Claire menampakkan senyum yang sangat manis. “Benar, ‘kan? Dosen baru di sini ‘kan ada gue sama lo, jadi akan lebih baik kalau lo sekalian ikut bantu ngerjain juga. Anggap kita sama-sama cari pengalaman.”
Claudia terdiam, tak langsung menjawab permintaan Claire.
Sejujurnya, Claudia sudah sangat sering melakukan tugas seperti ini jauh sebelum dirinya menjadi dosen. Lagi pula, dulu dia juga pernah menjabat sebagai seorang asisten dosen, jadi tugas seperti ini sangat biasa, itu alasan Bu Desi sepertinya tidak memberikan tugas serupa kepadanya dan hanya kepada Claire saja.
Namun, sekarang Claire mengatakan seperti ini ….
“Kok muka lo begitu, Clau? Lo keberatan?” tanya Claire, membuat Claudia tersentak.
“Oh, eh … enggak, Claire.”
Claudia berpikir sejenak. Agaknya memang tidak adil kalau Claire mengerjakan tugas seperti ini sendirian, jadi dia pun mengalah.
“Oke … kita kerjain bareng aja,” jawab Claudia pada akhirnya, membuat Claire tersenyum lebar.
“Yes! Claudia memang yang terbaik!” Setelah mengucapkan itu, Claire mengutak-atik komputernya cepat sebelum kembali berkata, “Udah gue kirim ya tugasnya!”
Dengan sigap Claudia mengecek email, tapi kemudian dahinya berkerut. “Claire, ini udah kamu bagi dua?”
Claire tidak menoleh, sibuk dengan ponselnya. “Udah,” jawabnya singkat.
Claudia menautkan alis. “Tapi, ini kok rasanya kayak banyak banget?”
Dengan raut wajah kesal, Claire menoleh ke arah Claudia. “Kan tadi gue udah kerjain sebagian pas lo nggak ada, jelas punya lo jadi lebih banyak dong. Selain itu, setengah jam lagi gue masuk ke kelas, sedangkan lo kosong sampe nanti jam empat. Gue lebihin dikit nggak masalah dong?” ucap wanita itu dengan enteng.
Ekspresi Claudia pun berubah kesulitan. Jadi, intinya pembagian tugas ini tidak dilakukan secara adil, ‘kan? Claire malah melimpahkan sebagian besar tugas padanya? Begitu maksudnya?
“Tapi, Claire–”
Belum sempat Claudia menyelesaikan kalimatnya, Claire bangkit dari kursinya. “Gue harus pergi dulu, Clau! Kelas udah mau dimulai! Tugas cek jurnal gue serahin ke lo ya! Thank you!”
Tanpa menunggu balasan Claudia, Claire pun berlari pergi meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan Claudia, dia hanya bisa termenung dengan tugas di depan mata.
*Beberapa jam kemudian*
“Ahh, akhirnya selesai juga!”
Seruan itu terlontar dari bibir Claudia saat dia selesai mengerjakan tugas pengecekan jurnal. Dia melirik jam di dinding.
Sudah jam sembilan.
Sungguh tidak terasa waktu berlalu.
Sekarang, ruangan dosen sudah kosong, sisa Claudia seorang. Claire sudah pulang terlebih dahulu karena kelas terakhirnya adalah kelas sore. Tidak sedikit pun wanita itu peduli meninggalkan Claudia dengan tugas pengecekan jurnal, padahal sahabatnya itu harus mengajar di kelas malam.
Alhasil, di sinilah Claudia, sendirian mencetak tugas jurnal yang telah diperiksa sesuai pesan Bu Desi kepada Claire.
Tepat ketika Claudia sedang merapikan dokumen yang telah dicetak dan ingin meletakkannya di meja Bu Desi, ponselnya berdenting, menandakan adanya pesan masuk.
Pesan itu dari Claire.
[Claire: Clau! Sorry banget gue lupa! Lo bisa ke apartemen gue nggak buat anterin dokumen yang udah lo print? Gue disuruh cek ulang sama Bu Desi nih!]
Kening Claudia berkerut. Ini sudah jam sembilan, dan Claire ingin dia mengantarkan dokumen semalam ini? Kalau Dirga masih ada di kampus dan Claudia bisa menumpang sebenarnya tidak masalah, tapi … situasinya sekarang Claudia sendiri, jadi bagaimana mungkin!?
