Share

TANDA RESTU YANG MENYAKITKAN

“Enggaklah! Gak apa-apa. Yang perlu, kan, aku. Kamu jadi mempermudahnya. Lagian diajak enak sama kamu, masak gak mau?”

Saimah yang mendengarnya jadi tersipu malu. Memang diakui dalam hati, pelanggannya ini adalah pria idaman dari bentuk fisik dan tutur kata daripada pelang yang lain. Namun, tiap kali dirinya akan terhanyut cinta, perasaan itu buru-buru ia tepiskan.

Dalam otak Saimah hanya tersimpan harta. Seperti rencana awal dirinya, mencari pesugihan di Gunung Kemukus tak kesampaian karena tak berweton genap. Ia kelahiran Jumat Pon yang berjumlah weton 13, tak bisa mengikuti ritual.

Akhirnya secara kebetulan mendapat tawaran dari seorang pria untuk menjadi pasangan ritualnya. Dari pelanggan pertama ini, Saimah mendapat cipratan hasil pesugihan dan menjadi candu baginya.

Ia semakin lihai memainkan peran sebagai pasangan ritual para pria pelaku pesugihan. Hingga mendapat empat pelanggan, yang harus ia ikuti ritual mereka sampai tuntas. Tentu saja ada imbalan sejumlah harta untuknya.

“Kita makan di mana, Sayang?”

“Eh ... a-apa, Mas? Maaf, gak dengar.”

“Pasti lagi melamun.”

“Ah, enggak. Barusan liat ada toko disewakan.”

“Kalo bisa beli, kenapa mesti nyewa, Sayang?”

“Maaf, Mas. Panggil kayak biasanya aja. Kalo aku baper, gimana?”

“Ya, gak papa. Kita nikah.”

“Mas, ini gimana? Masih ingat syarat ritual? Entar gara-gara omongan ini, bisa gagal.”

“Ini ritual terakhir. Habis itu? Kita bebas. Terus terang selama ini aku pake perasaan ngelakuinnya. Emang kamu, gak?”

Saimah seketika gelagapan ditanya pria jangkung di sebelahnya. Kalau boleh jujur, memang dirinya sudah ada rasa yang lain dari pertama ritual dengan pelanggannya ini. Ia harus pandai menutupinya karena akan hancur kerjanya jika menuruti rasa cinta.

Baginya cukup Parman saja yang ia cintai, sementara pria-pria pelanggan adalah mesin ATM sekaligus varian rasa baru pemenuhan nafsu birahinya yang besar.

“Sa-yang? Melamun terus. Kenapa? Begitu selesai pasang sesajen di Kemukus, Mas beliin ruko buat kamu. Buat kesayangan, apa sih yang gak.”

“Pokoknya Imah gak mau dipanggil sayang. Panggil Imah aja.”

“Dih, emang gak ada sedikit pun rasa sayang sama Mas? Hampir setaon loh, kita bersatu di atas ranjang. Meski ritual niat awal, tapi Mas itu gak pernah lakuin ini dengan selain istri. Hanya dengan kamu. Bahkan kalo bisa kita berhubungan di luar jadwal ritual.”

“Mas, ngaco! Gimana bisa berhubungan di luar jadwal? Kan udah syaratnya sampe 7 kali aja.”

“Setelah ini, bisa dong? Masak kamu gak ngerasain yang sama?”

“Hapus rasa itu dari hatimu, Mas.”

“Mas janji setiap ngelakuin pasti kasih duit ke kamu. Mau, ya, Sayang? Hanya dengan kamu Mas ngerasain kepuasan.”

“Mas, tolong bersikap profesional!”

“Setelah ini, Sayang!”

“Tetap aja, udah ada niat gak bener itu.”

“Ya, Mas salah. Kita lakuin karena ritual semata. Mau makan apa?”

Hati Saimah seketika berdesir mendengar omongan pria pelanggannya. Ada sedikit rasa sesal dan sakit dalam dada. Mirip rasa patah hati nyerinya.

Ah, Mas. Aku pun ngerasain hal yang sama dan harus kutahan itu. Aku tak mau miskin lagi karena terhanyut rasa, batin Saimah bergejolak.

“Aku pengen makan bakso. Boleh?”

“Boleh aja. Apa pun yang kau mau. Mas usahakan.”

Mobil perlahan mulai melambat mencari warung bakso. Sayangnya sepanjang jalan yang mereka lewati, tak ada warung bakso yang buka. Tentu saja hal ini membuat mereka tersadar bahwa ritual terakhir harus dilakukan tepat pukul 10 malam dan harus mandi di sungai tepat pukul 00.

“Oh, Mas. Udah jam 10 malam kurang lima menit.”

“Kita harus segera mencari tempat,” ucap pria tersebut dan segera mengarahkan mobil ke arah kebun kosong.

Mobil diparkir agak jauh dari kebun tersebut. Mereka sambil bergandengan tangan berlari masuk kebun. Akhirnya di antara semak belukar kebun yang hampir menyerupai hutan belantara mereka menemui sebuah gazebo.

Kebun ini adalah milik sang pria dan gazebo memang didirikan khusus untuk pelaksanaan ritual mereka selama ini. Mereka gegas melepas pakaian lalu segera melakukan ritual terakhir di antara nyala lilin yang dihidupkan sesaat setelah datang.

“Aah ... sudah, Mas?”

“Sudah. Kok Mas merasa ada yang lain.”

“Aku juga, Mas. Tumben nonstop gak ada capeknya.”

Mereka berbincang sambil melilitkan kain putih ke tubuh masing-masing. Sang pria sambil memeluk Saimah yang sama-sama menyisakan napas tersengal-sengal membuka ponsel.

“Hah? Udah jam 12! Cepet bener?”

“Masak, sih, Mas? Dua jam kita tadi.”

Saimah yang tak percaya dengan omongan sang pria segera melongok angka jam yang tertera di ponsel.

“Kita mesti buruan mandi, Mas.”

“Ayo!”

Sepasang insan bukan pasangan sah ini gegas berjalan sembari membawa senter menuju sungai yang terletak tak jauh dari gazebo. Setelah sampai bibir sungai mereka melepas kain penutup tubuh dan segera berendam di air sungai yang membeku.

Mereka melakukan mandi ritual terakhir ini beda dari biasanya. Keduanya harus bersemedi dengan memejamkan mata sampai ada tanda dari sesembahan ritual datang. Itu semua dihapal betul oleh Saimah dan tak diketahui sang pria.

Namun, Saimah sudah menceritakan banyak hal tentang segala ritual yang harus dijalani termasuk ritual mandi terakhir di sungai. Sang pria sudah memantapkan hati dengan kode yang akan ia terima.

“Aach ... Auch ... sakiiiittt!”

Tak lama kemudian, terdengar suara sang pria yang kemudian tak terdengar lagi. Saimah segera menghampiri dan memapah pria yang meringis menahan perih di daerah sensitifnya untuk keluar dari sungai.

Saimah membebatkan kain putih ke tubuh pelanggannya lalu diikuti dirinya. Kini, dua insan berbalut kain putih dengan tertatih-tatih menuju gazebo mengambil baju dan peralatan lain.

“Masih bisa jalan, kan, Mas?”

Pria ini hanya mengangguk dan sesekali dari bibirnya terdengar bunyi mendesis. Saimah tersenyum lalu mengecup bibir sang pria.

“Sudah dapat restu, Mas. Dia telah menyatu ke jiwaku.”

Sang pria mengangguk senang masih dengan ekspresi kesakitan. Saimah memapahnya sampai ke mobil dan malam ini seperti dengan pelanggan sebelumnya, ia yang menggantikan menyetir mobil.

Tepat pukul 1 dini hari mobil meninggalkan tempat ritual. Mereka harus segera menuju tempat pepunden (*makam keramat) di Gunung Kemukus. Beberapa kali Saimah menoleh ke arah sang pria dan direspon sebuah senyum yang tertahan oleh rasa sakit.

“Sejam lagi sampe, Mas.”

“B-bisa pulih, gak? Kayaknya udah tak utuh lagi ini. Aauch ... hati-hati.”

“Tenang, Mas. Bisa. Aku udah kasih tau soal ini kemarin.”

Mobil menembus gelap malam di jalan yang semakin sunyi menuju Gunung Kemukus. Kini, mereka telah sampai di jalan utama menuju tempat pesugihan. Kabut hitam menyelimuti sepanjang perjalanan hingga akhirnya mobil telah sampai di tempat parkir.

Saimah segera turun dari mobil lalu membantu sang pria turun dan memapahnya menuju tangga jalan menuju puncak Gunung Kemukus. Sang pria dengan langkah tertatih-tatih dan mulut meringis menapaki tangga dipapah Saimah.

TBC ...

Tolong ikuti, like dan kasih komentar maupun saran untuk penyajian cerita yang lebih baik lagi. Terima kasih

Aku sosial media lain:

F*. Citra Rahayu Bening

I*. Citra Rahayu Bening

KBM Citra Ayu Bening

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status