Ketika mata Mahesa terbuka, hal yang dilihatnya pertama kali adalah pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan yang di laluinya. Ia kemudian sadar bahwa saat ini ia masih berada di dalam mobil, dalam sebuah perjalanan menuju villa keluarganya.
Mahesa menghela napas perlahan dan memperbaiki letak duduknya. Di jok depan ia melihat sang ayah sedang mengemudikan mobil. Disampingnya ada seorang perempuan yang sudah dinikahi ayahnya setahun yang lalu. Mahesa sebetulnya enggan menyebut perempuan itu dengan panggilan ibu, meski ayahnya terus saja memaksa.Mahesa menoleh ke sampingnya. Di jok belakang ia tidak sendirian sebab ada Nino disana, adiknya yang masih berusia 12 tahun. Bocah itu tampak sedang memainkan sebuah game di ponselnya."Kamu sudah bangun?" suara sang ayah membuat mata Mahesa kembali melirik ke depan. Dari spion ia melihat mata ayahnya sedang menatap dirinya."Iya," jawab Mahesa malas. Ia kembali mengalihkan pandangan keluar jendela, menatap pepohonan dan jalan yang dilaluinya."Sedikit lagi kita sampai Sa. Jangan tidur lagi ya," ujar perempuan yang duduk di samping ayahnya. Perempuan itu bahkan menoleh ke belakang namun Mahesa sama sekali tak meliriknya."Sa, Mama kamu ajak bicara kasih responlah," ujar sang ayah karena tak ada jawaban dari Mahesa."Iya..." jawab pemuda itu akhirnya dengan ekspresi yang ogah-ogahan."Kamu bisa lebih sopan tidak pada Mama?" ujar sang ayah lagi, kali ini dengan nada yang lebih tinggi. Sang ibu tiri bahkan sampai mengusap paha pria itu untuk menenangkan."Dijawab salah, tidak dijawab juga salah," bisik Mahesa bersungut-sungut. Sang ayah kini hanya mendengus dan tampak cukup kesal.Tak lama, mobil mereka memasuki pekarangan sebuah rumah. Rumah bergaya klasik dengan pekarangan yang sangat luas. Rumah itu berada di tepi sawah dan bukit. Mobil kemudian berhenti di bawah pohon mangga, yang ada di halaman depan rumah tersebut.Mahesa melangkah turun begitu mobil sudah berhenti total. Sang ayah dan si ibu tiri juga ikut turun diikuti Nino yang turun terakhir."Nino, bantu Mama turunkan barang ya," ujar sang ibu yang sedang hamil itu kepada putra bungsu suaminya."Iya Ma..." sahut Nino dan mengikuti sang ibu tiri yang kini sudah membuka bagasi mobil. Sedangkan Mahesa malah memilih untuk berjalan ke samping rumah, menatap hamparan sawah yang menghijau. Dengan pancaran sinar matahari sore, pemandangan itu tampak begitu asri."Mahesa," tiba-tiba sebuah suara dan tepukan pelan dari sang ayah mengagetkan Mahesa. "Papa sengaja ajak kamu kesini untuk memperbaiki hubunganmu dengan Mama. Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini?""Dia bukan mamaku," jawab Mahesa dan menepiskan tangan sang ayah yang menempel di pundaknya lalu bergegas menuju ke dalam rumah.------------------------------Mahesa membuka matanya kembali ketika merasakan sebuah getaran. Ia terbangun dari tidurnya dan kini kembali menyadari bahwa dirinya saat ini sedang berada di dalam pesawat menuju Lombok.Pemuda itu mengusap matanya perlahan lalu menoleh ke kursi samping. Pria paruh baya yang duduk di sebelahnya tampak sedang tertidur pulas. Dari jendela di samping pria itu, Mahesa melihat awan-awan hitam yang menghiasi langit. Tampaknya cuaca sedang tidak baik."Penumpang yang terhormat, lampu tanda kenakan sabuk pengaman telah menyala. Cuaca dilaporkan saat ini kurang baik. Silakan kembali ke tempat duduk Anda dan kenakan sabuk pengaman," suara pemberitahuan dari pramugari.Namun