"Kasus kejahatan, Ma. Mama ingat waktu Ryan cerita lagi nolong orang diserang, nah Delia ini orangnya," jelas dokter Ryan dibalas ibunya dengan ekspresi kaget.
"Jadi, waktu itu Delia yang diserang? Ya Allah, Nak. Kamu baik-baik saja 'kan?" Tanya ibu dokter Ryan padaku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan kepala.
"Kok bisa ya ada orang sejahat itu. Syukurlah kamu dibantu Darwin, Mama yakin dia akan bantu kamu menyelesaikan persoalan hukum yang sedang menjeratmu," tuturnya membuat bibir ini melengkungkan sebuah senyum untuknya.
Mama? Apa aku boleh memanggil ibunya dokter Ryan dengan kata mama? Ada yang berdesir di sini, di dalam hatiku. Ada rasa yang membuat mataku memanas, berkabut ingin mendesak keluar, tapi kutahan kuat dengan menengadahkan kepala ke atas.
"Ini Ma, sudah sampai," ucap dokter Ryan meng
Kulantunkan suara membaca baris demi baris aksara berhuruf Hijaiyah. Dengan terbata-bata aku mampu melafalkan bacaan tersebut. Ini adalah rutinitas baruku setelah melakukan solat subuh. Rutin dilakukan agar terbiasa dan bacaanku semakin lancar. Ada ketenangan yang kudapat setiap selesai mengerjakannya. Hari masih gelap, Kupaksakan bangun sesubuh ini agar bisa melakukan kegiatan ibadah tersebut. Alarm jam digital di atas nakas, sudah kusetting 30 menit agar berbunyi terlebih dulu sebelum adzan subuh berkumandang.Kusapu pandanganku ke seluruh kamar. Lalu berjalan pelan meraba setiap benda yang kulewati. Dari meja kerja yang biasanya Mas Heru tempati, sampai ke depan lemari pakaian besar berbahan kayu jati dengan ukirannya yang indah.Semua barang Mas Heru sudah tidak ada lagi di kamar ini. Dulu, sudah kuminta Mbok Yem untuk tidak menyisakan apapun milik Mas Heru saat membersihkan kamar ini.&
Semua orang di ruangan ini mengatur posisi masing-masing, mencari tempat yang nyaman, untuk menyaksikan apa yang terlihat di layar segi empat yang sedang menyala ini. Tampak di layar, sebuah ruangan bercat putih, dengan satu tempat tidur. Kulihat Lastri baru tiba di sana diantar oleh dua perawat. Lalu ditinggal sendiri. Kuperhatikan dia duduk diam dengan pandangan mata menerawang.Om Darwin memintaku duduk di sampingnya dengan memundurkan satu bangku ke arahku. Aku yang awalnya ingin duduk, malah tidak jadi saat melihat gerak-gerik seseorang yang menarik perhatianku. Dia tampak gelisah, berdiri di depan pintu, seperti sedang menunggu seseorang, tangan satunya memegang ponsel seperti sibuk menelepon, tapi tidak terlihat dia berbicara layaknya orang berteleponan. Tampak juga gurat kekesalan di wajahnya. Keningku berkerut memperhatikannya."Om, siapa wanita itu? Apa Om mengenalnya? Dia
"Kamu yakin tidak ingin pergi ke kantor polisi?" Om Darwin bertanya untuk yang ketiga kalinya padaku.Aku menggeleng, lalu menatap lekat Om Darwin yang sedang fokus menyetir."Kenapa ya, Om kayaknya ngotot sekali ingin Delia pergi ke sana?" tanyaku penasaran.Om Darwin menoleh sekilas lalu tersenyum. "Nggak apa, cuma penasaran saja. Kamu memangnya tidak ingin tahu, keadaan Lastri setelah ketahuan berpura gila?"Aku menggeleng kembali. "Lagi malas Om. Mungkin nanti Delia akan ke sana, tapi tidak sekarang," jawabku sambil mengamati jalan raya.Rencananya, Om Darwin memang akan ke kantor polisi, memberikan keterangan tambahan akan adanya kami yang juga berada di sana, dimana kami ikut menyaksikan apa yang telah terjadi di RSJ tersebut. Kurasa cukup Om Darwin saja y
