POV Ibu
***
‘Fira, kenapa malah kamu mencari masalah sih? Padahal aku sudah menenangkannya dengan susah payah. Ck! Anak itu memang ya, sudah kularang tetap saja nekat masuk ke dalam gubuk,’ batinku seraya masuk ke gubuk.
Aku tak peduli jika Ubay dan Fira mulai curiga kepadaku. Yang kuharapkan mereka baik-baik saja dan segera pergi dari sini. Mungkin kejadian ini membuat mereka berpikir untuk segera meninggalkan tempat ini. Ya, semoga saja mereka berpikir seperti itu. Biar aku di sini yang menanggung segalanya, asal mereka bahagia.
Di dalam gubuk pemandangnnya sudah seperti kapal pecah. Dia pasti marah tapi tak bisa melukai Fira. Syukurlah dia masih mau menurutiku.
Beberapa saat setelah melihat ibu membawa tampah kecil beserta ayam hitam yang masih hidup, aku masih ragu untuk mengatakannya kepada mas Ubay. Aku berusaha menepis rasa curiga dan meneruskan permainan yang kami lakukan. Tapi, apa yang kulihat tadi selalu mengganggu pikiranku.“Udah turun semua Yah, ayo kita ambil tanahnya lagi di sana. Aku menang ‘kan, Yah?”Arsya sangat bersemangat kala bermain mobil-mobilan dan tanah bersama kami.“Ayo, tapi Arsya sendiri yang masukin tanah ke mobilnya ya? Bunda mau ngomong penting dulu sama ayah.”Aku menyela pertanyaan Arsya yang ditujukan kepada ayahnya.&l
“Bunda, kita harus melakukannya biar semuanya jelas. Kalau benda itu sudah ada pada kita, ibu pasti nggak bisa menyangkal lagi. Ibu akan menceritakan segalanya. Setelahnya kita bakar benda itu dan membawa ibu pulang bersama kita. Semua pasti akan baik-baik saja, Nda. Kita bismillah saja ya?”“Iya Yah, tapi Bunda tetap saja merasa takut, Yah.”“Nggak akan terjadi apa-apa, Nda. Masih ada Tuhan yang melindungi kita. Secepatnya akan Ayah lakukan, Nda.”Mas Ubay sudah bertekad, bagaimana pun keadaannya, dia tetap akan melakukan misinya itu. Aku hanya terdiam, bingung, akan mendukung atau justru menolak rencananya. Yang pasti ada rasa takut bersemayam di lubuk hati.
Mas Ubay masuk ke kamar ibu dangan mengendap-endap. Sebisa mungkin jangan sampai menimbulkan suara. Aku yang melihatnya ikut merasa tegang. Rencana awal harus sukses tanpa ada hambatan.Kini mas Ubay sudah tak terlihat olehku. Dia sudah masuk dan mungkin mulai mencari kunci yang disimpan. Aku celingukan memastikan keadaan tetap aman. Dari arah kamar mandi belum terdengar ada suara guyuran air.Sepertinya ibu masih sibuk dengan pakaian sehingga belum memulai untuk membasahi badannya dengan air.“Semoga saja mas Ubay berhasil menemukan kunci itu sebelum ibu selesai mandi. Beliau saja sepertinya belum memulainya. Ya, pasti rencana ini berhasil.”Aku bergumam dan sangat berharap semua terjadi sesuai harapan.
“Yah, nggak tidur dulu?” tanyaku saat sudah didekatnya.Mas Ubay sedang duduk tanpa melakukan apa-apa. Sinyal saja susah, percuma jika harus memegang gawai.“Belum ngantuk, Nda. Sana Bunda tidur dulu.” Dia justru memerintahku.“Sama, aku juga belum ngantuk, Yah.” Aku duduk di sebelahnya.“Arsya sudah tidur, Nda?”“Sudah. Tadinya minta ke sini, tapi tetap saja kuajak tidur.”Mas Ubay manggut-manggut tanpa mengucapkan kalimat lain.&ldqu
“Bismillah, Nda.”Perlahan kami melangkah memasuki gubuk. Di dalam sama gelapnya seperti di luar. Tidak ada lampu penerangan di dalam sini.“Nda, aku cari gawai dulu di tas. Gelap gini susah carinya. Kita harus cepat-cepat mendapatkannya.”Aku tak menjawab perkataannya. Pikiranku kembali teringat akan kejadian tadi pagi yang baru saja kualami. Aku di dalam sini bersama sosok nenek bermuka seram penuh luka. Aku tak mau mengingatnya, namun kejadian itu muncul dengan sendirinya.Mas Ubay berhasil mendapatkan gawai dan segera mencari lampu senter yang ada di gawai itu.“Alhamdulillah, kita bisa melih
“Astaghfirullah, Yah! Kenapa lampunya mati? Apa yang terjadi! Yah, kamu dimana, Yah? Aku mendengar suara menakutkan itu lagi, Yah! Aku takut, Yah!”Dalam kegelapan, tanpa ada cahaya sama sekali, aku histeris. Sosok itu seakan tak jauh dariku. Kudekap Arsya erat-erat. Aku takut sosok itu akan melukai Arsya.“Nda! Ayah kesitu, Nda. Bunda tenang dulu ya? Banyakin doa, Nda.”Suara mas Ubay menyahut perkataanku. Mungkin dia sedang mendekatiku. Mata ini sama sekali tak bisa melihat apapun. Gelap gulita.Gubrak!“Aduh! Sakit!” pekik mas Ubay.
“Hihihi ….”Suara menyeramkan itu kembali terdengar.“Argh!”Sosok itu menarik rambutku semakin kuat.“Lepas! Sakit!”Aku tetap mencoba menahan rambut yang ditarik semakin kuat dengan satu tangan.“Serahkan anak itu!”“Nggak! Selamanya nggak akan kuberikan!”“Lancang!”“Arg
Aku dan mas Ubay membaca ayat dan doa untuk mengusir dari gangguan jin dan setan di gawai. Dalam hati sangat berharap Sang Pencipta memberikan pertolongan pada kami. Sekarang Arsya menangis ditawan sosok itu. Aku sangat khawatir. Kenapa harus Arsya yang diincar? Bocah sekecil dia sudah harus mengalami hal magis seperti ini.“Diam! Hentikan ayat-ayat terkutuk ini! Hentikan! Manusia munafik! Hentikan sebelum anak ini semakin tersiksa!”Ada sedikit kekhawatiran saat sosok itu mengancam akan melukai Arsya.“Nda … hiks! Arsya takut, Nda!”Arsya meronta, berusaha untuk pergi dari cengkraman sosok itu. Tapi semua sia-sia, dengan kekuatan di luar nalar, sosok itu menah