Mahesa malah melepaskan sabuk pengamannya dan berniat menuju toilet. Ia bangkit dari duduk dan berjalan di lorong menuju ke toilet yang ada di bagian belakang pesawat. Ia sempat melihat gadis berbadan gempal yang tadi menjatuhkan bantal padanya. Gadis itu sepertinya sedang mendengarkan musik dari gawainya."Silakan kembali ke tempat duduk Pak," ujar seorang pramugari menghentikan langkah Mahesa."Saya mau ke toilet sebentar Mbak," ujar Mahesa tak mengindahkan ucapan sang pramugari. Di pintu toilet ia hampir bertabrakan lagi dengan pria yang tadi bertabrakan bahu dengannya di bandara. Pria itu baru saja keluar dari toilet sementara Mahesa hendak masuk."Eh, maaf," ucap pria itu lagi tersenyum. Kali ini Mahesa membalas senyumannya. Setelah pria itu benar-benar keluar, Mahesa baru melangkah masuk ke dalam toilet."Silakan kembali ke tempat duduk Pak," ucap pramugari yang tadi mengingatkan Mahesa pada pria yang baru saja keluar toilet."Baik," jawab si pria dan bergegas kembali ke kursinya. Ketika ia duduk, perempuan yang duduk di dekat jendela, menoleh padanya."Cuacanya buruk sekali," ujar perempuan itu. Si pria mengusap pundak perempuan itu dan menutup jendela."Sudah, tidur saja," ucap si pria merebahkan kepala perempuan itu di bahunya."Pasang seat belt-mu.""Oh, iya," jawab si pria yang hampir saja lupa memasang sabuk pengamannya. Sejenak tak ada lagi percakapan di kursi itu hingga akhirnya si perempuan kembali bersuara."Bian, apakah kau yakin dengan keputusan ini?" tanyanya. Pria yang bernama Fabian itu malah mengerutkan kening."Tentu saja aku yakin. Memangnya kau tidak yakin?"Perempuan itu mengangkat kepalanya kembali dan menatap Fabian dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Melihat ekspresi demikian membuat Fabian malah tampak tak senang."Kenapa kau malah sedih begini Devana?" tanya Fabian memperlihatkan ekspresi kurang suka. Devana, nama perempuan itu, memperbaiki sikap."Tidak. Aku hanya... belum bisa sepenuhnya melupakan anak kita," bisik Devana dan membuka penutup jendela lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Air matanya mulai jatuh namun ia tak ingin Fabian melihatnya. Namun, sebetulnya Fabian melihat air mata itu jatuh. Akan tetapi ia enggan berdebat lagi. Ia kini meraih majalah yang terselip di kursi dan membukanya.Sedangkan di luar pesawat, cuaca semakin tampak buruk. Awan hitam, kilat dan petir menemani penerbangan itu. Pesawat sempat mengalami beberapa kali turbulensi ringan ketika menabrak gumpalan awan hitam.-----------------------------Mahesa kembali merasakan getaran ketika ia masih ada di toilet pesawat. Kali ini getaran turbulensi itu terasa lebih kuat dan lebih lama dibanding yang sebelumnya. Mahesa bahkan sampai memegang dinding toilet agar tubuhnya tidak terhuyung karena getaran.Setelah kondisi kembali normal, pemuda itu bergegas keluar dari toilet. Tak sengaja ia bertemu dua orang pramugari yang sedang menarik sebuah trolley berisi beberapa box makanan dan juga minuman. Kedua pramugari tersebut tersenyum pada Mahesa namun Mahesa merasa saat ini mukanya sedang pucat karena getaran yang tadi. Ia membalas senyuman itu dengan terpaksa lalu bergegas kembali ke kursinya.Kedua orang pramugari tadi kini mendorong trolley ke lorong pesawat dan memberikan satu box berisi makanan ringan kepada semua penumpang secara beraturan. Ketika tiba di kursi Mahesa, pramugari itupun melakukan hal yang sama kepada Mahesa dan juga pria paruh baya di sampingnya yang kini tampak sudah bangun."Mbak, saya minta kopi hangat ya," ujar pria itu kepada salah satu pramugari."Baik. Ditunggu sebentar ya Pak," jawab sang pramugari dengan senyuman sopan.Dua orang pramugari itupun melanjutkan pembagian makanan kepada penumpang yang lain. Setelahnya, satu pramugari kembali ke belakang dengan mendorong trolley kosong sementara yang satunya masuk ke ruang kokpit(*).Di ruang kokpit, pilot yang bernama Brady Anthony dan seorang co-pilot sedang mengemudikan pesawat. Pramugari yang tadi masuk ke ruangan memberikan dua gelas kopi panas untuk keduanya lalu tersenyum pada sang pilot."Terimakasih," ucap sang pilot mengusap tangan pramugari itu membuat si pramugari cantik itu tersenyum malu. Perempuan itu kembali keluar ruangan dan menutup pintu ruang kokpit lalu menyusuri lorong pesawat. Ia terhenti ketika perempuan tua yang duduk di kursi seberang kursi Mahesa menegurnya."Mbak, saya minta selimut ya," ujar perempuan itu."Baik, ditunggu sebentar ya Bu," jawab sang pramugari sopan dan melanjutkan langkah. Mahesa sempat memperhatikan perempuan tua itu sekilas dan tersenyum saat perempuan itu juga menatapnya. Melihat perawakannya Mahesa jadi teringat pada neneknya sendiri.------------------------------Bunyi sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring menimbulkan bunyi berdenting. Untuk beberapa saat hanya bunyi itu yang mengisi ruang makan malam ini. Mahesa yang duduk di salah satu kursi tampak tak menikmati makanannya."Kamu tidak suka Sa?" tanya Imelda, si ibu tiri, membuka obrolan. Mahesa tak menjawab, ia terus mengaduk-aduk makanannya hingga membuat Faisal, sang ayah tampak tak senang."Sa, mamamu bertanya. Kamu tidak dengar?" tanya pria itu menghentikan makannya. Namun Mahesa tetap saja tak memberikan respon, ia terus mengaduk-aduk makanannya."Mahesa!" kali ini Faisal mengeluarkan suara yang cukup tinggi hingga membuat putra bungsunya, Nino, sedikit terjingkat."Mas, sudah..." bisik Imelda mengusap pundak sang suami untuk menenangkannya."Aku kangen nenek," ucapan itu kemudian terucap dari mulut Mahesa. Semua yang ada di meja itu menoleh padanya. Faisal menelan air minumnya sejenak sebelum memberikan respon atas ucapan sang anak."Nenek pasti kecewa melihat sikapmu yang seperti ini," ujar pria itu setelahnya. Mendengar hal itu, Mahesa bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan meja."Mau kemana kamu?" tanya Faisal."Ke kamar. Aku sudah tidak nafsu makan," jawab Mahesa sembari melangkah."Mahesa, Papa belum selesai bicara. Mahesa, mamamu sudah capek menyiapkan makanan ini dan kau tidak menghabiskannya?" ucap Faisal lagi."Mas, sudah biarkan saja. Tidak apa-apa," Imelda tetap berusaha menenangkan sang suami yang tampak sedang emosi.Tak lama terdengar suara pintu dibanting dengan sangat keras hingga mengagetkan Faisal, Imelda dan juga Nino. Suara itu berasal dari pintu kamar Mahesa.------------------------------Lamunan Mahesa terhenti ketika seorang pramugari berdiri di dekat kursinya dan menyerahkan segelas kopi hangat kepada pria paruh baya yang ada di samping Mahesa."Terimakasih," ucap si pria dan membayar kopi itu kepada sang pramugari. Pramugari tersebut kembali ke belakang setelahnya.Di kursi seberang, Mahesa juga melihat seorang pramugara sedang menyerahkan sebuah selimut kepada perempuan tua tadi."Terimakasih Mas," ucap perempuan itu."Sama-sama Ibu. Ada yang bisa kami bantu lagi?" tanya sang pramugara dengan sangat sopan."Tidak.""Baiklah. Selamat menikmati penerbangan," ucap pramugara itu pula dan bersiap untuk kembali ke belakang. Namun sebelum pramugara itu bergerak sebuah guncangan kuat terjadi di dalam kabin pesawat. Semua penumpang panik, termasuk sang pramugara yang terpaksa harus berpegang pada kursi penumpang agar tubuhnya tidak terjatuh.Mahesa panik bukan main. Ia melirik ke lampu indikator yang ada diatasnya. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman berkedap kedip dengan cepat. Mahesa meremas kursinya dengan kuat sebab guncangan belum juga reda. Perlahan, Mahesa melirik ke jendela yang ada di samping pria paruh baya. Sayap pesawat itu sedang menabrak gumpalan awan hitam yang cukup tebal dan sayap itu tampak bergoyang-goyang dengan sangat kuat. Panik, Mahesa menutup matanya dan berharap ini segera berakhir.------------------------------Di gubuk dua, Mahesa kini sedang terengah-engah mengatur napasnya. Setelah kembali ke gubuk ini dan terikat rantai begini, Mahesa tak berhenti mendengar jeritan demi jeritan.Mahesa sempat mendengar jeritan Fabian di gubuk tiga, Carissa di gubuk empat, dan terakhir jeritan Brady di gubuk satu. Gubuk yang bersebelahan dengan gubuk tempat dirinya disekap.Apakah teman-temannya itu sudah mati semua? Atau masih hidup dalam siksaan? Mahesa tak tahu, sebab ia tak dapat melihat kondisi di luar gubuknya. Tapi sejak jeritan Brady yang terakhir, memang ia tak mendengar jeritan lagi.Kali ini, pintu gubuk mulai terbuka. Mahesa melirik ke arah pintu dan melihat Lasun masuk membawa cambuk. Di belakangnya ada Ebiet yang memegang pisau. Mahesa bergidik cemas."Bu, saya mohon jangan sakiti saya," bisik Mahesa bergetar. Namun Lasun tersenyum dan duduk di dekatnya. Ia bahkan membelai wajah Mahesa yang penuh dengan peluh."Selamat datang di neraka," bisik perempuan itu. Mendengar hal itu Mahesa bergidik
Carissa dapat mendengar suara tawa cekikikan dari gubuk ketiga. Ia tahu itu suara tawa Daryo, dan ia juga tahu bahwa di dalam gubuk itu ada Fabian yang sedang di sekap. Sementara dirinya sendiri berada di gubuk keempat dalam keadaan kaki dan tangan yang juga di rantai."Toloooong!" pekik Carissa mencoba berseru. Berharap seseorang dapat mendengar suaranya meski rasanya mustahil.Perlahan, ia mendengar suara menderit. Ketika ia menoleh, rupanya pintu gubuk mulai terbuka dan seseorang melangkah masuk. Itu adalah Kanti, dengan membawa sebuah celurit di tangannya. Perempuan muda itu tersenyum pada Carissa, namun senyum yang sedikit menyeramkan."Jangan berisik," bisik Kanti ketika ia sudah berada di dekat Carissa. Carissa mendelik takut padanya."Tolong Mbak, lepaskan saya. Tolong kasihani saya, kita sama-sama perempuan," bisik Carissa memohon. Namun Kanti malah tertawa dan menyorotkan pandangan yang menakutkan."Sudah terlambat Carissa," bisiknya dengan nada aneh."Jika Mbak tidak peduli
Fabian sedang memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper ketika terdengar bunyi ketukan di pintu depan. Pria itu mendengus sejenak dan mencoba mengabaikan ketukan itu."Bian, kamu bisa tolong bukakan pintu tidak?"Terdengar suara Devana dari dalam kamar mandi berseru. Rupanya sang istripun mendengar ketukan itu untuk kedua kalinya."Iya," sahut Fabian akhirnya. Siapa yang datang pagi-pagi begini, pikir Fabian. Ia melangkah keluar kamar dan mendekati pintu depan. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi ketika ia membuka pintu.Ketika daun pintu terkuak, rupanya yang berdiri di depan pintu itu adalah seorang pria bersetelan rapi yang sedang membawa beberapa kotak. Fabian melirik sekilas gambar di kotak di pegang si pria, sepertinya kotak itu berisi peralatan rumah tangga, terlihat dari gambarnya."Ada apa Mas?" tanya Fabian dengan pandangan sedikit meremehkan."Selamat pagi Bapak, maaf mengganggu waktunya. Perkenalkan saya Wisnu dari PT...""Sudah, langsung saja. Mas mau apa? Mau menawar