Jari-jari Claudia mengetik cepat di atas ponselnya.
[Claudia: Sudah jam segini, Claire. Takut. Kalau nggak aku kirim filenya aja, kamu print lagi di rumah? Besok tinggal dibawa ke kantor?]
[Claire: Nggak bisa. Lo udah print juga, ‘kan? Buang-buang kertas ah kalau ngeprint lagi. Udah lo ke sini aja. Jarak apartemen gue sama kampus ‘kan nggak jauh. Jangan malas ah, Clau!]
Melihat pesan tersebut, Claudia menghela napas panjang. Malas? Apakah kata itu pantas disematkan Claire kepada orang yang membantunya mengerjakan tugas hingga lembur sampai semalam ini?
Namun, Claudia tahu betapa keras kepala temannya ini, jadi dia membalas.
[Claudia: Oke. Aku ke apartemenmu sekarang ….]
[Claire: Oke.]
Tidak ada kata ‘terima kasih’, maupun ucapan yang menunjukkan rasa bersyukur dari Claire, padahal Claudia sudah sejauh ini membantunya.
Terkadang, Claudia bingung … apa yang sesungguhnya membuat dirinya begitu betah berteman dengan Claire?
Tepat di saat pertanyaan itu muncul, sebuah ingatan pun muncul di benak Claudia. Dulu, semasa kuliah, Claudia memang tidak memiliki teman karena latar belakang keluarganya yang berasal dari ekonomi rendah. Akan tetapi, hanya Claire yang bersedia berdiri di sampingnya.
Mengingat hal itu, Claudia pun berkata dalam hatinya, ‘Clau … ingat, Claire itu udah banyak bantu kamu … hanya tugas kecil begini, mengalahlah sedikit.’
Akhirnya, Claudia pun cepat-cepat merapikan dokumen beserta barang-barangnya sebelum keluar dari kantor dosen.
Satu langkah, dua langkah, Claudia mendadak bergumam, “Kenapa … rasanya aku melupakan sesuatu, ya?” Alisnya tertaut seraya dirinya berjalan keluar menuju parkiran gedung.
Tepat satu detik setelah Claudia mengatakan itu, sebuah suara terdengar berkata, “Bagus, Claudia.”
Langkah Claudia langsung berhenti. Dia mengenali suara berat itu.
“Kamu baru membuat janji, tapi sudah mengingkarinya,” ujar suara itu dengan nada mengancam. “Kamu pikir dengan pulang lebih malam, kamu bisa lari dariku!?”
Claudia dengan cepat menoleh ke belakang, ke arah sumber suara.
Di sana, berada dekat dengan sebuah mobil mewah, seorang pria berparas rupawan berdiri tegak dengan tatapan membunuh, mengingatkan Claudia dengan satu hal yang dia lupakan.
“Pak Ryuga!”
**
Melihat betapa garangnya sosok Ryuga, Claudia tanpa sadar mengambil langkah mundur ke belakang. Satu langkah maju dari Ryuga, maka Claudia akan melangkah mundur, begitu terus sampai akhirnya punggung wanita itu menabrak tembok. “P-P-Pak Ryuga …,” panggil Claudia dengan suara mencicit, takut. “M-maaf, Pak.” “Untuk?” Suara Ryuga benar-benar tidak ramah. Dia jelas marah besar. “Saya nggak bermaksud ingkar janji atau kabur, Pak. Tapi saya ….” Claudia menggigit bibirnya, agak malu mengakui, tapi tidak ada pilihan. “Saya lupa ….” “Lupa?” Suara Ryuga seakan merendah satu oktaf, membuat seluruh tubuh Claudia bergidik. Claudia menutup mata erat dan berceloteh, “Saya mendadak harus membantu rekan saya menyelesaikan tugas hingga lembur sendirian, Pak! Bukan sengaja atau pun kabur, tolong Pak Ryuga maafkan saya!” Usai mengatakan semua itu, Claudia baru tersadar betapa cepat jantungnya berdetak. Dia tidak tahu apakah Ryuga menerima permintaan maafnya, tapi dia pasrah. Lagi pula, memang itu k