"Non yakin menyetir mobil sendiri?" Ada gurat kerisauan di wajah Mbok Yem.Aku yang ditanya, hanya menganggukkan kepala, mulutku penuh dengan roti yang baru kusuap ke dalamnya."Atau minta dijemput sama Pak Darwin saja, Non. Mbok rasa itu lebih aman. Lagipula tujuan kalian 'kan sama--kantor polisi." Matanya menatapku sekilas lalu fokus kembali ke gelas kosong dalam genggamannya. Diletakkan gelas tersebut ke atas meja, dan mengisinya dengan air susu.Kunyahan di mulutku berhenti seketika, lalu setelahnya aku menggelengkan kepala mengisyaratkan kata 'tidak'.Mbok Yem mendesah pelan mengetahui jawabanku. "Saya itu khawatir Non kenapa-napa. Kalau begitu suruh Jono saja yang menyetirkan mobil Non Delia," lagi, Mbok Yem tidak menyerah memberikan saran.Semua yang disarankan
Entah kebetulan atau memang takdir yang mempertemukan kita."Delia 'kan?" Kepalaku refleks mengangguk. Senyumnya terbit lebih lebar lagi."Masya Allah, cantik. Nggak nyangka ketemu di sini. Ada acara apa memesan gaun dengan Ruby?" Diamatinya penampilanku yang masih mengenakan gaun milik Ruby. Tanganku masih memegang ujung dagu, menahan kerudung yang terpasang di kepala.Kugelengkan kepala menjawab pertanyaannya. Lidah ini masih Kelu untuk bersuara. Rasanya sulit. Wanita paruh baya di depanku ini malah tersenyum."Mama Ira kenal sama Delia?" Ruby tiba-tiba sudah ada di samping Mama Ira--ibunya dokter Ryan."Iya, Delia 'kan temannya Ryan," jawabnya masih menatapku lekat."Tuh 'kan cantik, ini kerudungnya kenapa dipega
POV RyanSamar suara ketukan terdengar dari pintu kamarku.Mama? Tumben beliau mengetuk dulu, biasanya langsung buka saja. Aku bisa langsung menebak kalau mama lah yang mengetuk pintu, karena kami cuma tinggal berdua.Dengan gerakan cepat, kulipat sajadah yang baru saja digunakan usai solat subuh dan meletakkannya di atas kasur. Pintu kubuka dan tampaklah wajah Mama di depan tersenyum tipis ke arahku."Jam berapa kamu pulang, Yan?" Mama merangsek masuk ke dalam kamar, masih dengan memakai mukena. Dia menggeleng melihat kondisi kamarku yang berantakan."Subuh, Ma. Seperti biasanya," jawabku menguap dengan mulut terbuka lebar. Berapa kali mulut ini terbuka dengan sendirinya. Rasa kantuk sudah menjalar memberatkan kedua mataku."Ya sudah. Bawalah tidur
Pagi hari kusapa dengan membongkar isi lemari pakaian. Rencana mengambil baju kerja tertunda, akibat mata yang tidak sengaja melihat paper bag dari toko Ruby. Teringat akan isinya yang merupakan gamis pakaian muslimah. Ada niat ingin memakainya. Namun, keraguan masih menelusup di dalam hati. Akankah terasa ganjal, kalau aku tiba-tiba pergi ke kantor menggunakan pakaian tersebut. Masih merasa insecure, takut dikatakan hijrah karena tersandung masalah. Padahal, niat itu muncul saat aku memang ingin berubah lebih baik lagi.Kukeluarkan semua pakaian yang tampak kurang bahan, walaupun harganya mahal. Dari gaun hingga terusan biasa yang kupakai harian, karena pakaian tersebut menunjukkan aurat diatas lutut.Ketukan pintu menghentikan gerakanku melempar pakaian ke atas tempat tidur."Masuk, Mbok! Nggak dikunci," teriakku dari dalam kamar. Tanganku masih asyik me
Aku tidak dapat fokus dalam bekerja. Perkataan dan pernyataan cinta Dilan telah mengusik pikiranku. Aku juga bingung kenapa aku menangis. Bahagia atau sedih ya tangisku waktu itu?"Aaargh!" Aku seketika frustasi.Laptop di depan mata terpaksa kumatikan dengan kasar karena seringnya aku membuat kesalahan.Kuambil lembar kertas dalam amplop yang telah diberikan Dilan dan membaca isinya. Dia bersungguh ingin mengundurkan diri. Ini nyata tidak sih? Aku masih tidak percaya. Kuremas kuat kertas tersebut dan melemparnya sembarang ke arah depan. Kutelungkupkan kepala di atas meja. Kesal. Selang tak berapa lama, bergegas kulangkahkan kaki keluar ruangan, berjalan dengan cepat. Tatapan heran Siska tidak kugubris sama sekali. Mulutnya seperti bergumam ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan. Langkahku semakin cep