Pagi menjelang, langit kembali terang. Mahesa sedang duduk di bawah sebatang pohon dan menatap langit. Ia menatap gumpalan-gumpalan awan hitam di atas. Tampak masih sama, seperti wajah-wajah yang memperhatikan mereka.Sementara Brady, Carissa, dan Sylvia tampak masih tidur berguling di tanah tak jauh dari Mahesa. Sedangkan Fabian sedang berdiri termenung menatap nanar pepohonan tinggi yang tegak menjulang di hadapan mereka."Mas..." perlahan Mahesa mendekati pria itu. Fabian menoleh dan menghapus lelehan air matanya."Kenapa?" tanya Fabian."Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai," bisik Mahesa mengusap pundak pria itu."Ah, kau tahu apa? Berapa umurmu?" tanya Fabian pula."24 tahun, tapi aku tahu rasanya Mas. Aku pernah ditinggal ibuku untuk selama-lamanya," jawab Mahesa pula. Mendengar hal itu Fabian balas mengusap pundak pemuda itu memberikan rasa empati."Tapi setidaknya, mungkin cara kematiannya tidak setragis istriku," ujar Fabian pula. Mahesa hanya menghel
Marinka Vista adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Ia tercatat sebagai salah satu mahasiswi jurusan Seni Budaya di salah satu universitas swasta di Jakarta.Marinka terlahir memiliki bobot tubuh yang melebihi bobot bayi pada umumnya. Iapun tumbuh menjadi anak dengan berat diatas rata-rata anak seusianya. Ketika anak-anak hingga remaja, Marinka sering diledek teman seusianya karena bentuk tubuhnya yang besar. Itu membuatnya tak percaya diri.Marinka juga bukan berasal dari keluarga kaya. Ia hanya anak seorang pedagang kain dan sejak remaja sudah sering membantu sang ayah berjualan.Hingga dewasa, Marinka sering merasa minder jika berkumpul bersama teman-temannya karena bentuk tubuhnya yang gempal. Ia iri dengan gadis-gadis bertubuh langsing dan cantik. Terutama pada Sherly, mahasiswi populer di kampusnya.Sherly memiliki cukup banyak penggemar, bukan hanya di kampus tapi juga di dunia maya. Sebab, Sherly merupakan seorang content creator yang memfokuskan isi kontennya tentang review
Mahesa menatap nanar pohon mangga di halaman depan villa pagi ini. Udara masih terasa dingin, dan embun masih setia menempel di permukaan daun.Tak lama, Imelda mendekati pemuda itu yang kini duduk di teras. Imelda menghela napas sejenak kemudian duduk di samping sang anak tiri. Mahesa akhirnya menoleh karena merasa lamunannya buyar. Ia sedikit mendengus ketika menyadari bahwa sang ibu tiri kini duduk di sebelahnya."Mau apa Tante kesini?" tanya Mahesa pelan. Imelda tak segera menjawab, ia menelan ludah getir."Sa, Mama tidak apa kalau kamu belum bisa memanggil Mama. Mama juga tidak apa jika kamu membenci Mama, tapi satu hal yang Mama minta, kamu jangan pernah membenci papamu ya. Dia itu sangat menyayangimu," ucap Imelda perlahan dengan penuh kehati-hatian. Mahesa malah mengeluarkan nada mengejek."Jika dia sayang sama aku tidak mungkin jadi seperti ini," jawab Mahesa. Imelda menghela napas getir beberapa saat. Ia masih teringat kata-kata Mahesa tadi malam yang menyesalkan sang ayah m