*Siang tadi* Setelah pergi meninggalkan kampus dan kembali ke kantor, Ryuga masih terus terngiang-ngiang ucapan Claudia sebelumnya yang mengira bahwa dirinya seorang gigolo. Untuk kesekian kali, alis Ryuga menukik dengan tajam. Menandakan jika pria itu tengah kesal. Tepat sebelum langkahnya sampai di lobby, Ryuga mendadak berhenti, lalu menoleh ke Riel, sang asisten pribadi, yang berada di sebelahnya. “Pak, Anda baik-baik saja?” tanya Riel yang merasa kebingungan dengan sikap Ryuga. Setelah terdiam beberapa saat, Ryuga bertanya, “Dari penampilan saya, menurutmu saya orang yang seperti apa?” Riel agak terkejut dengan pertanyaan itu, tapi kemudian dia menatap Ryuga saksama sebelum menjawab, “Pak Ryuga adalah orang hebat dan berwibawa yang pantas memimpin perusahaan. Sebagai Presdir Daksa Company, Bapak–” “Oke, cukup,” potong Ryuga dengan alis menekuk tajam, merasa jawaban bawahannya agak dilebih-lebihkan. “Katakan pada saya, apa wajar bila ada orang yang mengira saya seorang … p
Diancam seperti itu, Mila pun ketakutan. Matanya berkaca-kaca dan dia pun menghentakkan kaki kesal sebelum buru-buru keluar dari ruangan.Setelah memastikan Mila ke luar, Ryuga menghela napas. Dia tidak pernah nyaman bersikap kasar pada wanita, tapi untuk wanita seperti Mila, dia terpaksa. Sudah sering wanita-wanita seperti itu mengambil kesempatan atas kebaikannya untuk menciptakan rumor palsu!Usai mendudukkan diri di kursi kebesarannya, Ryuga merogoh ponsel di saku kemejanya. Dia menghubungi seseorang, dan tak lama panggilan itu pun diangkat.“Halo, Ryuga! Tumben telepon? Kenapa? Senang ya, dikunjungi Mila??”Mendengar suara tantenya, Ratih, Ryuga memasang wajah buruk. Jadi, benar dugaannya. Semua adalah ulah Ratih. Ratih adalah adik dari ayah Ryuga. Setelah bertahun-tahun ibu dan ayah Ryuga gagal menjodohkannya dengan wanita pilihan mereka, Ratih pun dimintai tolong untuk mempertemukan Ryuga dengan sejumlah wanita kalangan atas, seperti Mila tadi.“Tante sebaiknya berhenti,” ucap
Masih terkaget-kaget di tempatnya, Claudia menganga. Ryuga bilang apa tadi? Menikah? Apa pria ini sudah kehilangan kewarasannya?! Dengan usaha untuk tetap tersenyum tenang, Claudia bertanya dengan sedikit bergetar, “P-Pak Ryuga bercanda ….” Pandangan Ryuga berubah dingin. “Kamu keberatan?” Nada bicaranya kembali rendah, sangat rendah … seperti ingin menenggelamkan nyali Claudia. Tenggorokan Claudia terasa kering. “B-bukan keberatan, Pak. Tapi … tapi ….” Claudia memutar otak, sebelum kemudian mendapat sebuah balasan. “Tapi saya berasal dari keluarga biasa! Tidak pantas untuk Bapak!” Itu benar. Keluarga Claudia tidak kaya maupun ternama, jelas tidak pantas untuk sosok Ryuga yang berasal dari keluarga Daksa yang terkenal itu. Ditambah lagi dengan latar belakang Claudia yang baru lulus dan bekerja menjadi seorang dosen, tidak ada pencapaian apa pun yang menonjol yang membuatnya setara dengan seorang Ryuga. Demikian, apa yang membuat Ryuga ingin menikah dengannya!? Di saat ini, Ryug
