PoV Panjul***Pria yang statusnya katanya pemilik bangunan ini pun pelan membuka maskernya. Sungguh, semoga hanya kebetulan saja nama mereka , suami istri sama.Degh!Wajah di balik masker itu sudah nampak jelas di bola mataku yang indah ini. Sontak, liur ini pun kuteguk lagi dan lagi. Bahkan, sepertinya persediaan sudah habis."Hah? M–Mas Aryo?" Aku sangat-sangat kaget. Dadaku bergemuruh cepat menabuh peperangan mempersiapkan aliran darah yang tensinya pasti tidak normal. Benar, pria itu mantan kakak iparku. Bagaimana bisa dia ada di sini? Dia juga turun dari mobil putih yang harganya di atas 200 jutaan. Ah, mimpi buruk apa ini?"Kamu kenal saya?" Dia bertanya. Iya, dia Mas Aryo. Bagaimana tidak aku menatapnya gengsi. Dia tidak boleh tahu kalau aku ini Panjul mantan adik iparnya."Mas, kenapa Mas Aryo bertanya begitu? Apa kita sepemikiran?"Deg!Aku lagi-lagi kaget. Kalau itu Mas Aryo, suara yang tak asing di dekatku ini juga pasti si Nur. Astaga, astaga naga! Iya, itu dia. Pasti d
PoV Panjul***"Bang! Abang!""Bang Panjul! Baaaaaangggg! Bangun, Bang, Banguuuun! Udah siang!"Seketika suara teriakan Widya membuatku loncat dari kasur yang keras ini. Dengan ilmu pencak silat leluhur Almarhum Engkong, aku bersiap menghadapi Widya."Ciyat, ciyat, HA!" Aku sudah pasang kuda-kuda. Sarung masih terselendang karena tadi refleks kutarik. Melihatku wajah Widya saat ini begitu sangat asem sekali. Pandangannya sengit seperti melihatku sebagai hantu saja. Eh bukan, musuh bebuyutan."Eh, maaf, Abang mimpi bertempur tadi. Haha."Aku tersadar, ternyata baru saja terbangun dari tidur yang pulas.Bek!Widya memukul badanku. "Kerja! Kerja! Kamu jangan tidur Mulu, Bang! Kamu KERJAAAA!" Ow, ow, ow. Widya meraung. Suaranya dan keseramannya mengalahkan singa dari Timur Tengah. Lihat saja, bola matanya itu melebar seperti akan loncat untuk membunuhku. Memang istriku yang ini sangat sadis."Iya, iya, Abang denger kok!" Dia berkacak pinggang. "Kamu tadi mimpi apaan sebut-sebut si Nur,
PoV Panjul***"Ah, aku pusing! Mertua cerewet. Hih, amit-amit, amit-amit!"Nah, terdengar suara Widya yang melempar balik emosinya ke Ibu. Begitulah mereka seringnya, akurnya bahkan seperti tidak pernah. AMSYONG nasibku!Cepat aku berjalan keluar dari halaman rumah. Percekcokan dan adu fisik mereka sudah tak ada yang bisa melerai. Biar saja, nanti juga capek sendiri.Menaiki angkot untuk sampai di tempat kerja, karena proyek pembangunan rumah belum selesai. Ya, tinggal finishing. Tapi sekarang, aku kesiangan. Sudah jam 8 lewat, dan semoga Pak Mandor tidak sedang ada di sana. Jadi aku bisa nyelundup masuk pura-pura sudah datang sejak tadi.Sejak aku sibuk kerja jadi Laden. Pagi, siang, sore dan malam itu penuh jadwal. Aku lembur untuk melunasi hutang satu persatu. Tidak enak juga banyak hutang. Ini semua gara-gara Widya. Gara-gara sesibuk ini, aku jadi tidak sempat memandang wajah Nur yang kini katanya semakin cantik setelah menikah dengan Mas Aryo. Aku seharusnya bisa lebih mendekat
PoV Panjul***"Kamu di sini, Bang?" Dia begitu heran akan adanya aku di sini. Ah, dasar pura-pura. "Nur, kamu jangan terkejut begitu. Kamu nyatanya belok ke mari. Mau samperin Abang, ya? Wah, wah, wah, kamu cantik sekali. Memang hati Abang sudah menyatu dengan kamu, ya. Tadi Abang kesiangan bangun, Nur. Alhamdulillah, masih bisa kerja dan ketemu sama kamu. Sudah satu bulan kita tidak ketemu karena Abang sibuk. Lihat, ini rumah bakal Abang. Tapi akan Abang sewakan. Nur tahu Abang di sini dari siapa? Jauh lho, dari rumah kamu. Segitunya kamu sampai nyamperin Abang. Ternyata, ck, ck." Aku nyerocos panjang lebar dengan jumawa. Si Karso dan yang lain menatapku sembari senyam-senyum. Sepertinya mereka tahu kalau aku cocok dengan wanita ini. Jelas, Nur ke mari untuk mendatangiku. Ah, dia sekerja keras ini untuk datang?"Ah, jadi ini rumah kamu, Bang? Beneran?" ~Nah, nah, nah, lihat, dia kaget? Ini sebuah kesempatan untukku. Aku yakin, sepertinya si Nur ini cewek yang materialistis juga.
PoV Panjul***"Tensi Pak Panjul 160 per 100. Dirujuk ke rumah sakit, ya?" pesan dokter setelah memeriksa keadaanku yang lunglai ini. Sejak kapan tensiku melonjak begitu. Lihat saja, Widya dan Ibu saja kaget setengah mati."Hah? 160?""160? Per-nya juga tinggi. Aduh, untung gak setruk ya kamu, Jul? Tetangga kita, 150 udah struk!" Ibu malah membuatku semakin syok."Bu!" Aku menegurnya. Petikan yang keluar dari mulut Ibu membuatku kesal. Siapa yang tahu itu malah jadi do'a. Amit-amit, amit-amit."Bagaimana, mau dirujuk ke rumah sakit?" Dokter menanti jawaban kami. Bola matanya melirik ke arahku, sesekali ke arah Ibu dan Widya yang manyun.Aku segera menolak. "Gak, Dok, jangan ah. Saya mau obat dari dokter saja deh yang bagus. Lagian saya bisa jalan, bisa bicara, dan gak ada keluhan lain selain pusing, Dok. Berobat jalan aja, Dok!" Aku meringis ketakutan. Ini pasti gara-gara si Aryo dan si Nur. Ternyata hipertensi bisa disebabkan karena rasa cemburu, iri dan dengki. Eh!Widya sangat ketu
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken