"Sudahlah, Pak RT. Pak RT dengar sendiri kalau suami saya ke sini karena diajak si Nur! Saya pokoknya mau laporin si Nur ke kantor polisi karena dia telah ganggu suami saya! Lihat saja sampai suami saya bersedia datang ke mari. Apa namanya kalau bukan dirayu? Padahal saya jelas-jelas lebih baik dari si Nur!" sergah Mbak Widya.Kalimatnya barusan membuat telapak tanganku menekan dada beristighfar. Sungguh bodoh sekali kakakku itu. Bukankah dia lebih pintar dariku? Kenapa dia masih percaya pada suami busuknya? Aku benar-benar tak menyangka."Gak kebalik kamu, Wid? Bukannya kamu yang merebut si Panjul? Dan mungkin saja si Panjul memang gatel. Jadi dia minta lagi sama mantan istrinya!" Bu RT dengan sinis merajuk atas yang dikatakan Mbak Widya dengan angkuh tadi."Eh, apa yang Bu RT katakan? Dengan begitu artinya Bu RT merendahkan saya kalau saya kurang oke? Servis saya untuk suami kurang menarik? Enak saja!" Sarkas Mbak Widya menyanggah tuduhan Bu RT. Dasar kakak yang tidak tahu diri. Sel
"Ya sudah, sisanya gak papa dicicil, Mbak. Tapi kurang dua bulan bisa dibayar 'kan? Atau kalau saya cicil minta, boleh?" kata Mbak Mila yang menjual kontrakannya yang lima pintu ke padaku. "Begini saja, Mbak. Sebelum Mbak mau minta uang sisanya, Mbak hubungi saya dulu dua hari atau sehari sebelumnya ya, Mbak!" saranku."Siap, Mbak siap. Sebenarnya saya gak mau jual, tapi lima saudara saya minta dibagikan. Mereke kekeh. Nanti uangnya saya akan bikin usaha. Karena dari semua saudara, saya yang paling miskin istilahnya Mbak. Semua saudara saya 'kan perempuan. Laki-laki cuma satu. Semuanya bekerja. Malah ada yang jadi PNS. Saya paling bontot ekonomi." Mbak Mila sembari menjelaskan.Aku pun tersenyum. "Gak papa, Mbak paling bontot ekonomi. Semoga kedepannya bisa lebih baik ya, Mbak. Meski sayang kalau dijual, padahal ada penghasilan. Bisa dibagi 6 setiap bulannya." Aku menyayangkan."Saya niatnya begitu. Tapi, Mbak, mereka kayaknya ketakutan deh. Ya sudah, saya gak mau cari masalah. Merek
"Jadi cicilannya perbulan segini, Ko?" tanya seorang pria. Aku masih berjalan menunduk sambil merogoh dompet dari tas."Hah, Bang Panjul? Mbak Widya?" gumamku dalam hati. Dan benar saja, suara yang tak asing menanyakan cicilan itu adalah suara Bang Panjul."Silahkan, mencari apa, Mbak?" tanya sapa seorang pelayan toko Koh Asyong padaku.Bang Panjul dan Mbak Widya masih fokus tawar menawar. Seperti ada kata cicilan, apa mereka mau kredit? Hemh, orang kaya bukannya?"Saya mau cari lemari es dua pintu, Bang. Yang merek L* ada?" sergapku langsung dengan suara yang agak lantang.Refleks dua orang yang sedang tawar menawar dengan Koh Asyong pun menoleh. Ya, mereka melihatku. "Nur? Ngapain di sini? Mau kredit barang, ya?" Sudah kuduga atas pertanyaannya barusan. Julid!Aku pun menjawab dengan tegas. "Cicil? Maaf ya, Mbak, aku mau beli." Lalu kutoleh pelayan tadi yang kini sedang jalan ke arah elektronik yang kuminta, "warnanya yang biru muda ya, Bang!" sahutku sengaja tanpa memperhatikan ked
[Assalamualaikum, Dek! Mohon maaf Mas Aryo besok lusa tidak bisa hadir ke pernikahan Dek Nur, ya. Semoga sakinah, mawadah, dan warrahmah]Pagi-pagi kubuka pesan kiriman dari Mas Aryo. Di akhirnya ia bubuhi emotikon senyum manis dengan tangan beradu meminta maaf. Kutinggikan alis keduanya setelah membaca pesan darinya. Diiringi helaan napas pasrah dan flashback ke sosok si Mas Yadi yang kurang ajar. Huwh … istighfar, Nur!Mas Aryo masih online. Apa aku jawab jujur atau bagaimana ya?Lekas kubalas saja pesannya dengan menyempatkan bokong duduk di kursi plastik depan meja kasir di kedai.[Waalaikum salam. Tidak apa-apa, Mas. Mas tidak perlu datang. Lagipula acaranya sudah selesai]TerkirimBelum ceklis dua dan kusempatkan untuk menyapa pelanggan dan yang satunya kukasih kembalian setelah membeli cemilan dengan jumlah lebih dari 50 ribu rupiah."Mbak, saya mau tanya untuk pesanan ketring. Apa di sini bisa pesan? Atau di mana ya? Ini mepet, Mbak. Mertua saya mendadak menggugurkan tanggung