“Bapak nggak mau nunggu di mobil aja?” Claudia menjawab pertanyaan Ryuga dengan pertanyaan. Karena bagi Claudia rasanya aneh apabila Ryuga ikut dengannya ke apartemen Claire. Apa kata Claire nanti? “Nggak, saya ikut. Saya bilang sandiwaranya bisa dimulai sekarang,” tegas Ryuga. Maka, Claudia tidak ada pilihan lain selain mengiakan ucapan Ryuga. Keduanya berjalan melewati meja resepsionis untuk menuju lift. Lantas Claudia merogoh ponsel di dalam tasnya untuk menghubungi Claire. “Aku udah sampe di apart, Claire. Tapi, lupa apart kamu ada di lantai berapa,” keluh Claudia. “Sering ke sini tetep aja lo lupa. Clau … Clau. Apart gue lantai 31,” ucap Claire ketus. Melalui ekor matanya, Ryuga melirik Claudia yang sedang meringis menanggapi ucapan Claire. Entah apa maksud tatapannya itu. Claudia berucap, “Maaf, aku beneran lupa. Ya udah aku ke situ sekarang ya, Claire.” Masuk ke dalam lift bersama Ryuga
Claire tampak kaget dengan balasan ketus pria tersebut, begitu pula dengan Claudia. Wanita tersebut menyikut lengan pria itu, mengisyaratkan agar dia diam. Namun, Ryuga malah semakin menjadi. “Apa? Apa aku salah?” tanya pria tersebut sembari menatap Claire. “Sudah minta tolong, tapi tidak bisa menyambut dengan lebih baik. Tidak tahu diri.” Dia melipat tangan dan membuang wajah kesal. Claudia menggigit bibirnya, tidak tahu lagi harus bicara apa. Akhirnya, dia menatap Claire dengan wajah tak berdaya. “T-tolong abaikan dia, Claire. Aku baru tiba, kok.” Dia mengeluarkan dokumen yang telah dicetak kepada Claire. “Ini dokumennya.” “O-oh, ya ….” Claire tampak masih terkejut dengan sosok pria tampan yang datang bersama Claudia. Dia sama sekali tidak menyangka temannya itu akan tiba dengan orang lain. Seorang pria tampan pula! Penasaran, Claire pun bertanya, “Ini … siapa, Clau?” Mata Claire menggerayangi sosok Ryuga, m
Usai mengatakan itu, Ryuga langsung menarik tangan Claudia dan pergi dari tempat tersebut. Dia tidak membiarkan Claudia membenarkan ucapannya atau menambahkan apa pun lagi. Ditinggal seperti itu, Claire mengepalkan tangannya. Walau bibirnya tersenyum, tapi tubuhnya bergetar dengan tidak nyaman, tampak marah. Bukan hanya rencananya untuk membuat Claudia cemburu dengan keromantisannya bersama Sambara gagal, wanita itu malah membawa seorang pria yang dengan berani menegurnya! Seumur-umur, ini baru pertama kali ada orang yang memperingatinya seperti itu! Untuk membela Claudia yang selama ini tidak berani melawannya pula! Yang benar saja! Claire tidak terima! ‘Claudia! Awas saja kamu!’ seru Claire dalam hati dengan penuh kebencian. “Claire?” panggil sebuah suara membuat Claire tersentak. Dia menoleh dan melihat Sam yang menatapnya bingung. “Kamu kenapa?” Claire terdiam sesaat, lalu memasang senyuman tipis. “Nggak apa-apa, Kak.
Kaget dengan kehadiran Dirga yang menatapnya tajam, Claudia memaksakan senyumnya. “Loh, kok kamu belum tidur, Dir?” Dirga tertawa hambar. Masih dengan tatapan tajamnya, Dirga kembali bertanya, “Itu yang namanya Ryuga?” Nada bicaranya terdengar tidak ramah. “Siapa dia dan apa hubungannya sama Mbak?” Tak ada senyum sama sekali di wajah tampan pemuda itu. Posisi Claudia bak tengah diinterogasi oleh ayahnya yang kedapatan pulang malam bersama seorang pria. Hal itu sedikit membuat Claudia terintimidasi, tapi saat sadar Dirga hanya pemuda yang dia anggap adik kecil, wanita itu tersenyum tipis. “Bukan siapa-siapa, Dir.” Dirga yang tadinya bersandar pada pintu rumahnya perlahan mendekati Claudia yang tampak mematung di tempatnya. Kini jarak keduanya hanya tersisa tiga langkah, cukup dekat. Claudia menaikkan pandangan dan Dirga menundukkan kepala untuk dapat bersinggungan mata dengannya, “Bukan siapa-siapa tapi mengantarkan pulang?” tanya Dir