki, salah satu anak buah Casdi dengan ekspresi kesal saat Casdi pergi m
118 Ardan dan ArjunaArjuna bereaksi dengan ucapan Ardan, alisnya naik menatap Ardan.''Jadi elu juga udah tauk hal itu...'' ujar Arjuna sambil menunjukkan senyum getirnya.''Belom lama... hebat juga lu, bisa-bisanya mantau pergerakan gue...'' sahut Ardan yang tulus memberikan pujian kepada Arjuna.''Jadi lo kerepotan...'' balas Arjuna dengan ekspresi bangga.''Lumayan...'' sahut Ardan datar dan dingin.''Sayang banget,'' ujar Arjuna setelah berdecap, dia juga menunjukkan ekspresi seolah berlagak menunjukkan perasaan kecewanya, ''Gue pen lu mati tapi lu terlalu pro...''''Kenapa, lu pen gue mati?'' tanya Ardan dengan wajah datar tapi bola matanya
Empat hari telah berlalu semenjak kematian Pak Arga dan Bu Aisyah. Ardan hanya kembali di saat malam, dia bahkan selalu melewatkan acara tahlil di rumah. Karenanya, dia kembali menjadi buah bibir di antara masyarakat. Begitu juga dengan ketidakhadiran Aruna di rumah, yang hanya muncul sekali-kala saja untuk membereskan keperluan baju gantinya selama di rumah sakit, menunggui dua adik kembarnya. Karena semua hal itu, hanya Gavin yang tersisa di rumah untuk mengurus semua keperluan selama berkabung.''Cing. Ini gak bener... Ardan, gak akan bisa ngurus,'' ujar Tono salah satu sepupu Ardan.''Maksudnya apa?'' tanya Nenek Halimah dengan ekspresi kesal melihat salah satu keponakannya bersikap kurang sopan karena meninggikan suara kepadanya yang jelas jauh lebih tua darinya.''Sudah empat malam dia nggak ada di tahlilan. Pan tahlilan 'ni buat abang dia... Cuma dua bersaudara, udah tinggal tahlilnya doang, tapi tetep aja dia nggak peduli,'' jawab Tono dengan nada yang jelas memperlihatkan kala
Mereka semua menunduk mendengar Kakek Wawan berseru dengan ekspresi marah. Hanya Kakek Marwan dan Nenek Sundari yang menatap Kakek Wawan, mereka kesal karena merasa mereka berdua lebih tua darinya, tapi seolah ikut tersindir dengan kata-kata Kakek Wawan. Marwan adalah anak tertua dari tiga bersaudara dan Wawan adalah yang terkecil adik dari Wawang ayah Ardan dan Pak Arga. Tapi, Marwan hanya bisa memendam kekesalannya di dalam hati, karena dia juga tahu apa yang dikatakan Wawan ada benarnya. Saat ini tidak tepat untuk membahas masalah harta dan sebagainya, sedangkan tahlil pun belum lewat tujuh hari. ''Gavin, Lu capek kan?!... Udah gih sono, lu tidur, udah malem!'' seru Kakek Wawan sambil menepuk lembut kepala Gavin. ''Iya kek... Kek, makasih ya,'' jawab Gavin dengan senyum lega di wajahnya. Hampir saja dia meledak karena tidak sanggup menahan emosinya, beruntung kakek Wawan menyelamatkannya. ''Buat apa? Udah gih, tidur, kunci aja pintunya!... Udah malem, si Runa di rumah sakit 'ka