"Mas Aryo turut prihatin. Mas pikir kamu hanya bercanda keterlaluan," komentarnya lagi."Masak iya, Mas. Oiya, Mas menelepon Nur hanya ingin tanya soal ini? Atau … atau Mas mau tanya soal Mbak Widya, ya?" Aku bertanya memancing. Lagipula, apa yang akan diobrolkan mantan adik ipar dengan mantan kakak ipar. Soal cinta? Haha. Bukanlah."Em, ini … iya. Bagaimana keadaan Widya? Dia masih dengan Panjul?"Mendengar jawaban yang ditekankan pada pertanyaan kehidupan Mbak Widya, sontak dadaku memburu sedikit kurang mengerti kenapa harus gelisah. Seharusnya aku bodo amat.Kupasang wajah datar secara refleks. Namun pura-pura senyum saat menjawabnya kini. Eh, padahal tidak sedang video call. Tapi ekspresi ini memaksa untuk mensupport nada supaya tidak ketahuan gelisah."Em, Mbak Widya baik-baik saja, Mas. Sepertinya mereka jadi keluarga bahagia. Cocok kali ya, Mas. Hehe. Terakhir kami bertemu di toko elektronik, Mas. Mereka berdua sedang mau beli barang. Hem." Eh, aku malah curhat sembari menatap
"Eh, eh, eh, apaan itu? Mobil pick up tadi bawa apa itu, Nur?"Tiba-tiba nyelonong Mbak Widya yang dandanannya super nyentrik. Matanya melirik dengan apik.Dia seperti Mbak Kunkun, tidak kelihatan dari arah mana, tahu-tahu sudah muncul. Belakang tubuhnya juga sama-sama bolong. Hanya saja si Mbak Widya tidak kelihatan usus dan tulang rusuknya. Kalau kelihatan aku mungkin semakin takut.Di sini tersisa hanya aku saja. Yang membantu pekerjaan katering sudah pulang sejak tadi setelah pekerjaan beres. Laras juga masih di kampus karena ada kelas tambahan katanya.Bola mata Mbak Widya menyipit ke arah mobil pick up yang kini telah lenyap dari pandangan kami. "Kamu barusan kasih apa? Kok banyak dusnya? Jangan-jangan ada barangmu yang dijabel ya?" Dia penasaran.Sudah malas saja menjawabnya. Kurang-kurang beristighfar, sudah kutampol dia! Ngomong-ngomong ada apa dia. "Heem, barangku dijabel. Kenapa, Mbak? Memang apa urusan Mbak? Apa kepentingan Mbak ke mari?" tanyaku langsung dengan hati yang
"Alhamdulillah kalau Mbak suka ya, Mbak. Setelah dapat pesanan pertama dari Mbak Wati. Saya memutuskan untuk ambil orderan kalau ada yang perlu jasa katering lagi, Mbak. Mbak Wati kalau punya kenalan yang mau hajatan. Mbak bisa kasih nomor saya ya, Mbak!" seruku di keesokan hari setelah acara Mbak Wati usai. Ngomong-ngomong dulu aku yang serundul kalau ngomong, sekarang agak dikurang-kurangi. Hihi."Siap, Mbak. Nanti saya sembari iklanin deh. Rasa masakannya juga lumayan enak. Hehe. Maaf ya kalau pakai lumayan." Dia tipikal orang yang jujur dan tak suka cari muka."Gak apa-apa, Mbak. Semoga nanti saya bisa lebih enak dan lebih bagus lagi kalau membuat katering seperti itu. Makasih loh ya, Mbak, saya gak ada ide buat katering kayak begitu. Tapi Mbak menginspirasi saya."Mbak Wati tak percaya. "Lah, jadi Mbak Nur ini bukan tukang buat kateringan beneran? Jadi perdana dong saya? Tapi bagus ini, Mbak. Packingnya rapih juga. Ini kayak yang udah lihai dan sering bikin pesanan!" pujinya lagi
Tok tok tok!Kuketuk pintu rumah pribadi untuk melihat siapa pria yang sedang duduk itu. Sejak aku datang baru terlihat belakang kepalanya saja. Badannya lumayan tinggi dan berisi. Pacar si Laras? Rambutnya juga bagus. Hemh, habis cukur kayaknya.Setelah mengetuk pintu pura-pura, pada akhirnya pria itu menoleh. Laras tidak terlihat di sekitar, apa dia sedang membuatkan minuman? Eh, tidak, minuman sudah ada di meja. Dengan cemilan sedikit menemani supaya si gelas tidak sepi."Lah, Mas Aryo?" batinku kaget saat pria itu menampakkan wajahnya. Lalu ia pun tersenyum dan setelah itu menundukkan pandangannya sejenak.Lanjut dia berdiri dan aku masih diam mematung di ambang pintu. Ada dag Dig dug serrr tidak bisa berhenti. Ini seperti melihat hantu berenkarnasi. Eh iya, istilahnya aku lupa. Maklum, bukan penggemar film-film seperti itu."Eh, Mbak Nur udah pulang? Ada tamu, Mbak!" seru Laras yang saat ini membuat pandanganku beralih menatapnya. Liurku terteguk saat Laras bilang ada tamu."Em,